BADAI FITNAH DI TENGAH GELOMBANG MUSHIBAH
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
“Sesungguhnya akan terjadi fitnah (malapetaka) di hadapanmu bagai malam gelap gulita, seseorang di pagi hari masih dalam keadaan mukmin, di sore hari telah berubah menjadi kufur. Ia menjual agamanya karena menginginkan kehormatan dunia” (HR. Abu Dâwud, Kitâbul Fitan wal Malâhim, no. 4259 dan HR. Ibnu Mâjah, Bab At-Tatsbît fil fitnah, dari shahâbat Abu Mûsa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anh, no. 3961).
Demikianlah Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan ummatnya, di mana isyarah nubuwah yang beliau sampaikan dalam haditsnya yang mulia ini mengandung renungan yang sangat dalam dan perlu perhatian yang sangat serius.
Pertama, akan terjadi badai fitnah yang sangat dahsyat menimpa kaum muslimin seperti gelapnya malam yang sangat pekat.
Kedua, akan terjadinya perubahan perilaku yang sangat besar menimpa kaum muslimin, di mana keimanan dan ke-Islaman seseorang sudah menjadi barang murahan untuk dipertaruhkan.
Tentu saja keduanya terjadi bukan tanpa sebab, melainkan banyak faktor yang mengiringinya. Faktor-faktor inilah yang disebut dengan sumber fitnah atau malapetaka.
Memahami Makna Fitnah
Dalam kitab-kitab kamus (ma’âjim) dituliskan, bahwa yang dimaksud fitnah memiliki banyak pengertian, terkadang diartikan batu ujian, cobaan, ‘aib dan noda di samping stress atau kegilaan. Terkadang diartikan pula dengan siksa, penyakit, kegaduhan, kerusuhan, chaos dan huru hara di samping ujian anak dan harta. Yang jelas, semuanya mengindikasikan kepada segala sesuatu yang dibenci (kullu syai’in makrûhatin).
Dikarenakan semuanya bisa menjadi beban dan setiap beban terasa menjadi siksa, maka sederhananya fitnah dapat diartikan adzab, sekalipun bagi orang-orang shalih bisa berubah menjadi rahmat. Hal ini tercermin dalam dialog Rasûlullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersama ummul mukminien ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anh. Beliau bersabda: “Apabila telah nampak kerusakan di muka bumi, maka Allah akan turunkan siksa pada penghuninya”. Lalu ‘Aisyah menyangkalnya: “Bukankah penduduk bumi masih ada orang shalihnya?”. Beliau menjawab: “Benar, kemudian bagi mereka menjadi rahmat” (HR. Ahmad dalam Tafsir Ibnu Katsir 2/275).
Sungguh sangat jelas, terjadinya malapetaka merupakan buah akibat dari perbuatan manusia sendiri yang mengundang laknat Allah yang bukan hanya menimpa pelaku kezhaliman saja, melainkan termasuk orang-orang shalih sekali pun akan ikut menanggung derita karenanya. Orang zhalim binasa karena kezhalimannya, sedangkan orang shalih dibinasakan karena diamnya, bungkam diam seribu bahasa tidak mencegah kemaksiatan dan kezhalimannya. (As-Syaukâni dalam Fathul Qadîr 2/376 dan As-Shâbûni dalam Shafwatut Tafâsir 1/500).
Maka sangatlah wajar, di antara para Ahli Tafsir menyebutkan, fitnah (malapetaka) yang muncul saat ini adalah manusia telah banyak meninggalkan al-amru bil ma’rûf wan nahyi ‘anil munkar. (Khâlid Abdurrahman al-‘Akk. Shafwatul Bayân Lima’ânil Qur’ân, hlm. 52).
Maha benar Allah atas segala firmanNya: “Hendaklah kalian takut akan fitnah (adzab Allah), di mana Allah tidak akan menimpakannya secara khusus kepada orang-orang zhalim saja. Ingatlah sesungguhnya Allah Maha keras siksaannya”. (QS. Al-Anfâl/8: 25).
Dahsyatnya Mushibah
Dalam kenyataannya, kaum muslimin mendapatkan mushibah, terkadang dengan hal-hal yang baik (bil khair), juga terkadang dengan hal-hal yang buruk (bis syarr). Mushibah dengan yang baik-baik, di antaranya melimpahnya kekayaan alam, pesatnya pembangunan atau majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin mutakhir. Adapun mushibah dengan yang buruk-buruk, di antaranya banyaknya bencana yang menimpa, dari kemarau panjang sampai banjir bandang, dari gempa bumi, gunung meletus sampai tsunami. Singkatnya dari ‘banjir duit’ sampai ‘banjir lumpur’ masuk di dalamnya. Semua ini terjadi ketika manusia masih di dunia, maka Rasûlullah shalallaahu ‘alahi wa sallam mengistilahkannya dengan fitnah dunia (fitnatul mahyâ; cobaan selagi hidup). Tentu saja ada cobaan yang lain yang lebih dahsyat ketimbang cobaan dunia, itulah yang dinamakan fitnah negeri akhirat (fitnatul mamât; cobaan setelah kematian, di antaranya menjawab pertanyaan malaikat di alam kubur. Dapat menjawab berarti nikmat, tidak dapat menjawab berarti adzab atau mushibah). (Lihat: Sunan an-Nasâi bis Syarhil Hâfizh Jalâluddin as-Suyûthi wa Hâsyiyatil Imâm as-Sindi, 2/57).
