BUDAYA LITERASI DALAM MEMBANGUN SARJANA PENDIDIKAN DAN DAKWAH YANG MUTAFAQQIH FID DÎN DAN BERWAWASAN KEKINIAN (Tahniah ‘Ilmiyyah Atas dibukanya Prodi KPI STAI PERSIS Jakarta)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
A. Muqaddimah
Di antara keagungan Islam, adalah adanya warisan yang ditinggalkannya; baik berupa peninggalan fisik yang menunjukkan adanya peradaban (hadhârah) atau pun warisan yang bersifat kebudayaan (tsaqâfah) yang lebih menampilkan tingkah laku dan tradisi. Di sisi lain ada warisan agung berupa peninggalan intelektual yang lebih memperlihatkan adanya sejumlah karya para ilmuwan (turâts). Warisan agung dalam makna kitab suci atau firman Tuhan berupa Al-Qur’ânul Karîm atau pun sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berupa kumpulan As-sunnah an-Nabawiyyah, merupakan warisan pokok yang menjadi pedoman utama dalam kehidupan yang tidak ada bandingannya. Karenanya para ahli menyebutnya dengan warisan suci (turâts muqaddas).
Adapun yang menjadi fokus bahasan dalam bahasan ilmiah ini ingin mengantarkan diri dan para sahabat juang di lingkungan Sekolah Tinggi Agama Islam PERSIS Jakarta adalah bagaimana menghidupkan budaya pengkajiannya terhadap kedua sumber pokok yang sudah disebutkan. Tradisi ilmiah semacam ini, para ahli menyebutnya dengan budaya literasi sebagaimana yang telah ditempuh para cerdik pandai (Al-‘Allâmah, Al-‘Ulamâ) dalam bentangan karya-karya mereka yang menyebar di seantero jagat, sehingga bumi ini penuh dengan mozaik atau khazanah intelektual yang melimpah. Karya-karya semacam ini, para ahli menyebutnya dengan warisan intelektual. Untuk membedakan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang suci, mereka menyebutnya turâts ghair muqaddas, yaitu warisan intelektual yang tidak suci, yang masih memungkinkan adanya perdebatan ilmiah.
B. Apakah Budaya Literasi itu?
Secara umum, budaya literasi adalah budaya tulis baca dengan segala aktivitasnya yang dilakukan generasi belakangan dalam mengkaji apa yang ditinggalkan oleh para pendahulu; baik dalam masalah agama, pemikiran, akhlaq, perundang-undangan, adab, kesenian dan lain-lainnya. Demikian Prof. Dr. Bakr Zaki ‘Iwad menjelaskan dalam At-Turâts al-Islâmy Bainat Taqdîr wat Taqdîs (2005).
Para ahli kamus semisal Ahmad bin muhammad Al-Fayumy dalam Mishbâhul Munîr (2003) dan Muhammad bin Abu Bakr ar-Râzi dalam Mukhtârus Shihâh (2003) memaparkan bahwa turâts diambil dari kata:
ورث – يرث – وراثة – تراثا – إرثا
Huruf “ta” dari turâts adalah pengganti huruf “wawu”, artinya adalah harta warisan, atau harta peninggalan orang tua yang telah meninggal. Hal ini dikuatkan oleh QS. Al-Fajr/ 89: 19 sebagai berikut:
ويإكلون التراث أكلا لما
“Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara membaurkan (yang halal dengan yang bathil)”
Dalam pemahaman Barat, literasi adalah hasil sebuah peradaban ummat masa lampau yang perlu ditinjau ulang menurut barometer keilmuan kontemporer. Maka menurut mereka, termasuk di dalamnya peradaban Yunani, Fir’aun, India dan Persia masuk di dalamnya. (Dr. Ahmad Zain An-Najah, Mengenal Turats Islam, Menara Dakwah, 2008: hlm. 03)
Secara konteks Islam, ada banyak pendapat di kalangan ahli ilmu, dalam mendefinisikan literasi Islam, minimalnya ada tiga definisi, yaitu:
Pertama; Literasi Islam adalah apa yang dihasilkan oleh akal seorang Muslim dalam rangka menerangkan atau membela ajaran-ajaran Islam. Pendapat ini dipilih oleh Dr. Muhammad Al-Bahy rahimahullâh.
Kedua; Literasi Islam adalah apa yang dihasilkan oleh akal manusia, baik seorang Muslim atau pun Non muslim, asalkan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ketiga; Literasi Islam adalah apa yang dihasilkan oleh akal seorang Muslim sepanjang sejarah Islam, baik yang berhubungan dengan ilmu agama atau bukan, baik yang sesuai dengan kebenaran atau tidak. Pendapat ini dipilih Prof. Dr. Bakr Zaki ‘Iwad.
Apabila dicermati, tiga pandangan ini mengandung beberapa konsekuensi yang berbeda satu sama lain, yaitu:
1. Pendapat pertama terlalu sempit dan akan membuang banyak hasil karya para penulis Muslim yang hanya menorehkan buah karyanya itu sekedar menuliskan karya penulis lainnya dalam disiplin ilmu-ilmu tertentu; kedokteran, fisika, biologi, matematika, farmasi, ilmu bangunan dan lain-lain.
2. Pendapat kedua terlalu melebar, sehingga memungkinkan karya-kaya Orientalis dan penulis Non muslim masuk bagian turâts Islâmy. Hal ini tentunya kurang tepat.
3. Pendapat ketiga, merupakan pendapat pertengahan yang memasukkan seluruh karya Muslim yang tidak membatasinya dengan ilmu-ilmu agama semata. (An-Najah, Mengenal, 2008: hlm. 06)
C. Sarjana Muslim dan Budaya Literasi
Tidak ada alasan untuk menjauhkan budaya literasi dari kehidupan sarjana Muslim, kaitan keduanya laksana kolam dengan ikannya. Ikan akan mati sia-sia apabila kolam tidak dirawatnya dengan baik. Demikian pula dalam kehidupan pembelajaran; Malasnya para sarjana dalam menghidupkan membaca, menulis, berdiskusi, menganalisa dan aktivitas lainnya dapat menyebabkan kemalasan berfikir yang dapat menjadikan miskinnya gagasan, bahkan matinya gagasan. Apabila iklim seperti ini tidak segera dipulihkan, maka yang terjadi adalah lahirnya sarjana-sarjana yang kehilangan jiwa kemandiriannya; sepi kreatifitasnya, mati inovasinya dan instan cara berfikirnya.
Para salaf terdahulu, sangat menitikberatkan agar menjadi kaum pembelajar:
اغد عالما او متعلما او مستمعا او محبا ولا تكن الخامسة فتهلك
“Jadilah engkau seorang yang mampu mengajar, atau yang belajar, (kalau tidak mampu) jadilah yang mau mendengarkan atau simpati (minimalnya) dan janganlah mau menjadi yang kelimanya, maka engkau akan binasa.” (HR. Al-Bazzâr dan At-Thabarani dari shahabat ‘Abdurrahman bin Abi Bakrah radhiyallâhu ‘anh)
Artinya, nasihat ini merupakan dorongan kuat bahwa budaya literasi merupakan “harga mati” dalam kehidupan para sarjana Muslim. Meminjam istilah lain, “Berliterasilah seindah mungkin, hingga kau dapati kenikmatan ilmu tiada akhir.” Benar menurut Bung Hatta: “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”
Sebagai sarjana Muslim, pastinya harus memiliki perubahan dalam pola pikir, sikap, tanggung jawab, dan kedewasaan. Semua itu perlu dikembangkan secara optimal guna mewujudkan apa yang disebut Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi di dalamnya; pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, juga pengabdian kepada masyarakat.
Kedewasaan dalam bersikap dan berfikir pun dibutuhkan untuk menghadapi ragam tugas dan tantangan yang tentu jauh lebih berat. Menjadi mahasiswa yang digadang-gadang sebagai agent of change dan kaum intelektual yang dipercaya oleh masyarakat untuk melakukan perubahan tatanan kehidupan ke arah yang jauh lebih baik dan beradab. Semua itu memerlukan banyak modal dan persiapan matang untuk menjadi insan yang memiliki kredibilitas tinggi. Hal demikian ini hanya dapat dicapai dengan membudayakan literasi dalam setiap nafas kehidupannya.
Pohon dapat tumbuh subur jika diberi pupuk yang cukup sebagai asupan nutrisi terbaik. Pemberian pupuk yang cukup dan rutin mampu menjaga kekuatan pohon hingga ke akarnya. Kekokohan akar pohon dapat mencegah tumbangnya pohon yang sekali-kali diterpa angin kencang. Begitu pula yang terjadi hubungan antara mahasiswa dan dunia literasi. Literasi menjadi suplemen utama bagi para mahasiswa untuk mengembangkan daya nalar, pola fikir, dan kekritisannya. Literasi yang terus dibudayakan mampu membuat produktivitas meningkat. Selain itu, budaya literasi yang telah mendarah daging dapat dijadikan pijakan kuat hingga terhindar dari seleksi kehidupan yang semakin tidak menentu.
