Sabtu, November 2MAU INSTITUTE
Shadow

SELAMATKAN AKAL DENGAN BERFIKIR BENAR DAN LURUSKAN SIKAP DENGAN KEBERSIHAN JIWA

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Kesimpulan yang tepat terlahir dari berpikir yang benar, berpikir yang benar terlahir dari akal yang selamat. Sebaliknya, kesimpulan yang keliru terlahir dari berpikir yang salah, dan berpikir yang salah terlahir dari akal yang rusak. Selamat dan rusaknya akal, sangat ditentukan oleh sejauhmana ketundukan keduanya terhadap wahyu Allah ‘azza wa jalla.

Demikian pula terkait sikap yang lurus, sangat dipengaruhi oleh kendali jiwa yang seimbang dan tenang. Dan kendali jiwa yang seimbang dan tenang, sangat dipengaruhi oleh kebersihan jiwa dan keimanan. Kalaupun terjadi, kegoncangan dan kelabilan jiwa terkadang masih dialami oleh mereka yang mungkin secara lahir terlihat sangat memelihara moralitas dan nilai-nilai agama, justru hal itu menunjukkan bahwa sifat jiwa itu terkadang “bolak-balik” [yuqallabu], dan sifat iman itu “turun-naik” [yaziidu wa yanqushu], yakni terkadang bertambah dan berkurang. Bertambah karena ketaatan, dan berkurang karena kemaksiatan.

Menarik untuk disimak, paparan nasihat emas dari Yang Mulia Imam Masjid Nabawi Madinah al-Munawwarah Syaikh Dr. Ahmad bin ‘Ali al-Khudzaifi hafizhahullaah dalam kunjungannya ke Jakarta, sebagaimana dituturkan Ustadzunal Faadhil ‘Abdul Wahid ‘Alwi [Wakil Ketua Umum Dewan Da’wah Bidang Luar Negeri yang pernah cukup lama belajar di Jazirah Arabia]. Menurutnya, ada beberapa faidah [fawaaid] yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pertemuan tersebut terkait pembinaan umat, di antaranya:

Pertama, Islam merupakan agama yang indah; Sebagai bukti keindahannya, maka Islam mampu menjadi solusi bagi beberapa problem yang sedang terjadi di masa kini. Salah satu problem yang dimaksud adalah kehidupan yang tidak seimbang. Di satu sisi, masyarakat bersikap “berlebihan yang melampaui batas” hingga kebablasan [tasyaddud, ifraath], di sisi lain masyarakat “berlebihan yang mengabaikan” hingga kedodoran dan senang bermudah-mudah [tafriith, tasahhul] dalam berbagai urusan.

Oleh karenanya, tugas para ulama, para guru, para pendidik, dan bahkan para pemegang kendali kekuasaan hendaknya mencarikan “solusi tengah” yang telah dihadirkan oleh Islam sejak awal. Dalam hal ini, Al-Qur’an yang agung telah mengingatkan dalam ayat-Nya:

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat untuk sekalian alam” (QS. Al-Anbiyaa/ 21: 107)

Ayat lain menjelaskan sebagai berikut:

وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا

“Dan demikian [pula] Kami menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu [umat Islam] menjadi saksi bagi perbuatan manusia dan Rasul [Muhammad] menjadi saksi bagi perbuatan manusia …” (QS. Al-Baqarah/ 2: 143)

Kedua, Pentingnya menghadirkan da’wah ilallaah yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan dalam seluruh aspek kehidupan; Di antara upaya awal yang wajib dilakukan sebagai langkah pertama sebelum yang lainnya adalah berdakwah terhadap diri sendiri [da’wah dzaatiyah], yakni menjadikan hati sebagai “pusat diri seseorang”. Misi utamanya adalah mengubah kondisi diri, dari yang tadinya “sakitnya hati” [mariidhul qalbi] menjadi “bersihnya hati” [shahiihul qalbi].

Seiring dengan turunnya ayat dakwah, yakni Kuntum khairu ummatin ukhrijat linnaasi ta’muruuna bil ma’ruufi wa tanhauna ‘anil munkari wa tu’minuuna billaah, ayat tersebut memantik para ulama untuk melakukan terobosan dakwah dalam bentuk yang lain; Mereka menunjukkan antusiasme-nya sebagai “bengkel ruhani” atau “terapis kejiwaan” dalam menuliskan karya-karya terbaiknya terkait “pentingnya kebeningan jiwa” [tazkiyatun nafs]. Fenomena ini, mendapatkan sambutan luas di tengah umat sebagai pengejawantahan al-amru bil ma’ruuf wan nahyu ‘anil munkar.