Oleh karenanya Rasûlullah mengingatkan, kehidupan dunia selalu diuji dengan kenikmatan, sementara kenikmatan akhirat selalu diuji dengan kepahitan. “Kelezatan dunia adalah empedunya akhirat, sedangkan kepahitan dunia adalah madunya akhirat.” (HR. al-Hâkim dan Ahmad dalam Washayal Ulamâ ‘Inda Hudhûril Maut, tahqîeq Musthafâ Abdul Qadîr Atha’, hlm. 102).
Beberapa Renungan
Kembali kepada mushibah dunia, yaitu bencana demi bencana yang menimpa ummat manusia, seyogyanya menjadi bahan renungan dengan pendekatan yang dapat mengantarkan seseorang semakin dekat kepada yang mendatangkan mushibah yakni Allah Rabbunâ taabâraka wa ta’âla. Itulah yang disebutkan pendekatan ‘Aqidah, di mana kembalinya ummat manusia kepada ‘Aqidah yang benar merupakan solusi atas setiap mushibah. Di antara renungan yang dimaksud adalah:
1) Menjadikan semua peristiwa sebagai pembimbing peringatan yang dapat menambahkan keimanan akan kesempurnaan kuasa dan kekuatan Allah serta menyakini bahwa Allahlah yang mengatur sesuai kehendakNya dan berkehendak mengadzab manusia baik ‘adzab dari atas’ semisal petir, halilintar yang menghancurkan dan angin topan serta ‘adzab dari bawah’ semisal gempa dan tanah longsor (QS. Al-An’am/6: 65).
2). Menjadikan semua peristiwa sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan rasa takut dikarenakan keagunganNya (QS. Al-Isra’/17: 59).
3) Setelah terjadinya bencana merenungkan betapa nikmatnya Allah letakkan manusia di bumi yang tidak bergoncang (QS. Ghâfir/40:64).
4) Menyakini bahwa bumi benar-benar milik Allah, apapun yang Dia lakukan merupakan kehendakNya (termasuk menenggelamkannya dengan bencana). (QS. Ar-Ra’d/13: 41).
5) Bertambahnya keyakinan dan tawakkal kepada Allah bahwa dibalik peristiwa itu terdapat wasilah dan pelajaran yang dapat lebih menghubungkan hamba dengan Rabb-Nya.
6) Menyadari bahwasanya semua mushibah yang terjadi disebabkan karena dosa-dosa yang dilakukan (QS. Al-Ankabût/29: 40).
7) Menjadikan bahan dorongan untuk membantu dan mendo’akan orang-orang yang dilanda mushibah sebagai titik tolak pertaubatan menuju jalanNya. (Lihat Taushiyah Syeikh Abdur Razak bin Abdul Muhsin Al-Badr dalam Aqidah Shahîhah: Solusi Atas Setiap Mushibah).
Alâ Kulli hall, meminjam pepatah klasik “Tidak mungkin ada asap, kalau tak ada api, tak mungkin ada akibat (musabab), kalau tak ada sebab (sabab)”. Demikian pula datangnya berbagai bencana dan ujian yang menimpa sampai melahirkan badai fitnah, semua terjadi dikarenakan tingkah laku manusia di samping kehendak yang Maha Kuasa. Bukankah Rasûlullah pernah mengingtkan kepada kaum muhâjirin: wahai segenap muhajirin, ada lima perkara yang dapat menyebabkan kalian ditimpa mushibah berat, dan aku berlindung dari semuanya itu:
1. Tidaklah perbuatan fakhsya’ (kriminalitas, prostitusi, perjudian, minum khamar dll.) dilakukan secara terang-terangan, melainkan Allah kirimkan penyakit yang tidak pernah terjadi pada ummat-ummat sebelumnya.
2. Tidaklah mereka mengurangi timbangan dan sukatan (korupsi, manipulasi dan lain), melainkan Allah timpakan kemarau panjang dan sulitnya mendapatkan pertolongan serta zhalimnya penguasa kepada mereka.
3. Tidaklah orang-orang kaya menahan zakat mereka, melainkan Allah tahan curahan hujan dari langit, Kalaulah Allah tidak sayang kepada binatang bumi, hujan itu tidak akan pernah diturunkan.
4. Tidaklah janji Allah dan RasulNya diingkari, melainkan Allah timpakan kesulitan berupa musuh yang akan merampas kekayaan mereka.
5. Tidaklah pemimpin mereka enggan menerapkan hukum Allah, melainkan Allah turunkan krisis diantara mereka. (HR. Ibnu Mâjah, Bab ‘Uqûbât no. 4019).
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari cobaan yang berat (juhdul balaa’), kesengsaraan yang sangat (darkus saqaa), ketentuan yang buruk (suu’ul qadhaa) dan kegembiraan musuh atas bencana yang menimpa (tsamaatatil a’daa). Innaa lillâhi wa Innaa Ilaihi râjiûn.
________
Penulis adalah: Pengasuh Kajian Tsaqaafah Islaamiyyah di madrasahabi-umi.com