Rabu, Mei 1MAU INSTITUTE
Shadow

MA’RAKAH MUSTHALAHÂT; MENYOAL KEGADUHAN TEOLOGIS HINGGA “KEKAFIRAN” BERFIKIR

MA’RAKAH MUSTHALAHÂT; MENYOAL KEGADUHAN TEOLOGIS HINGGA “KEKAFIRAN” BERFIKIR
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

Ada banyak pertempuran yang kita kenal akhir-akhir ini, di antaranya: perang opini, perang proxy, perang cyber dan perang terminologi (ma’rakah musthalahât).

Perang opini; Lebih pada bagaimana menciptakan gambaran (tashawwur) sesuatu, baik berupa kesan (image) atau pencitraan dalam mengunggulkan satu kelompok dan memojokkan kelompok lain.

Perang proxy;  Lebih pada peperangan dengan penggunaan pihak lain (biasa disebut pihak ketiga) untuk menghancurkan lawannya dengan berbagai cara yang mungkin dan tidak diketahui secara terbuka.

Perang cyber; Lebih pada peperangan yang “tidak kentara” kerusakannya secara fisik, namun bisa dirasakan lebih pada pengrusakkan sistem dan data dari pihak-pihak yang berseteru dengan menggunakan perangkat-perangkat teknologi komputer dan media sosial. Sebagian menyebutnya dengan “perang dunia maya”.

Perang terminologi; Adalah peperangan yang lebih mendasarkan pada penggunaan diksi-diksi dan biasnya kalimat dari istilah-istilah yang digunakan (semantic confusion) guna melempangkan jalan kemenangan suatu kelompok atau gerakan.

Dari semua peperangan yang tidak kurang bahayanya dari perang fisik itu adalah jenis perang yang terakhir, yakni perang terminologi. Lahirnya istilah radikalisme Islam untuk menafsirkan kelompok Islamis, moderasi agama untuk menyebut konsep pertengahan, progresivisme Islam untuk menyebut kelompok Islam berfikiran “maju” dan istilah-istilah lainnya yang senada. Semua ini, cukup efektik dalam meluluh lantahkan bangunan istilah-istilah baku dalam agama (musthalahât syar’iyyât).

Tidak terkecuali, mengganti atau “mengamandemen” istilah-istilah yang sudah tertulis secara mutawatir (al-matluw bit tawaatur) dalam Al-Qur’an, mereduksi kandungannya dan melakukan tafsir ulang (reinterpretasi) terhadap penafsiran-penafsiran mu’tabar.

Islam sungguh sangat jelas; jujur, logis dan lugas serta tanpa “tedeng aling-aling”. Islam sangat menghargai akal merdeka manusia, tidak membunuh akal sehat dan selalu selaras dengan fithrah. Karena itu, ketika berhadapan dengan realita seperti halnya beragamnya “agama”, Islam sungguh mengakui adanya perbedaan itu. Konsep “Lakum diinukum wa liya diin” (QS. Al-Kâfirûn/ 109: 6) menjadi bukti kuat pengakuan Islam akan adanya kebinekaan beragama itu. Namun demikian, “mengakui” tidak berarti harus “membenarkan” agama-agama lain. “Menghargai” bukan berarti harus “mencampurkan”. Itulah inti dari makna “toleransi” dalam Islam.

Demikian pula dengan konsep “Lâ ikrâha fied diin” sebagaimana tertuang dalam firmanNya:

لا إكراه في الدين فد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت و يؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها والله سميع عليم

“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam, sungguh telah jelas antara petunjuk dari kesesatan. Siapa yang mengingkari thagut dan beriman pada bukhul Allah, sungguh ia telah berpegang teguh pada tali yang kuat yang tidak akan terputus. Dan Allah itu Maha mendengar lagi Maha melihat” (QS. Al-Baqarah/ 2: 256).

Sampai di situ jelas, bahwa prinsip teologis-ideologis merupakan sesuatu yang tetap (tsawâbit), bukan sesuatu yang boleh berubah-ubah (mutaghayyirât). Biarkan kata kufur dengan maknanya, tidak bisa diganti dengan kata lainnya (sebutan orang kafir dalam ayat-ayat kepemimpinan diganti dengan non Islam atau warga negara/ muwâthinun misalnya) atau kata nifaq (artinya bermuka ganda dalam menampilkan sikap beragama) diganti dengan kata lainnya (oportunisme misalnya, untuk menyebut seseorang yang menurutnya menggunakan akal bijaknya untuk kepentingan sendiri atau kepentingan tertentu). Tentu hal demikian bisa melahirkan ketidak jelasan dan semakin menambahkan “kegaduhan teologis”.

Istilah “kekerasan teologis” yang banyak dialamatkan kepada orang-orang yang masih menyebut kafir, munafiq, fasiq, musyrik, zindiq atau mulhid, justeru lebih tepatnya penilaian itu untuk mereka. Bukan sekedar kekerasan teologis, bahkan lebih dari itu, yakni “kejahatan teologis”.

Adapun penggunaan komunikasi publik, tentu lain lagi konteksnya dan ranahnya berbeda. Makanya Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam pun menggunakan bahasa yang tidak menghilangkan rasa kemanusiaannya. Contohnya, ketika menyurati Kaisar Romawi Heracklius beliau nenggunakan hiasan bahasa di awal suratnya: ilâ hiraqla ‘azhiemir rûm (artinya; “Surat ini ditujukan kepada Hiracklius pembesar negeri Romawi”). Sekali lagi, ini komunikasi publik/ komunikasi sosial. Karenanya, sangatlah wajar apabila rambu-rambu jalanan yang mengarah ke haramain di Saudi Arabia, tertulis dengan Lil muslimiena faqath (Hanya untuk muslimin) atau Lighairil muslimiena (Untuk bukan muslimin).

Kembali ke perang terminologi, apabila istilah atau diksi baru dipaksakan untuk “menduduki” istilah atau diksi yang telah tetap (jâzim, tsâbit) dalam bahasa wahyu, maka yang terjadi bisa mengakibatkan penentangan baru berupa “kekafiran” berfikir. Wallâhul musta’ân …
____________

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!