Rabu, November 13MAU INSTITUTE
Shadow

BERATNYA MENJADI KHALAF DI TENGAH GELOMBANG ZAMAN PENUH KHILAF DAN INHIRAAFAAT

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Untuk menyebut generasi terbaik masa lampau yang disandarkan pada tiga zaman kemuliaan [masa shahabat, taabi’in, dan taabi’ut taabi’in], para ulama menyebutnya dengan istilah as-salafus shaalih atau panggilan ringkasnya salaf. Sedangkan generasi belakangan yang mewarisi kebaikan masa lalu, mereka disebut khalaf.

Landasan teologis yang menunjukkan adanya istilah salaf ini adalah peryataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang menyebutkan bahwa mereka merupakan “sebaik-baiknya manusia” [khairun naas], “sebaik-baiknya zaman” atau “sebaik-baiknya abad” [khairul quruun]. Sedangkan landasan teologis adanya sebutan generasi khalaf, adalah pernyataan Rasulullaah terkait akan datangnya “generasi belakangan yang adil” [khalafun ‘uduulun] yang tugasnya mengembalikan ajaran agama yang telah banyak menyimpang.

1500 tahun ditinggalkan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau 1200 tahun ditinggalkan generasi tiga zaman, bukanlah waktu yang pendek untuk ditelusuri sejarahnya. Karenanya, sebagai ummat Nabi akhir zaman yang ditakdirkan hidup di suatu masa yang sangat jauh dari masa-masa Islam periode awal menjadi ujian tersendiri yang sangat berat dalam menghadapi berbagai tantangan zaman yang semakin banyak mengalami perubahan.

Ada banyak isyarat nubuwwah yang menunjukkan betapa ummat Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan menghadapi banyak hal sepeninggalnya; mulai dari timbulnya perpecahan di kalangan ummat Islam sendiri [iftiraaqul ummat], semakin maraknya perbedaan pandangan dalam memahami ajaran agama [ikhtilaafan katsiiran] di antara internal ummat, dan semakin masifnya berbagai penyimpangan yang kian jauh dari sumber aslinya [inhiraafaat]. Semua itu, mengharapkan semakin pentingnya akan kemunculan generasi belakangan yang mampu mengembalikan ajaran yang telah rusak untuk dikembalikan kepada aslinya semula. Itulah tugas generasi khalaf.

Namun demikian, setiap isyarat kekhawatiran yang disampaikan Rasulullaah senantiasa diiringi dengan beragam antisipasinya; mulai diperintahkannya ummat agar berpegang teguh kepada al-jamaa’ah untuk menghindari perpecahan, wajibnya komitmen dengan sunnah nabawiyyah dan keteladanan khulafaaur raasyidiin yang diberi petunjuk untuk menghindari perbedaan yang dilarang, serta berupaya keras menjadi generasi yang “tahan banting” dalam keadilan di tengah lajunya zaman yang semakin jauh dari masa kenabian. