Minggu, Januari 19MAU INSTITUTE
Shadow

PURITANISME BERBEDA DENGAN EKSTRIMISME

PURITANISME BERBEDA DENGAN EKSTRIMISME
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Puritanisme, sering dimaknai dengan gerakan yang melakukan pemurnian ajaran [ashaalah, purifikasi]. Sebahagian lain menyebutnya dengan revivalisme, yaitu gerakan yang kembali kepada pemahaman generasi awal secara konprehensif dan total [muhyi atsaris salaf, revivalisasi]. Apabila ditambah dengan semangat pembaharuan [ishlaah, reformasi], maka itulah yang disebut dengan sejatinya tajdied.

Walau berbeda sejarah, namun ada kesamaan secara esensinya, pemikiran Barat pun mengalami pergolakan, di mana kalangan Protestan yang mempertahankan injil secara literal menolak berbagai penakwilan. Menurut Dr. Muhammad ‘Imarah dalam “Al-Ushuuliyyah Bainal Gharbi wal Islaam”, mereka menyebut diri sebagai ‘kaum fundamentalis’. Hal ini dikuatkan Dr. Rifyal Ka’bah dalam “Islam dan Fundamentalisme” yang menyebutkan, mereka ‘menekankan kebenaran Bible bukan hanya dalam masalah kepercayaan dan moral saja, tetapi juga sebagai catatan sejarah tertulis dan kenabian’.

Sikap berpegang pada pokok [asaas, ushuul, fundamentum] itulah yang menyebabkan mereka disebut “fundamentalisme”. Atau karena berpegang pada akar [radix, radicis, radicula, radiculae] itulah mereka disebut “radikalisme”. Kedua sikap ini terjadi pada seluruh agama dunia, karena itu tidak tepat jika istilah ini hanya dilakukan untuk stigmatisasi kelompok tertentu. Meminjam bahasa Adian Husaini, Ph.D., “akan sangat problematis; lebih banyak bernuansa politis ketimbang akademis”. Atas dasar inilah para ulama lebih mempopulerkan istilah Islamis [Islaamiy] ketimbang fundamentalis atau radikalis [ushuuliy].

Adapun sikap keras [tasyaddud], membabi buta [tanaththu’], berlebihan [tatharruf, tafrith], melampaui batas [i’tidaa]< dan memaksakan kehendak [takalluf], Semua itu, menurut Syaikh Ibnu Baz dan Al-Luwaihiq merupakan sikap ghuluw yang bisa melahirkan sikap-sikap turunannya: pengharaman yang halal, pengakuan zuhud yang meremehkan dunia, pengharusan ijtihad tanpa piranti ilmu, pengkafiran sesama Muslim, pensucian kelompok dan pemimpinnya, serta lain-lain. Dan itu semua merupalan tanda-tanda “ekstrimisme” bukan tanda-tanda “puritanisme”.

Di samping Al-Qur’an mencela sikap berlebihan dalam memahami agama [Qs. Al-Maidah/5:77, An-Nisa/4:171, Al-Baqarah/2:190 dan Shad/38:86], Rasululloh shalalloohu ‘alaihi wasallam pun menasihatkan dalam sabdanya: “Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap melampaui batas dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan ummat sebelum kalian adalah sikap seperti itu” [HR. An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad dari shahabat Ibnu ‘Abbas ra.]. Wallaahu a’lam bis shawwaab
______

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sektetaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta.

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!