ALUNAN ISTIRJA’ (Agar Duka Berubah Jadi Bahagia)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uuna … Itulah untaian kalimat yang mengisyaratkan di dalamnya akan ke-Mahabesaran Allah ‘azza wa jalla. Tidaklah semua yang terjadi pada makhluqNya dan tidak pula yang dinikmati dan dimiliki, melainkan dari Allah dan milik Allah semata. Demikian pula akhir kejadian dan akhir kehidupan, semuanya akan kembali kepadaNya.
Alunan inilah yang dapat mengingatkan kita, siapa pun yang mendengarkannya; orang baik atau sebaliknya, sama-sama akan terperangah jiwanya. Yang kasar menjadi lembut hatinya, yang sombong menjadi remuk batinnya. Semua ini menunjukkan, betapa masih tersimpan banyak harapan untuk mengakui keagunganNya seraya merendahkan diri di hadapan Dzat yang Maha memiliki segala ampunan.
Di antara mushibah yang semua orang berusaha lari dari padanya, adalah kematian (al-maut). Setiap jiwa pasti akan merasakannya, apabila ia telah tiba menyapa maka tidak ada yang dapat menawar, memundurkan atau memajukannya sekalipun sesaat saja. Di bumi mana kita berada dan sedang apa kita berbuat, ia akan datang menjemput. Yang pasti, kematian tidak dapat diharap atau pun ditangguhkan, bahkan direncanakan. Seindah apa pun bentuk bendanya, selezat apa pun kenikmatan rasanya dan sesulit apa pun bentuk derita yang dirasakannya, semoga tidak melalaikan taqarrub kita kepadaNya. Bukankah “kelezatan dunia adalah empedunya akhirat”?, sedangkan “kepedihan dunia adalah madunya akhirat”?. Berlimpah karunia dunia tidak berarti harus melupakanNya dan pahitnya kesulitan dunia bukan berarti harus berputus asa.
Allah ‘azza wa jalla mengingatkan: “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tidak akan putus asa dari rahmatNya, melainkan orang-orang kafir.” (QS. Yuusuf/ 12: 87)
Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah sekali-kali kamu mengharapkan kematian dikarenakan kesulitan yang menimpa. Kalaulah berputus asa, hendaklah mengucapkan:Yaa Allah hidupkanlah aku sekiranya hidup itu baik untukku dan wafatkanlah aku sekiranya kematian itu baik pula untukku.” (HR. Al-Bukhari dalam Fathul Baari dari shahabat Anas radhiyallaahu ‘anh).
Agar tetap tumbuh semangat hidup bahagia dan tidak mudah putus asa, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di memberikan terapi dalam risalahnya; merawat iman, melakukan amal shaleh, beraktivitas yang bermanfaat, menuntut ilmu, fokus dalam pekerjaan, senantiasa mengingat Allah, memandang ke bawah (dalam urusan dunia), selalu berikhtiar, menjaga mental, tegar dan tawakkal, tidak membenci dan mudah memaafkan, tidak larut dalam kesedihan dan selalu mengukur nikmat yang didapat dengan mushibah yang menimpa. Demikianlah dijelaskan dalam Al-Wasaailul Mufiidah Lil Hayaatis Sa’iidah.
Dengan demikian, mengharap kematian (tamanniyul maut) merupakan perbuatan terlarang dalam Islam. Adapun menggapai hidup bahagia, merupakan perkara yang masih bisa diupayakan (majaalul ikhtiyaar). Karenanya, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani ketika mensyarah hadits Imam Al-Bukhari Bab Tamanniyul Maridhil Mautaa no. 5671 dan Bab Ad-Du’aa bil Maut wal Hayaat no. 6351 menyebutkan: “Yang dimaksud kesulitan di sini adalah kesulitan duniawi, bukan kesulitan ukhrawi. Hal senada, sesuai dengan pandangan yang dibawakan para ulama salaf.” (Al-Asqalani, Fathul Baari, 9/ 158).
Merupakan terapi adiluhung yang tidak ada bandingannya, apabila kecemasan dan kegundahan, terjadinya fitnah dan mushibah, memasrahkan dengan sepenuh ikhlas dan kebeningan jiwa kepada Dzat yang Maha Agung dengan mengalunkan istirja‘ , yakni innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun merupakan pilihan pertama dan utama dalam menghadapi semua mara bahaya. “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNyalah kami akan kembali.”
Masih ingatkah kita, pengakuan seorang Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha (sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Ahmad) yang menceritakan nashihat suaminya dengan meniru nashihat Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sebelum dirinya wafat di medan laga)?: “Hamba yang mana saja apabila ditimpa mushibah, lalu mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun allaahumma ajjirni fii mushiibatii wakhluflii khairan minhaa (artinya: “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNyalah kami kembali, yaa Allah gantikan untukku dalam mushibah ini dengan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya”), maka Allah akan memberikan jalan keluarnya.”. Setelah sebelumnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada para shahabat lain dan tidak ada yang menerimanya, Nabi pun akhirnya menikahi Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anhaa.
Sedemikian dahsyat dan agungnya alunan istirja‘ ini, sang istri mujahid itu pun, kini dipersunting manusia terbaik Rasul yang agung Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam riwayat yang berbeda, Imam Ahmad menuturkan tentang Abu Sinan radhiyallaahu ‘anh yang baru saja ditinggalkan wafat buah hatinya. Ia bergumam: “Ketika aku tengah menguburkan anakku, Abu Thalhah menarik lenganku, aku pun keluar dari lubang lahad itu. Abu Thalhah membisikkan padaku: “Inginkah aku tunjukkan kabar gembira padamu?” Tentu saja, jawabku (kata Abu Sinan).” Sementara dalam riwayat lain, Al-Hafizh Ibnu Katsir menceritakan dalam hadits qudsi bahwa Dhahaq bin ‘Abdurrahman bin ‘Arzab menerima berita dari shahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anh yang menuturkan bahwa Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berkata Allah pada malaikat maut; engkau telah mencabut nyawa anak hambaku, engkau telah mengambil nyawa buah hatinya?. Benar, jawab malaikatnya. Lalu Allah bertanya lagi; Apa yang terlontar dari lisannya ketika mushibah kematian datang menjemput nyawa anaknya?. Malaikat pun menjawab: Hamba itu memujiMu dan mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun allaahumma ajjirnii fii mushiibatii wakhluflii khairan minhaa. Maka Allah pun menjawabnya; Bangunkan untuk hamba tersebut sebuah mahligai rumah di sorga, berilah nama rumah tersebut dengan baitul hamdi, yakni rumah yang penuh dengan pujian.” (Lihat Tafsiirul Qur’aanil ‘Azhiim, 1/ 280 – 281).
Apa pun bentuk fitnah, mushibah, wabah, gundah gulana dan kecemasan. Semoga segera sirna dari kita, dan rumah pujian yang dijanjikan pun dianugerahkan untuk kita. Allaahumma innii a’uudzu bika min juhdil balaa wa darkis syaqaa wa suu’il qadhaa wa tsamaatatil a’daa … Aamiin yaa Mujiibas saailiin
____
✍🏻 Artikel ini penulis haturkan kembali sebagai rasa bela sungkawa yang teramat dalam, sekaligus ziyaarah bisyaarah dan ta’ziyah atas derita sakit dan wafatnya orang-orang yang kita sayangi; pasangan, orang tua, keluarga, guru, murid, teman seperjuangan, jamaah dan handai tolan yang akhir-akhir ini menghiasi lembaran warta berita yang kita terima. “Setelah mereka, kita pun tengah mengantri menyusul mereka.” Wallaahul musta’aan