Apa yang dilakukan oleh Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dengan bukunya Minhaajul ‘Aabidiin ilaa Jannati Rabbil ‘Aalamiin [mewakili kitab ulama Syafi’iyah], atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al-Harani dengan bukunya Amraadhul Quluub [mewakili kitab ulama Hanabilah]. Demikian pula dengan murid-muridya; Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hanbali, dan Ibnu Katsir ad-Dimasqi, serta ulama lainnya yang concern dalam masalah ini menunjukkan sesungguhnya teori tersebut benar adanya (secara singkat dan padat dapat dibaca lebih lanjut kitab Tazkiyatun Nufuus karya Syaikh Dr. Ahmad Farid yang menggabungkan pandangan semuanya).

Ketiga, Dalam menghadapi situasi global seperti saat ini, maka geliat da’wah ilallaah, sangat membutuhkan narasi-narasi yang tepat. Di tengah-tengah hingar bingarnya wacana “alam pikir” yang semakin menjulang tinggi dan bahkan tidak terkendali, maka sangat elok rasanya apabila zona “sentuhan hati” lebih didahulukan dan diutamakan. Mengapa demikian? Jawabannya adalah, bukankah Allah ‘azza wa jalla pun mengisyaratkan bahwa perkara rahmah didahulukan sebelum perkara ‘ilmu dalam gugusan kosa kata ayat-Nya:

ربنا وسعت كل شيئ رحمة وعلما

” … Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu …” (QS. Al-Mu’min/ 40: 7)

Menurut Syaikh ‘Abdurrahman Nashir Sa’di dalam kitabnya Taiysiirul Kariimir Rahmaan Min Tafsiiri Kalaamil Mannaan, ayat ini memberikan penjelasan berikut: “Jadi, ilmu pengetahuan-Mu telah meliputi segala sesuatu; Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Mu, tidak ada sesuatu pun sebesar biji sawi [dzarah] di bumi dan di langit, baik sesuatu yang lebih kecil atau yang lebih besar darinya yang lepas dari pengetahuan-Mu. Rahmat-Mu meliputi segala sesuatu; Alam semesta, baik yang di atas langit atau yang di bawah bumi”.

Tegasnya bisa disimpulkan, sesungguhnya rahmat Allah ‘azza wa jalla itu bersifat lebih luas dari pada ilmu-Nya; Meliputi segalanya dan dapat dirasakan oleh semua makhluk-Nya, termasuk kasih sayang [rahmatan] yang dianugerahkan kepada semua habitat hewan [hayawaanaat], ragam jenis tumbuhan [nabaataat], bahkan seluruh sumber daya alam [baik di daratan ataupun lautan] yang diberikan untuk manusia. Semua ini, kalaulah manusia hanya mengandalkan pendekatan pengetahuan [‘ilman] tidak akan menjadi kekayaan hidup yang sempurna, apabila tidak dikuatkan sebelumnya dengan pendekatan spiritual/ keimanan [ruuhan wa iimaanan]. Pengetahuan muaranya pada akal, sementara keimanan muaranya pada hati dan jiwa.

Sederhananya, bersenang-senang dalam memenuhi konsumsi akal semata [tamattu’ ‘aqli] tidaklah cukup apabila tidak diiringi dan diimbangi dengan bersenang-senang memenuhi konsumsi hati dan jiwa [tamattu’ qalbi, tamattu’ ruuhi]. Yaa Muqallibal quluub tsabbit quluubanaa ‘alaa diinika … Yaa Musharrifal quluub sharrif quluubanaa ‘alaa thaa’atika.


*) Tulisan ini digoreskan dari salah satu diskusi kecil Mubaahatsah Bidang Kajian dan Majlis Fatwa Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (diselenggarakan setiap hari Senin ke-2 dan ke-4) yang qaddarallaah bertepatan pekan ini dengan suasana kunjungan Imam dan Khatib Masjid Nabawi.

Print Friendly, PDF & Email

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!