Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Bukanlah perkara mudah ketika kebenaran ingin ditegakkan di tengah-tengah zaman yang berselimutkan asap tebal [dakhanun], tidak terkecuali dalam memilih dan memilah siapa kawan perjuangan; Di saat keutuhan dan kemanusiaan terkoyak rapuh dengan banyaknya kepentingan, dalam waktu bersamaan kekuatan kegelapan pun bangkit menghunjam memanfaatkan keadaan. Siapa membela siapa dan untuk kepentingan apa, menjadi pertanyaan di benak pikiran. Itulah sekadar kegundahan terhadap pemandangan perang yang sempat dipertontonkan dan sedikit sulit untuk disimpulkan.
Hujan rudal lebih dari satu pekan di jantung negeri bedebah penjajah yang membuat mata dunia tertuju padanya, seolah “menyihir” keadaan yang sebenarnya. Kembang api mematikan menghiasi langit negeri para durjana, namun dalam waktu bersamaan kezhaliman dan pembantaian di kawasan pendudukan terus berlanjut tanpa henti dan nyaris terlupakan. Dahsyatnya opini yang berkembang dengan dukungan para suporter handal, menayangkan beragam berita dan tayangan yang mengejutkan dengan sambutan decak kagum berkepanjangan tanpa bantahan.
Sekalipun beritanya sudah mulai mereda, tidak menutup kemungkinan kejutan-kejutan baru akan kian marak bermunculan. Demikianlah gambaran yang terjadi saat beberapa hari Garda Revolusi Iran memuntahkan serangan rudalnya ke Tel Aviv negeri para Teroris Zionis. Di satu sisi, Yahudi Zionis la’natullaah melakukan genocida total terhadap masyarakat Muslim Palestina [khususnya Gaza], di sisi lain Iran yang menganut ideologi dan ajaran Syi’ah Itsnaa ‘Asyariyah yang dipimpin ‘Ali Khomaeini saat ini [pelanjut Imam Khomaeini] sangat memusuhi dan sama-sama banyak menumpahkan darah kaum Muslimin Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah hampir di seluruh negeri Muslim.
Dihukumnya para ulama Sunni di Iran sendiri zaman Khomaeini, pembunuhan warga Muslim Sunni di Iraq, perlakuan Syi’ah Hizbullah terhadap Muslim Sunni di Lebanon, kejahatan sadis Rezim Asad terhadap Muslim Sunni di Syria, upaya kudeta di Bahrain, huru hara kota Mekkah dengan penyelundupan barang bukti ditemukannya bahan peledak yang disusupkan pada kafilah haji Iran [tahun 1986 dan 1987], upaya kudeta Syi’ah Hautsiyyah di Yaman yang disokong Iran dan ancamannya untuk menyerang dua kota suci [Haramain], serta bukti-bukti konkret lainnya sudah lebih dari cukup untuk tidak terlalu mempercayai beragam “dagelan kelas tinggi” dan tipu daya Iran yang kerapkali bergunting dalam lipatan.

Terlebih apabila dihubungkan dengan rekam jejak Dinasti-dinasti kaum Syi’ah terdahulu, baik zaman Qaramithah [yang pernah melakukan pembantaian jamaah haji tahun 312 H dan 317 H hingga pencurian Hajar Aswad], juga para penguasa politik Syi’ah yang pernah berjaya di masanya; ‘Ubaidiyyah atau Fathimiyyah di Mesir, Zaidiyyah di Yaman [masa berikutnya bergeser menjadi Jaarudiyyah dan Hautsiyyah], Idrisiyyah di Maroko, Qazariyyah di Turki, Buwaihiyyah di Iraq dan Shafawiyyah di Iran.