Seorang Milan Kundera (Tokoh novelis asal Ceko) berkata: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah”. Ini menunjukkan bahwa buku (sebagai unsur literasi) memegang peranan penting dalam memajukan suatu bangsa. Melalui buku, masyarakat terlebih para sarjana akan mampu menerobos batas-batas kehidupan dunia. Selain itu, bahwa sebagai bagian dari masyarakat akademis, para mahasiswa mempunyai kewajiban membaca.
Untuk mengetahui seberapa rendah minat baca para mahasiswa dan sarjana kita, dapat dilihat dari tulisan berikut ini:
Lingkungan pendidikan tinggi merupakan tempat yang strategis untuk mengembangkan tradisi membaca. Pada kenyatannya, harapan tersebut belum bisa terwujud sebab minat baca di kalangan para mahasiswa masih rendah. Realita demikian didukung oleh data yang didapat oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada tahun 2013. Data tersebut menunjukkan tingkat membaca masyarakat Indonesia berada pada posisi 41 dari 45 negara dari negara-negara bagian (www.srie.org). Ruang-ruang perpustakaan kampus yang sering kali sepi menjadi bukti bahwa para mahasiswa belum menjadikan buku sebagai bagian terpenting dalam hidupnya.
Padahal dalam Undang-undang No. 43 Tahun 2007 tentang Pepustakaan pasal 1, disebutkan bahwa perpustakaan sebagai institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/ atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan Keputusan Mendikbud Republik Indonesia No. 0696/U/1991 bab II Pasal 11 menetapkan persyaratan minimal koleksi PPT untuk program Diploma dan S1 adalah (1) memiliki satu judul pustaka untuk setiap Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK), (2) memiliki dua judul pustaka untuk tiap Mata Kuliah Keahlian (MKK), (3) melanggan sekurang-kurangnya satu judul jurnal ilmiah untuk setiap program studi (prodi), (4) jumlah pustaka sekurang-kurangnya 10% dari jumlah mahasiswa dengan memperhatikan komposisi subyek pustaka. (Lihat: Annisa Indriyani, Mahasiswa dan Dunia Literasi, UNJ Kita.com, Agustus 2016).
Data berikutnya, tahun 2012, UNICEF merilis data minat baca negara-negara di dunia. Indonesia dengan minat baca hanya 0,001% menunjukkan data yang memprihatinkan. Tahun 2016, studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca, tepat berada di atas Bostwana di urutan ke-61 dan di bawah Thailand yang menempati urutan ke-59. (Lihat: Quratul Ayun, Membangun Budaya Literasi; Sebuah Tugas Bersama Saat Ini, Kumparan.com, 16 April 2018)
D. Kebutuhan Literasi Sarjana Pendidikan dan Dakwah
Sebagaimana Al-Qur’ânul Karîm, turunnya QS. Al-‘Alaq/ 96: 1-5 mengisyaratkan betapa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan peradaban. Allah ‘azza wa jalla senantiasa menjaga dan memelihara sumber pokok literaturnya, memuliakan siapa pun orang yang menyibukkan diri untuk mengkajinya, orang yang mendalaminya, orang yang menelitinya, orang yang mengamalkannya dan orang yang melakukan pembelaannya dari upaya-upaya yang menistanya.
Para pengawal pendidikan (rijâlut tarbiyah) dan para penyampai pesan Ilahiyah (rijâlud da’wah), adalah sebuah keniscayaan bahwa di tengah-tengah mengemban tugas mulia, di situ ada bekal yang wajib dimiliki. Di samping integritas moral, integritas dalam penguasaan terhadap literatur merupakan jawaban untuk meroketkan kualitas intelektual.
Apabila menoleh pada gugusan sejarah keemasan; baik periode awwal (mutaqaddimîn), periode pertengahan (mutawassithîn) dan periode kontemporer (mu’âshirîn) telah mengantarkan tokoh-tokoh terbaik zamannya dalam menguasai berbagai disiplin keilmuan tanpa kehilangan spesifikasinya. Karenanya sangat wajar apabila Abu Hamid Al-Ghazaly menyandang gelar Hujjatul Islâm, Ibnu Taimiyyah Al-Harrâny dipanggil Syaikhul Islâm, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dijuluki Bahrul ‘Ulûm, para ulama Tafsier (Al-Qurthuby, At-Thabary, As-Suyûthy dan Ibnu Katsîr) dikenal sebagai Ummahâtul Mufassirîn. Demikian pula dengan para Imam madzhab ahli fiqih dengan panggilannya Fuqahâ, ahli hadits dengan berbagai tingkatannya; Al-Hujjah, Al-Hãfizh, Al-Musnid, Al-Muhaddits, Amîrul Mu’minîn fil Hadîts, Ashhâbus Sunan dan masih banyak penghargaan lainnya. (Lihat Ad-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ dan Muhammad Musa As-Syarîf, Nuzhatul Fudhalâ Tahdzieb Siyari A’lâmin Nubalâ, Ummul Qura: 2008).
