Rabu, Mei 21MAU INSTITUTE
Shadow

GELOMBANG DALAM GELAS; MENYANGGA KEMULIAAN AGAMA DI TENGAH PRAHARA

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Bagaikan pohon tinggi menjulang; Semakin tinggi, semakin kencang pula anginnya, semakin tembus menuju langit semakin berat pula ujiannya. Itulah gambaran umum kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib bin ‘Abdil Muthalib radhiyallaahu ‘anh. Lahir dari seorang ibu bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf. Pengangkatannya sebagai Khalifah ke-empat tidak seperti pengangkatan kepemimpinan [istauwlaa] sebelumnya; Simalakama yang penuh intrik, syak wasangka dan kecurigaan berkecamuk menyelimuti mereka. Bagaimana tidak, wafatnya sang Khalifah ‘Utsman secara tragis oleh gerombolan pemberontak yang terhasut bara fitnah membuat situasi Madinah chaos tidak menentu. Siapa kawan dan siapa lawan, berbaur menjadi satu dengan kaum pemberontak. Tidak terkecuali, mereka yang mendompleng turut serta mendukung dan membai’at ‘Ali bin Abi Thalib.

Ada banyak varian masyarakat yang menghiasi kemelut saat kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib; Mereka yang benar-benar membai’at dan mendukung ‘Ali, mereka yang turut membai’at ‘Ali namun mencurigai ‘Ali terlibat kasus pembunuhan ‘Utsman, mereka yang membai’at ‘Ali dikarenakan menghilangkan rekam jejak keterlibatannya dalam pembunuhan ‘Utsman, dan mereka yang menyadari bahwa ‘Ali layak menjadi Khalifah pengganti namun tersulut api fitnah karena terlambatnya penanganan ‘Ali dalam melakukan qishash terhadap para pembunuh ‘Utsman. Semua ini yang menjadi sebab munculnya kelompok-kelompok [syiyaan atau syii’atan: syii’ah dalam makna bahasa] sektarian pertama dalam sejarah Islam.

Kelompok pertama merupakan komunitas pendukung ‘Ali [syii’atu ‘Alawiyyiin], mereka adalah kekuatan masyarakat yang meyakini bahwa ‘Ali benar-benar yang paling layak menjadi Khalifah pasca wafatnya ‘Utsman [karena sedari awal ‘Ali dan ‘Utsman yang paling banyak disebut sebelumnya pasca wafatnya Khalifah ‘Umar]. Kelompok kedua merupakan para pengawal Ummul Mu’miniin ‘Aisyah, yakni Thalhah bin ‘Ubaidillah dan Zubair bin ‘Awwam radhiyallaahu ‘anhum, mereka awalnya memberikan dukungan kepada Khalifah namun masih menaruh curiga dikarenakan ‘Ali belum menghukum para pelaku pembunuhan ‘Utsman hingga terjadinya perang unta [waq’atul jamal]. Kelompok ketiga merupakan kaum pemberontak Khalifah ‘Utsman [ahlul bughaat] yang demi menghilangkan jejaknya mereka segera menyatakan dukungannya kepada ‘Ali, mereka itulah cikal bakal komunitas khawaarij, yakni kaum yang menyatakan keluar dari dukungannya kepada ‘Ali [syii’atu khawaarij]. Dan kelompok keempat merupakan komunitas pendukung Mu’awiyah bin Abi Sufyan [syii’atu Mu’aawiyiin] yang awalnya mereka menyadari bahwa ‘Ali layak menjadi khalifah, namun karena ‘Ali belum juga menunaikan hukuman had-nya membuat mereka tidak percaya dan menyeret kedua belah pihak pada peperangan di bukit Shiffin [waq’atu shiffiin].

Api ujian yang semakin berkobar [mihnah], bukanlah perkara mudah untuk diselesaikan. Kalaulah bukan sosok ‘Ali bin Abi Thalib yang memegang kendali, atas kuasa Allah azza wa jalla sudah tentu bara fitnah sulit untuk dipadamkan. Para shahabat menjadi saksi kunci, ‘Ali bin Abi Thalib merupakan sosok pemuda tiada tanding di masa perintisan dakwah Islam. Ketika para tokoh Quraisy berkoalisi untuk bersepakat membunuh Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, anak muda pertama yang masuk Islam inilah yang dipercaya untuk menggantikan posisi di tempat tidurnya [usianya waktu itu 23 tahun]. Tanpa ada rasa takut, dengan berbalutkan kain penutup “selimut sang Rasul” ‘Ali pun berbaring dengan tenang. Dalam peristiwa ini, Rasulullaah menuturkan sabdanya:

لن يخلص إليك شيئ تكرهه

“Dalam hal ini, kamu tidak akan terhindar dari apa yang kamu tidak inginkan.”

Selain itu, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam tanah dan menaburkannya kepada orang-orang yang mengepungnya [hingga mereka terlelap tidur] seraya membaca ayat QS. Yaasiin hingga ayat 9 berikut:

وَجَعَلْنَا مِنۢ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ

“Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding [pula], dan Kami tutup [mata] mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.”

Setelah itu, Rasul pun keluar dari rumahnya [malam ke-27 Shafar, tahun 14 dari Kenabian] menghampiri Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallaahu ‘anh untuk melanjutkan perjalanan menuju bukit Tsur. (Lihat: Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nabawi, Siirah Ibnu Hisyam dalam As-Siirah an-Nabawiyyah, 1989: hlm. 141. Syaikh Su’aib al-Arnauth menilai riwayat ini derajatnya Hasan).