Dalam konteks perang saat ini [Israel dan Amerika versus Iran], suatu hal yang tidak mungkin dipungkiri bahwa sebelum Iran menjatuhkan tidak kurang 200 rudalnya di Tel Aviv; Sebelumnya beberapa petinggi militer dan ahli nuklir Garda Revolusi Iran gugur dihantam rudal Israel, demikian pula peristiwa sebelumnya yang menyebabkan kematian tragis pemimpin militer dan tokoh spiritual Syi’ah sebelumnya di Lebanon, serta peristiwa lainnya yang melibatkan terbunuhnya para pemimpin Iran. Maka sesuatu yang wajar apabila muncul banyak pertanyaan; Apakah perang ini murni pembelaan terhadap kesucian Baitul Maqdis atau “dendam membara dan harga diri” yang terinjak oleh kekuatan lawan?
Apabila dikatakan sebagai pembelaan terhadap Al-Quds, mengapa faktanya sejak awal Iran bersikap dingin terhadap kaum Muslimin Palestina yang sedang dizhalimi Israel [bahkan Iran berperang dengan negara Arab]. Pada tahun 1948 Iran melawan Arab, tahun 1956 dan 1967 Iran bersama Israel melawan Arab, tahun 1973 Iran menonton dan merupakan teman baik Israel, tahun 1982 ketika terjadi pembantaian di Sabra dan Shatila [pengungsi Palestina di Lebanon] Iran tidak berbuat apa-apa, perang Gaza 2009 pun Iran tidak melakukan apa pun dan tidak menembakkan senjatanya ke Israel.
Demikian pula dengan pasca perang Gaza 7 Oktober 2023, Iran tidak menembakkan pelurunya ke Israel. Namun Iran hanya mulai bergerak setelah Gaza luluh lantah, terlebih setelah Israel membombardir dan memukul negara para Mullah yang dahulu menjadi mitranya itu. Oleh karenanya, sebuah pandangan yang masuk akal apabila dalam kancah perang modern saat ini terjadi spekulasi dengan apa yang disebut “sandiwara perang” yang paling beresiko tinggi. Yakni menewaskan sebahagian petinggi militer kedua belah pihak, sekalipun telah dikondisikan oleh masing-masingnya.
Dengan menyaksikan sepenuh bashiirah [pengetahuan yang dibimbing wahyu], maka ada banyak sikap yang layak dikedepankan dalam memotret keadaan yang tengah terjadi; Pembelaan dan dukungan terhadap gerakan perlawanan [muqaawamah] para pejuang Gaza adalah sesuatu yang wajib dipelihara, sedangkan mewaspadai segala bentuk makar dan tipu daya musuh [apa bentuknya dan dari mana pun arahnya] wajib ditingkatkan. Di antara taujiih Rabbaaniy yang bisa dijadikan pertimbangan, di antara lain adalah:
- Kalam Allah ‘azza wa jalla yang mengisyaratkan sesungguhnya tidak ada permusuhan yang paling keras dan nyata terhadap orang-orang beriman melainkan mereka orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ ٱلنَّاسِ عَدَٰوَةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُم مَّوَدَّةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّا نَصَٰرَىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nashrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, [juga] karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al-Maaidah/ 5: 82).

Dalam konteks ini Yahudi abad sekarang berarti seperti halnya Zionis Israel dan orang-orang musyrik seperti halnya ajaran kaum Persia [Majusi Zoroaster terdahulu], termasuk penganut ajaran Syi’ah abad ini yang masih meyakini wilaayatul faqiih sebagai kekuasaan tanpa batas yang kedudukannya lebih tinggi dibanding Malaikat sekalipun. Demikian Imam Khomaeini mengajarkan dalam kitabnya Al-Hukuumah al-Islaamiyyah, karenanya dirinya diberi gelar Ruuhullaah Ayaatullaah Imaamul ‘Uzhmaa [Ayat Allah, Ruh Allah dan Pemimping Agung].
- Hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tidak ada kekuatan yang paling berpengaruh dan menyebabkan umat Islam terperosok dalam perangkap ajaran, ideologi dan tradisi selain Yahudi dan Nashrani, adalah mengikuti atau “mengekor” bangsa Romawi dan Persia. Di antara matan hadits yang popular adalah: لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنْ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
“Hari kiamat tidak akan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta”. Lalu ditanyakan: “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?”. Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Al-Bukhari no. 6774 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh)
- Adanya dalil sejarah [al-adillah at-taarikhiyyah] yang memaparkan sekilas catatan tentang kekuatan adidaya yang pernah ada pada zaman Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah bangsa Romawi dan bangsa Persia. Jatuh bangun antara kemenangan dan kekalahan dari perseteruan keduanya diabadikan Al-Qur’an dalam beberapa ayat-Nya pada Surat Ruum/ 30: 2-4 berikut ini: “Telah dikalahkan bangsa Romawi [2], Di negeri yang terdekat; dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang [3], Dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah [mereka menang]. Dan pada hari [kemenangan bangsa Romawi itu], bergembiralah orang-orang yang beriman”.
Pertempuran dimaksud adalah perang Antioch; Yakni antara Romawi Timur yang dipimpin Heraclius dan Persia yang dipimpin Shahrbaraz atas perintah Khosrow II. Peperangan dimenangkan Persia dengan dukungan bangsa Yahudi pimpinan Nehemiah bin Hushel dan Benjamin dari Tiberias. Heraclius pun mundur dan mengungsi ke Konstantinopel, maka sejak itu pula [tahun 614 M] kota al-Quds dan Baitul Maqdis kembali dikuasai bangsa Yahudi yang didukung Persia. Setelah itu, tepatnya pada tahun 625 M, Heraclius mampu mengalahkan angkatan perang Persia dalam sebuah pertempuran bernama Niniwe.
Bagaimana sikap kaum Muslimin saat itu? Seperti yang dituturkan shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anh: “Orang-orang musyrik merasa senang apabila orang-orang Persia menang, dikarenakan sama-sama penyembah berhala seperti mereka. Adapun kaum Muslimin lebih senang apabila Romawi yang menang, dikarenakan Romawi ketika itu masih banyak ahlul kitaab. Demikian pula shahabat Abu Bakar radhiyallaahu ‘anh sebagaimana dinukilkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsiirul Qur’aanil ‘Azhiim. Ketika diceritakan kecondongan kaum Muslimin tersebut kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullaah pun menyambutnya seraya bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya mereka [orang-orang Romawi] akan beroleh kemenangan”.
Dari paparan singkat ini ada beberapa hal penting yang bisa diambil sebagai tali simpul, apabila dikaitkan dengan peristiwa perang Israel dan Amerika versus Iran saat ini, serta sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh kaum Muslimin adalah sebagai berikut:

Pertama; Dengan pandangan yang dinisbatkan secara implisit kepada sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berikut ini: “Jika dua kelompok dari orang-orang kafir saling berperang, maka seorang Muslim bergembira dengan peperangan mereka”. Demikian pula narasi lainnya yang mengatakan: “Jika orang-orang ahli bid’ah memerangi kaum kafir harbi dan menang, maka kemenangan itu merupakan kemenangan bagi kaum Muslimin [meskipun mereka ahli bid’ah].” (Lihat: Kitaabul Jihaad, dalam Majmuu’ Fataawaa, Jilid ke-28). Juga bagaimana sikap Syaikhul Islam ketika harus membantu Ibnu Makhluf [Hakim Agung Sulthan Nashir Qalawun yang menentang dakwahnya] selama dalam perkara yang dianggap baik, sekalipun selama ini sangat membencinya dan membuatnya dipenjara. (Lihat: Majmuu’ Fataawaa 3/ 271-277 dan Ibnu Qayyim dalam Zaadul Ma’aad 3/ 269).
