INDIKATOR SEKOLAH BERMUTU BAIK (Mencari Solusi Berbagi Obrolan Kegundahan)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Di antara agenda yang harus terus dijalankan dalam dunia pendidikan hari ini, adalah mewujudkan masyarakat terdidik. Banyak upaya telah dilakukan pemerintah, di samping merupakan amanah konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan dibentuknya negara Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, juga merupakan tuntutan zaman yang terus kian berubah.
Menurut Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, selama perjalanan berbangsa dan bertanah air, dirinya telah mencatat dan mencermati empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional; popularisasi pendidikan melalui gerakan education for all (di antaranya tahun 1984 menerapkan wajib belajar 6 tahun, lalu dilanjutkan 9 tahun dan 12 tahun), sistematisasi pendidikan dengan menerapkan total quality management (di antaranya pelaksanaan EBTANAS dan UMPTN), proliferasi pendidikan dengan melahirkan UU no. 4 tahun 1950 tentang pendidikan formal di sekolah dan politisasi pendidikan di mana pendidikan menjadi alat politik. (Lihat: Paradigma Baru Pendidikan Nasional, 2004: hlm. 64-69)
Berbagai upaya ini, tidak dapat dilepaskan dari adanya ide-ide pengembangan pendidikan dari zaman ke zaman yang semuanya ini memerlukan evaluasi yang terus menerus. Uji coba teori dengan segala plus minusnya, akan semakin mengembangkan kreasi dan inovasi dalam mewujudkan “mimpi-mimpi positif” pada dunia pendidikan.
Pendidikan dalam Perspektif Idealisme
Sebagaimana dikutip Sidi Gazalba (dalam Sistematika Filsafat, 1981: 315), bahwa Plato sebagai bapak filsafat idealisme
mengatakan: “hakikat segala sesuatu tidak terletak pada yang bersifat materi atau bendawi, tetapi sesuatu yang ada di balik materi itu, yakni ide. Ide bersifat kekal, immaterial dan tidak berubah, walaupun materi hancur ide tidak ikut musnah. Menurutnya, pengetahuan manusia terbagi menjadi dua bentuk; pengetahuan umum dan pengetahuan khusus. Pengetahuan umum bersifat universal dan mengandung ide, yang dikenal dengan budi. Sementara pengetahuan khusus bersifat terbatas dan individual yang berasal dari dunia pengamatan dan pengalaman.” (Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern, 2004: hlm. 250)
Karena itu, pemikiran pendidikan menurut faham idealisme adalah sebagai berikut:
Pertama; Hakikat pendidikan adalah semangat ingin kembali kepada warisan budaya masa silam yang agung dan ideal, artinya pendidikan sebagai pemelihara kebudayaan.
Kedua; Tujuan pendidikan adalah membentuk anak didik agar menjadi manusia yang sempurna, berguna bagi masyarakatnya.
Ketiga; Tugas pendidikan adalah proses melatih jiwa, seperti pikiran, ingatan, perasaan dalam kerangka memahami realita, nilai-nilai, kebenaran, baik sebagai warisan sosial (kebudayaan) maupun sebagai makrokosmos (alam semesta), artinya hakikat tugas pendidikan adalah melatih jiwa dan akal yang kreatif.
Keempat; Kurikulum pendidikan merupakan proses aktif individu untuk mengerti sesuatu dengan arahan dan batasan yang jelas tentang kemampuan dan keahlian yang harus dimiliki oleh anak didik. (Ali Maksum, Paradigma Pendidikan, 2004: hlm. 252-255)
Menurut Ahmad Watik Pratiknya (sebagaimana dikutip dalam kumpulan tulisan tentang Pendidikan Islam di Indonesia dengan judul “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia” yang di sunting oleh Muslih Usa) bahwa termasuk kurikulum yang ideal, memasukkan dimensi religius, karena hakikat pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan/ mengarahkan anak didik supaya menjadi manusia masa depan yang lebih lengkap. Hal ini ditempuh dalam rangka memuluskan proses pendidikan sebagai proses alih nilai (transfer of value) dalam melakukan perubahan perilaku. (Lihat: Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, 1991: hlm. 99)
Semua itu dijalankan, tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kecenderungan-kecenderungan yang menjadi karakter kekinian dan masa depan.
Indikator Sekolah Bermutu Baik
Dari pandangan-pandangan tadi, maka dapat kita simpulkan bahwa pendidikan yang ada ini perlu disempurnakan agar para lulusan dapat hidup wajar sesuai dengan karakter zamannya. Oleh karenanya, perlu adanya rumusan-rumusan yang dipersiapkan.
