TRI FUNGSI MASJID; MEMAKMURKAN, MEMAMERKAN DAN “MEMAMORKAN”
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Institusi paling tua dan paling melegenda di muka bumi adalah masjid. Yakni sebuah tempat khusus, di mana di dalamnya manusia bersujud menghadap Rabbnya dengan menjalankan shalat lima waktu sebagaimana ditunjukkan Syaikh Sa’id Wahf al-Qahthany.
Mengapa hanya sujud yang disebut?, Imam Az-Zarkasyi menuturkan: “Tempat tersebut disebut masjid, karena sujud merupakan rangkaian shalat yang paling mulia, mengingat betapa dekatnya seorang hamba dengan Tuhannya ketika sujud”
Bukan hanya dimulai sejak Nabi akhir zaman, melainkan para Nabi sebelumnya pun telah mengenalnya sejak lama. Adapun pengertian “setiap tempat di muka bumi adalah masjid”, merupakan kekhususan yang Allah ‘azza wa jalla anugerahkan kepada Nabi terakhir dan ummatnya selama tempat tersebut bukan tempat yang terlarang; seperti halnya makam (maqbarah) dan tempat-tempat yang terhindar dari kotor dan najis sebagaimana diisyaratkan Imam An-Nawawy. (Lihat: Al-Qahthany dalam Shalâtul Mu’min; Mafhûm wa Fadhâil wa Adâb wa Ahkâm wa Kaifiyyah fie Dhauil Kitâb was Sunnah: 2003)
Kemuliaan masjid, tidak sekedar bagi mereka yang menyerahkan tanah wakaf untuk dibangun atau membangun fisiknya. Namun, termasuk mereka yang turut serta menghidupkannya dengan berbagai aktivitas. Semuanya saling sinergi berjalin berkelindan saling mengokohkan.
Membangun, menghidupkan dan membuatnya masjid menjadi gagah, berwibawa dan bermartabat bisa kita sebut sebagai “trifungsi masjid” yang meliputi di dalamnya, sebagai berikut:
Memakmurkan
Memakmurkan masjid demi menghidupkan jiwa masjid itu sendiri dengan berbagai aktivitas keilmuan; mulai dari pengembangan intelektual jamaah (pengajian/ taklim, pengkajian/ mubâhatsah, tilawah berkesinambungan/ tadarrus, mendalami kandungan wahyu/ tadabbur, menghidupkan iman/ tadzakkur dan tazkiyah serta mencari kepahaman/ tafaqquh dan lain-lain). Para ulama menyebutnya dengan memakmurkan secara maknawi (‘imâratul masjid ma’nawiyyan)
Memamerkan
Kalaulah “memamerkan” itu dibolehkan, maka masjid itulah yang boleh dipamerkan kepada khalayak agar masjid tampak lebih indah, asri dan mempesona. Setiap orang yang datang merasakan kenyamanan dan ketentramannya. Merasa aman dan membuat orang senang mengunjunginya. Namun, tentu saja keindahan bangunannya itu bukanlah indah dan megah tanpa makna seperti yang disindirkan Rasulullah shalallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai masâjiduhum ‘âmiratun wa hiya kharâbun minal hudâ, yaitu masjid yang “kosong mlompong” dari petunjuk Allah ‘azza wa jalla. Bentuk memakmurkan yang kedua ini, para ulama menyebutnya dengan memakmurkan fisik masjid (‘imâratul masjid hissiyyan).
Memamorkan
Memamorkan, maksudnya membuat masjid itu memiliki “pamor”. Artinya bisa gagah, berwibawa, bermartabat dan “terasa nendang” sebagai rumah Allah yang memiliki ruh yang kuat dalam melahirkan berbagai macam solusi ummat secara briliant dan elegant, yakni memimiliki gagasan-gagasan cerdas yang visioner, namun tidak kehilangan sikap bijak dan sikap luwesnya. Berbagai persoalan keummatan dipecahkan di tempat mulia ini, berbagai program unggulan ditumpahkan, kaderisasi ummat dilahirkan dan berbagai strategi keberpihakan terhadap ummat (baik strategi ekonomi/ iqtishâdiyyah, politik/ siyâsiyyah, sosial/ ijtimâiyyah, budhaya/ tsaqâfiyyah, pertahanan dan keamanan/ amniyyah) pun dapat “digodok” dan diwujudkan dari markaz ummat yang hebbat dan istimewa ini.
Benar kata cerdik pandai dan para ulama kita; masjid adalah markaz tempat berkhidmat, masjid adalah benteng dan bengkel ummat, masjid adalah jantungnya masyarakat dan masjid pun adalah mercusuar peradaban.
Sungguh menarik apa yang dituturkan seorang da’i senior dan penulis kawakan ini. Syaikh A’idh bin Abdullah al-Qarny ketika memaparkan QS. At-Taubah/ 9: 17 dan QS. An-Nûr/ 24: 36 terkait memakmurkan masjid. Dalam kutaibatnya Al-Masjid Mahd al-Inthilaqâtil Kubrâ (2002) disebutkan: “Tersirat dalam ayat di atas, orang-orang yang menyimpang dari agama Allah (disebut zindiq), mengingkari tauhid (disebut mulhid) dan orang-orang munafiq tidak ada hak untuk memakmurkan masjid Allah. Hanya saja orang yang berhak memakmurkan masjid adalah orang-orang yang hendak menegakkan dienul Islâm, mengembangkan dan memancarkan cahayaNya, membangun benteng pertahanan risalah agung nan abadi dan membangun tembok-tembok raksasa untuk mengibarkan panji-panji Tauhid di setiap jengkal tanah di permukaan bumi ini”.
Allâhumma arinâ al-haq haqqan warzuqnâ ittibâ’ahu wa arinâ al-bâthila bâthilan warzuqnâ ijtinâbahu … Âmîn
_____
Penulis adalah: Khâdimul Masjid (marbot, marbûth) di Mesjid Al-Istiqamah Pasar Jatinegara Jakarta Timur (1992 – 1996) dan sekarang masih ikut serta dalam menggeluti aktivitas yang sama di Masjid Wadhhah ‘Abdurrahman al-Bahr Pusdiklat Dewan Da’wah (sejak tahun 1999)