Maka nasihat tersebut menunjukkan bahwa dua pihak musuh yang bertikai [terlepas apakah perang tersebut sungguhan atau skenario jangka panjang], sikap yang lebih bijak bagi kaum Muslimin adalah tidak terburu-buru menyimpulkan sebelum mengetahui dengan jelas ending yang sebenarnya, dikarenakan kejahatan keduanya pun sudah sangat jelas pula sepak terjangnya selama ini. Terlebih trauma ideologis kaum Muslimin terhadap mereka yang memiliki karakter yang sangat buruk; Yahudi yang terbiasa berkhianat dan Syi’ah yang selalu mengamalkan ajaran taqiyyah, yakni bolehnya berdusta atas nama agama.
Kedua; Adanya kaidah Nubuwwah yang menjelaskan Innamaa nahkumu biz zhaahir wallaahu yatawallaa as-saraair; “Kita hanya bisa menghukumi perkara yang nampak, adapun perkara tersembunyi menjadi urusan Allah ‘azza wa jalla”. Maka dalam hal ini kenyataan yang kaum Muslimin saksikan secara kasat mata adalah perang sungguhan, maka sikap yang wajar dan adil adalah menghargai realita tersebut tanpa berlebihan dan kehilangan daya kritis. Bukankah Allah ‘azza wa jalla mengingatkan: “Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu penegak [kebenaran] karena Allah dan menjadi saksi-saksi [yang bertindak] dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena [adil] itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah/ 5: 8).
Ketiga; Dengan rekam jejak yang telah diketahui sepanjang sejarah dengan segala pengkhiatan dan konspirasinya, juga skenario global yang kerapkali dipertontonkan kepada dunia [dengan segala variannya], maka sudah selayaknya kaum Muslimin saat ini tidak mudah terperdaya dan wajib mewaspadai bahaya bangkitnya kembali hegemoni dan Revolusi Syi’ah Iran saat ini. Menyetujui terhadap sikap mereka dalam menghadapi musuh bersama, tidak harus membuat kaum Muslimin melupakan segala tipu daya mereka. Merawat kemanusiaan itu penting, namun mengawal ideologi dan keyakinan iman untuk terciptanya kemanusian itu jauh lebih penting.
Keempat; Selain tanggung jawab agama [mas’uuliyatud diin] dalam menjaga kota suci Baitul Maqdis dan Al-Aqsha, juga tanggung jawab kemanusiaan [mas’uuliyatul insaaniyyah] dalam mengupayakan kemerdekaan Palestina; Hendaknya negeri-negeri Muslim [buldaanul muslimin] sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam [OKI] yang kini berubah menjadi Organisasi Kerjasama Islam [Munazhzhamat at-Ta’aawun al-Islaami] memiliki perhatian yang lebih kuat atas penderitaan yang dialami saudara-saudaranya, terlebih negeri-negeri Arab perbatasan; Yordania, Mesir, Syria dan Lebanon. Kenyataan yang sungguh ironis, di saat saudara seiman meregang nyawa dan berjuang semampu yang bisa dilakukan justru jebakan Abraham Acord [baca: “Kesepakatan Abraham” atau “Perjanjian Ibrahim” yang diprakarsai Amerika Serikat dan Israel] muncul menyandera negeri-negeri Arab kaya minyak lainnya dan berujung pada “normalisasi hubungan” dengan penjajah secara bersusulan. Alih-alih bisa memberikan dukungan strategis, yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka lebih berupaya mengamankan kepentingan masing-masing, rame-rame menyayat keadilan dengan berkhianat dan mencederai cita-cita luhur perjuangan para pejuang kemerdekaan Palestina. Saat ukhuwwah dan persatuan terkoyak, empati dan simpati negeri-negeri Sunni dibuat mati, maka tidaklah mengherankan “kekuatan kegelapan” muncul seolah pahlawan di tengah belantara pembantaian berkepanjangan. Wallaahul musta’aan
Alhamdulillãh sae pisan Tadz. Mohon izin share.Jazãkumullãhu khair.