Demikianlah sekadar mengingatkan, betapa ‘Ali bin Abi Thalib adalah laki-laki pilihan Allah yang diberikan amanah besar untuk menikahi putri Rasulullaah Fathimah radhiyallaahu ‘anhaa yang sangat dicintainya. Dari keduanya pula akan lahir kelak dua pemuda idaman yang menjadi cucu Nabi akhir.zaman, yakni Hasan dan Husain radhiyallaahu ‘anhumaa yang dijuluki oleh Kakek mereka sebagai “dua cucu kesayangan” [raihaanataan] ketika warga Iraq bertanya kepada Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anh (HR. Bukhari, no. 3753 dalam Shahiih Al-Adabul Mufrad Syaikh Al-Albani)

Dengan keistimewaan [manaaqib] yang dimiliki ‘Ali bin Abi Thalib; Masuk Islam dan menjadi anak didik Rasulullaah sejak muda belia, senantiasa tampil memukau dalam peperangan membela risalah dakwah, selain memiliki hubungan “darah Quraisy”, juga dikenal sebagai orang yang berani dan sangat fasih berkomunikasi. Semua ini menjadi bekal utama dalam menjalankan tugasnya sebagai Khalifah. Terlebih masa kekhilafahannya dihadapkan dengan beragam perpecahan umat yang banyak disebut para ahli [muarrikhuun] sebagai “malapetaka terbesar sepanjang sejarah”.

Sesuai dengan isi khutbah pertamanya ketika dibai’at kaum Muslimin: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah menurunkan Kitab yang memberi petunjuk, menerangkan tentang kebaikan dan keburukan. Oleh karenanya, kerjakanlah perkara baik dan tinggalkanlah perkara buruk. Taatilah perintah Allah, janganlah kalian bermaksiat, apalagi berbuat kejahatan”. Dengan pesan khutbah ini pula, Khalifah ‘Ali menunjukkan kebijakan, kesabaran dan penuh kehati-hatian dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi.

Sekalipun pada akhirnya harus berhadapan dengan istri Rasul sendiri ‘Aisyah di dekat Bashrah [36 H.], namun akhirnya ‘Aisyah diberikan penjelasan duduk perkaranya dan dikembalikan ke Madinah setelah kalah perang usai. Dalam tahun yang sama [36 H., selisih beberapa waktu], ‘Ali pun harus memberikan penjelasan kepada Mu’awiyah bahwa dirinya akan membereskan semua kemelut yang terjadi apabila situasi sudah relatif aman, namun ajakan ini disambut dengan jawaban perang [pasukan ‘Ali gugur 35.000 orang, pasukan Mu’awiyah gugur 45.000 orang] walaupun berakhir dengan peristiwa perundingan [arbitrase, tahkiim] yang diwakili kedua belah pihak [‘Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’awiyah mengutus ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhumaa] di Daumatul Jandal [37 H.].

Kecamuk perang dan kekacauan belum berhenti, gerombolan Khawaarij [sebanyak 12.000 orang] berbenteng di Harura Kufah, mereka tidak puas dengan hasil putusan perundingan yang menyebabkan pihak ‘Ali kalah. Mereka pun memilih berbelot dari ‘Ali dan terus menebar teror dan kekacauan. Setelah sebelumnya diperingatkan untuk kembali mematuhi Khalifah namun menolak, akhirnya mereka diperangi di Nahrawan [38 H.] dengan menyisakan dendam kesumat yang tidak berkesudahan. Bahkan akhirnya, mereka berencana melakukan serangkaian pembunuhan terhadap tiga tokoh sekaligus di malam 17 Ramadhan 40 H.; ‘Abdurrahman bin Muljim membunuh ‘Ali di Kufah, Hajjaj bin ‘Abdillah membunuh Mu’awiyah di Syam, dan ‘Amr bin Bakar membunuh ‘Amr bin ‘Ash di Mesir. Rencana jahat mereka berakhir dengan syahid-nya Khalifah ‘Ali setelah merasakan sakitnya tikaman ‘Abdurrahman bin Muljim. Setelah selama dua hari menahan sakit, Khalifah ‘Ali pun wafat di usia 63 tahun. Adapun dua shahabat lainnya selamat dari pembunuhan. Demikian kitab Itmaamul Wafaa dan Duruusut Taariikhil Islaami memaparkan.

Ketika nurani paling dalam mulai diabaikan, akal panjang tidak lagi digunakan, kebijakan dan keadilan dilumpuhkan, maka yang terjadi adalah angkara murka dan kesewenang-wenangan. Seperti itu pula yang terjadi pada pelaku kekacauan dalam prahara ini; Mereka mengatasnamakan Kitab Allah dengan mengumbar jargon Laa hukma illallaah; “Tidak ada hukum selain hukum Allah”, justru mereka sendiri yang melanggarnya. Maka wajar Khalifah ‘Ali menuturkan tentang narasi mereka sebagai Kalimatul haq uriida bihil baathilu; “Ucapan mereka benar, namun kerapkali digunakan untuk perkara yang salah”. Tentu saja, peristiwa semacam ini tidak saja berlaku di masa lampau, melainkan sering terjadi sekarang ini. Agar kita tidak menimpakan kezhaliman dan menilai buruk terhadap orang-orang mulia, maka mengambil pelajaran dan hikmahnya yang berharga lebih kita utamakan. Kehormatan agama dan kemuliaan para shahabat sebagai generasi teladan setelah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, itulah yang wajib kita jaga dan kita pelihara. Benar orang bijak menuturkan: “Mengambil pelajaran itu pada kesempurnaan di akhir, bukan pada kekurangan di awal”. Al ‘ibratu bi kamaalin nihaayaat laa bi naqshil bidaayaat

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!