Selain mereka yang mendalami ilmu syar’i (al-‘ulûm as-syar’i), masih berderet pula tokoh-tokoh ahli ilmu yang menguasai ilmu-ilmu dunia (al-‘ulûm ad-dunyâ); mulai dari ahli matematika, ilmu falak, ilmu biologi, ilmu arsitektur dan lain-lain. Semua itu, membentuk suatu gugusan indah berupa “Peta bumi intelektual Islam.” (Lihat Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, Risalah Gusti: 2003 dan Eugene A. Myers, Zaman Keemasan Islam, Fajar Pustaka Baru: 2003).
Benar apa yang diungkapkan shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallâhu ‘anh, beliau menuturkan: “Sesungguhnya kalian hidup di suatu zaman yang fuqahanya lebih banyak ketimbang khuthabanya, yang bisa memberi lebih banyak ketimbang yang memintanya … Dan akan datang pula pada kalian suatu zaman yang khuthabanya lebih banyak ketimbang fuqahanya, yang mampu memberinya lebih sedikit ketimbang yang memintanya. Seseorang yang disebut faqîh itu, adalah mereka yang selalu bertafaqquh dengan hatinya, bukan seorang khatib yang berbicara dengan lisannya.” (HR. At-Thabarany dalam Mu’jamul Kabîr).
E. Menghidupkan Kembali Gerakan Literasi Persatuan Islam
Agar kita tidak termasuk orang yang kehilangan pelita, atau menjadi orang yang lupa bahwa kita pernah memiliki pelita, dalam rangka mewujudkan cita-cita ilmiah ini, idzinkan Al-Faqîr untuk mengenang walau tidak sezaman, mata air para pendahulu jam’iyyah ini yang tidak dapat dipisahkan dari semangat menghidupkan literasi. Karenanya, semangat tajdîd yang digaungkan wajib mendapatkan pengawalan bukan sekedar rûhul jihâd, melainkan rûhul ijtihâd sekaligus. Nama-nama besar pun tertoreh dalam goresan tinta sejarah; Tuan Ahmad Hassan, Ustadz Abdul Qadir Hassan, Dr. Mohammad Natsir, KH. Munawwar Chalil, Al-Ustadz Abdul Hamid Hakim, Prof. Dr. Hasby as-Shiddiqy, KH. Moh. Isa Anshari, KH. E. Abdurrahman dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka semua adalah jawara-jawara literasi di zamannya.
Demikian pula, tampilnya putra-putra pewaris perjuangan jam’iyyah ini yang di kemudian hari diharapkan menjadi penggerak literasi, di mana karya-karyanya dapat menghiasi perpustakaan lembaga-lembaga pendidikan, terlebih lembaga pendidikan Islam. Termasuk produk-produk yang terlahir dari literasi digital yang menjadi tantangan di era revolusi partisipatif di mana media-media modern menjadi anashirnya. Menoleh ke belakang tidak berarti harus jumud, melangkah lurus ke depan tidak berarti harus hilang keseimbangan.
F. Penutup
Sebagai bahan muhâsabah, semoga apa yang telah dirintis selama ini dengan bentangan zaman yang cukup panjang tidak menjadi sia-sia dan diterima di sisi Allah ‘azza wa jalla. Apa yang telah ditorehkan oleh para pendahulu, mudah-mudahan kita diberikan kekuatan untuk bisa melanjutkannya. Pepatah Arab menasihatkan:
غرس السابقون فاكلنا …
افلا نغرس لياكل اللا حقون …
“Orang-orang terdahulu telah menanam (banyak kebaikan), lalu kita pun memetiknya hari ini … Apakah kita mampu menanam kebaikan hari ini, untuk bisa dipetik oleh generasi kemudian.”
Allâhumma faqqihnâ fied dîn … Âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn
____
Penulis adalah: Ketua Prodi KPI STAI PERSIS Jakarta, Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqîdah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris Komisi Dakwah Khusus (KDK) MUI Pusat dan Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Dakwah