TERPAPAR AKAL LIAR TERHEMPAS TANPA BIMBINGAN WAHYU
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Ada banyak hal yang menjadi sebab, mengapa akal bisa menyimpang dan hati bisa berpaling. Siapa pun orangnya dapat terpapar akal fikirannya (termasuk kita) apabila akal dibiarkan liar. Bukan sekedar dapat merusak orang lain, melainkan dirinya pun bisa hancur dan binasa karenanya.
Sebagaimana disimpulkan para ulama Rabbani yang mu’tabar, bahwa “Pandangan yang benar dipengaruhi cara berfikir yang lurus dan berfikir yang lurus dipengaruhi akal yang sehat dan selamat, demikian pula pandangan yang salah dipengaruhi cara berfikir yang keliru dan cara berfikir yang keliru dipengaruhi oleh akal yang rusak”. Karena itulah, liarnya berfikir dan binalnya intelektual bisa saja terjadi pada siapa pun apabila akalnya dibiarkan membabi buta tanpa batas dan tanpa bimbingan. Akal yang sejatinya dapat mengawal kebenaran berubah fungsi menjadi “pembenar” segala bentuk penyimpangan.
Semua itu menyadarkan kita, betapa kekuatan akal manusia (dzihn) itu sangatlah terbatas dan tidak dapat dijadikan satu-satunya penentu kebenaran, apalagi dipertuhankan. Demikian pula dengan alam rasa (‘irfân) yang tidak selamanya bisa diperturutkan.
Kelompok pertama, menyebabkan terjadinya kemungkaran berfikir yang dapat melahirkan ‘aqlâniyyah/rasionalisme. Kelompok kedua, menyebabkan hilangnya kesadaran dan tidak memiliki kekebalan ruh yang dapat melahirkan ibâhiyah/permisive
Yang pertama memunculkan maraknya pemuja akal seperti halnya kelompok liberal dan yang kedua menumbuh suburkan aliran skeptisme (putus asa memandang hidup), nativisme (menghidupkan ajaran buhun-karuhun), nihilisme (netral dalam menentukan keberpihakan terhadap kebenaran), pluralisme (membenarkan semua keyakinan), bahkan mistisisme (menghidupkan praktek klenik dan kebatinan). Keduanya merupakan lubang berbahaya yang menyebabkan siapa pun yang melewatinya akan terperosok dan terjerembab ke dalamnya tanpa peduli intelektualkah atau orang awam biasa.
Dengan mengacu kepada ayat Al-Qur’an surat al-An’am [6] ayat 112:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً وَلَوْ شَاء رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”
Dalam memaknai zukhrufal qauli ghurûran, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menuturkan: “Salah satu tipu daya syaitan adalah ucapan batil, pemikiran-pemikiran rancu, asumsi-asumsi kontradiktif yang merupakan sampah, ampas dan buih pemikiran yang dihasilkan oleh hati yang gelap dan bingung, yang menyamakan antara benar dan salah serta kekeliruan dengan kebenaran, yang terombang ambing dalam gelombang kerancuan (syubhat) dan ditutupi oleh mendung khayalan. Kendaraannya adalah kabar burung (gosip, hoax), keragu-raguan dan perdebatan yang tidak membuahkan keyakinan yang bisa dijadikan pegangan atau kepercayaan yang sesuai dengan kebenaran yang bisa dijadikan rujukan. Karena itu, mereka meninggalkan Al-Qur’an, berpendapat berdasarkan hawa nafsu, serta mengatakan perkataan yang munkar dan dusta.”(Lihat: Ighâtsatul Lahfân, 2003: hlm. 109).
Lalu Ibnu Qayyim melanjutkan komentarnya dalam kitab yang berbeda, yaitu: “Ketika akal seseorang tercemari dengan hawa nafsu, maka ia akan keluar dari sikap bijak, kebaikan dan kasih sayang. Sesungguhnya setiap syubhat dari syubhat-syubhat para pemuja akal, mereka berpaling dari wahyu. Maka kami menemukan banyak model kebatilan yang dilakukan tokoh-tokoh kaumnya dikarenakan itu semua.” (Lihat: Al-Shawâiq al-Mursalah ‘alâ al-Jahmiyyah wa al-Mu’aththilah, 1998: 1007).
Bahkan, Ibnu Qayyim menguatkan dengan tegas, mereka adalah orang-orang yang kehilangan kendali akal sehatnya seperti halnya orang-orang yang hilang ingatan (al-majânîn), kegilaannya itu dapat melahirkan beraneka ragam kegilaan lainnya. Dengan penuh keheranan beliau bertutur: “Duhai, sungguh mengherankan! Apabila akal manusia itu waras, pasti dia mengetahui bahwasanya jalan untuk mendapatkan kelezatan, kegembiraan, kebahagiaan, dan kehidupan yang baik adalah dengan ridha (tunduk) kepada Dzat yang seluruh kenikmatan itu berada dalam ridhaNya. Sebaliknya, seluruh kepedihan dan adzab terdapat kemarahan dan kemurkaanNya. Di dalam ridhaNya terdapat kesejukan pandangan, kegembiraan jiwa, kehidupan hati. Kelezatan rohani, baik dan lezatnya kehidupan, serta sebaik-baiknya nikmat; yang sekiranya sebesar atom darinya ditimbang dengan nikmat-nikmat dunia tentulah tetap tidak sebanding. Sekiranya hati mendapat bagian yang paling kecil dari hal itu, tentulah ia tidak akan ridha untuk menggantikannya dengan dunia dan segala isinya. Ditambah lagi, pelakunya merasa nikmat dengan bagiannya di dunia. Rasa nikmat yang dirasakannya itu jauh lebih besar dibandingkan kenikmatan orang-orang yang hidup bermewah-mewah di dunia. Rasa nikmat tersebut tidak tercemari sedikit pun dengan perkara-perkara yang mencemari orang hidup dalam kemewahan berupa kegundahan, kegelisahan, kesedihan, halangan maupun rintangan. Ia telah mendapatkan dua kenikmatan, namun masih menunggu dua kenikmatan lain yang lebih besar. Meskipun demikian, terkadang dalam fase ini, dia pun mengalami sejumlah rasa sakit.” (Lihat: Al-Dâu wad Dawâu auw al-Jawâbul Kâfi Liman Sa’ala ’Anil Jawâbis Syâfi, 2009: 84).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ratio yang tidak mau tunduk pada wahyu dan spirit yang lepas dari iman dapat menyebabkan hilangnya akal sehat, keringnya jiwa, kacaunya fikiran, gundahnya hati dan sudah pasti akan menuai badai kegelapan dan kesesatan. Wallâhul musta’ân.
___________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.
Nice
Nice