ADZAN MEMANGGIL JUM’AT MEMAKLUMI (Mencari Titik Damai di Tengah Kegundahan)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Setelah ramai membincang sumber petaka, yakni Covid-19 yang kini telah memasuki angka di atas 200an di negeri ini. Kini, bagi kaum Muslimin menghadapi masalah yang lain. Bagaimana dengan pelaksanaan shalat lima waktu, bagaimana dengan pelaksanaan ibadah jum’ah dan lain-lain.
Wabah yang sudah menjadi pandemi global, telah memberikan pelajaran bagi ummat manusia; mulai dari pentingnya hidup sehat, bahayanya virus menular, kepekaan sosial, kesigapan menghadapi bahaya, hingga ummat menjadi semakin sadar bahwa belajar memahami ajaran agama (tafaqquh fid dîn) itu sangatlah penting.
Dari sisi pola hidup sehat, kini semua orang berhati-hati dan waspada penuh untuk bisa selamat dari kejaran wabah. Dari sisi wawasan tentang penyakit, manusia menjadi tahu terkait penyakit berbahaya dan virus menular. Dari kepekaan sosial, semua kita bisa saling mengingatkan satu sama lain tanpa memandang kedudukkan, status sosial dan profesi masing-masing. Dari sisi kesigapan, semua orang berfikir tanggap untuk bisa menyelamatkan diri, baik secara pribadi atau gerakan. Demikian pula dengan persoalan ibadah, setiap orang yang masih memiliki nilai-nilai religius tinggi, pasti menghadapi perasaan gundah ketika harus berhadapan dengan “berseliweran” fatwa agama.
Yang terakhir penting untuk dicermati, karena di situ ada tarik menarik yang cukup unik; antara tarikan “nalar iman” dengan “nalar pengetahuan”. Contoh paling bisa terbaca, menurut nalar iman yang namanya shalat lima waktu berjamaah di mesjid, merupakan keutamaan yang besar dan tidak mungkin ditinggalkan. Namun menurut temuan pengetahuan, dalam kondisi dharurat wabah, bahwa berkelompok atau berkerumun (termasuk dalam menunaikan shalat berjamaah di mesjid) itu sangat rentan dalam penyebaran virus menular. Terlebih ibadah jum’at yang dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Fatwa sekaliber Kibârul ‘Ulama KSA dan ‘Ulama Al-Azhar as-Syarîf Mesir sudah dikeluarkan terkait bolehnya tidak menyelenggarakan jum’atan dan menggantinya dengan zhuhur, demikian pula fatwa negeri-negeri Arab Muslim lainnya seperti Kuwait, Qathar dan lainnya. Juga diikuti negeri-negeri tetangga Asia Tenggara, serta disusul dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sudah disosialisasikan.
Namun itu semua, tidak berarti bisa serempak dipatuhi. Alasannya cukup masuk akal, di satu sisi ibadah yang bersifat comunal seperti jum’at dibatasi, namun di lapangan; seperti mall, swalayan dan pusat perniagaan serta lain-lainnya masih dibebaskan. Tentu, hal ini menjadi alasan mengapa “ketidak serempakan” itu masih bisa terjadi. Ada juga yang bersifat sandaran ‘ilat hukum yang masih dipertimbangkan, di mana dilaksanakan atau tidaknya ibadah jum’at di suatu tempat sangat ditentukan oleh rukun dan syarat, serta terkendali dan tidaknya situasi dan kondisi yang ada. Sikap terakhir ini, tergambar dalam Surat Keputusan yang dikeluarkan Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam tertanggal 23 Rajab 1441 H./ 18 Maret 2020 M.
Selain itu, ada pula pandangan lain yang lebih mengedepankan bahwa wabah terjadi, justeru harus disikapi dengan lebih mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan menghidupkan taubat, istighfar dan tidak meninggalkan masjid sebagaimana dipaparkan Syaikh Ahmad Al-Kûri al-Mauritâni yang telah diviralkan di media.
Menyikapi situasi ummat yang mulai bersitegang ini, biasanya muncul masalah baru (qadhaya jadîdah) yang bisa mengganggu ketenangan batin dan kekhusyuan ibadah. Di sinilah perlunya menghadirkan fiqih lapang dada, di samping fiqih hukum dan fiqih medis. Jadi, ungkapan-ungkapan nyinyir wal nyindir (seperti halnya ucapan “sok beriman tebal”, atau “sok tawakkal” serta “pembangkangan” dan perkataan lain) perlu dirobah dengan bahasa-bahasa santun yang lebih mencerahkan dan menyejukkan.
Menghadapi suasana hati yang gundah gulana dalam memetakan antara berlebihan dalam meyakini taqdir Allah bahwa segala sesuatu telah ada ketetapanNya (termasuk kematian dengan segala sebab yang berbeda-beda; kematian wajar, kematian karena mushibah atau wabah, dan lainnya), dengan berlebihan dalam meyakini akan ikhtiar manusia yang melepaskan sepenuhnya dari taqdir Allah. Dua sikap ini, secara tidak sadar telah menggiring kita semua masuk dalam perdebatan klasik antara kelompok yang menggantungkan sepenuhnya pada taqdir (jabariyyah, fatalisme) dengan kelompok yang melepaskan kehendak dari taqdir (qadariyyah, freewill). Sikap yang adil tentunya, kita mengimani bahwa Allah ‘azza wa jalla sudah menetapkan ketentuan seseorang di lauhil mahfuzh-nya, sembari kita pun tetap diwajibkan untuk berusaha seoptimal dan semaksimal mungkin.
Dalam konteks penyebaran virus Covid-19 dan hubungannya dengan aktivitas ibadah seperti shalat lima waktu dan ibadah jum’at, sikap waspada (ikhtiyâth) dan super ketat (sesuai protokoler penanganan wabah yang ditetapkan pemerintah) merupakan ikhtiar wajib yang harus dilakukan setiap orang tanpa menegasikan keyakinan penuh orang tersebut akan taqdir yang ditetapkanNya dengan penuh tawakkal.
Benar kata para ahli ilmu, bahwa: “Berilmu saja tidaklah cukup kalau belum berhikmah; Ilmu melahirkan pengetahuan, sedangkan hikmah melahirkan kebijak bestarian”. Artinya, kemungkinan terjadinya perbedaan dalam memaknai fatwa-fatwa di atas, adalah sebuah keniscayaan. Menunaikan ibadah jum’at merupakan sebuah panggilan, namun mencegah kemadharatan merupakan alasan yang wajib dimaklumi.
Semoga Allah ‘azza wa jalla menjaga kita semua dari berbagai bala’ dan wabah. Adapun perbedaan besok hari, antara yang menyelenggarakan jum’at dengan yang menggantikannya dengan zhuhur sama-sama mendapatkan lindungan rahmat, maghfirah dan barakahNya. Allâhumma innî a’ûdzu bika min juhdil balâ wa darkis syaqâ wa syûil qadhâ wa tsamâtatil a’dâi … Âmîn yâ Mujîbas sâilîn
_____
*) Dengan segala kerendahan hati, goresan tangan ini ditulis, sehubungan dengan banyaknya pertanyaan jamaah kepada al-faqîr di MadrasahAbi-Umi.Com terkait sikap yang seharusnya menghadapi kemungkinan terjadinya khilâf dalam pelaksanaan jum’at besok hari.
Jazaakumulloh khoir…
Bagaimana mencegah kemudharatan yang lebih besar memang lebih diutamakan. Setidaknya tekadkan dalam hati bahwa kita mengupayakan tegaknya syari’at Allah di bumi ini