Menurut Prof. Dr. Ahmad Tafsir, rancangan dan hal pertama yang paling penting dalam membuat rumusan adalah merumuskan tujuan, karena program pendidikan 100% ditentukan oleh rumusan tujuan. Tentunya semua sepakat, mewujudkan “manusia terbaik” itu sebagai tujuan pendidikan. Namun menurutnya, merumuskan ciri-ciri manusia baik itu seperti apa dapat memunculkan perbedaan pendapat dikarenakan cara pandang yang berbeda. Ada yang kembali kepada cara pandang agama, filsafat, bahkan warisan nilai nenek moyang. (Lihat: Filsafat Pendidikan Islami, 2008: hlm. 76-77)
Sebagai negara yang berdaulat, tentu telah memiliki falsafat negara, agama-agama yang telah diketahui dan ditambah dengan nilai-nilai pribumi yang telah berjalan di tengah masyarakat. Selama berpegang kepada nilai-nilai luhur bangsa dan tidak mencederai konstitusi, maka kriteria-kriteria universal dapat dirumuskan bersama sesuai kebutuhan hari ini dan masa depan, di mana sekolah-sekolah yang ada dapat menyelaraskan dengan hasil-hasil yang dirumuskan itu.
Dalam hal ini, layak kita cermati pandangan Prof. Dr. Ahmad Tafsir (sebagaimana dikutip dalam kumpulan tulisan Mereka Bicara Pendidikan Islam dengan judul “Pendidikan Untuk Masa Depan” yang di sunting oleh Marwan Saridjo), yang menurutnya: “Pendidikan masa depan haruslah menghasilkan lulusan yang mampu bersaing secara baik. Untuk itu, pendidikan harus menyiapkan manusia yang unggul.” (Lihat: Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai, 2009: hlm. 39-40)
Masih menurutnya, untuk mencapai semua itu sekurang-kurangnya memiliki ciri sebagai berikut:
Pertama; Lulusan haruslah berdedikasi dan berdisiplin tinggi. Artinya memiliki rasa pengabdian terhadap tugas dan pekerjaannya serta memiliki visi jauh ke depan yang strategic dengan target-target yang terukur waktu sehingga ia terfokus pada apa yang ingin diwujudkannya.
Kedua; Lulusan haruslah jujur (baik jujur kepada orang lain, juga jujur kepada dirinya sendiri). Artinya, di era kompetisi kejujuran itu sangat penting terutama dalam hal profesionalisme. Mengakui profesionalisme orang lain dan mawas diri terhadap kelemahan diri sendiri itu akan mendorong semangat kompetisi yang sehat dan kerjasama (networking) yang baik pula dengan pihak lain.
Ketiga; Lulusan haruslah inovatif. Artinya selalu ingin melakukan hal yang baru dan tidak puas dengan status quo.
Keempat; Lulusan haruslah tekun. Artinya fokus pada tugas yang dihadapi. Dengan ketekunan itu, maka akan melahirkan sesuatu.
Kelima; Lulusan haruslah ulet. Artinya, ketekunan yang sudah dibangun itu tidak memudahkan dirinya putus asa, melainkan selalu ingin mencoba.
Keenam; Lulusan haruslah mampu mengendalikan dirinya. Artinya, kesuksesan seseorang tidak sekedar ditentukan oleh kecerdasannya (IQ), melainkan dengan kemampuannya dalam mengendalikan diri (EQ).
Apabila dilihat secara keseluruhan, pada prinsifnya lahirnya manusia terbaik sangat ditentukan oleh mutu pendidikan yang baik. Dan mutu pendidikan yang baik, sangat ditentukan oleh sejauhmana “seimbangnya” intellectual, emotional dan spiritual dapat ditanamkan kepada peserta didik.
Inilah sebenarnya yang telah dirumuskan para ahli ilmu terdahulu yang utama (al-qudamâ, al-fudhalâ) di mana mereka senantiasa mengingatkan agar peserta didik tidak sekedar memiliki kecerdasan otak (dzakiy), melainkan kecerdasan jiwanya pula (zakiy). Apalah artinya dunia ini? Apabila manusia hanya dipimpin oleh manusia lain yang pintar otaknya semata, namun rusak jiwanya. Wallâhul musta’ân … Allâhumma faqqihnâ fied dîn
____
*) Makalah ini disampaikan pada Halaqah Mudarrisîn di Pesantren Persatuan Islam Cibatu Garut dan Guru-guru di Lingkungan Pendidikan Terpadu Pusdiklat Dewan Da’wah Bekasi Jawa Barat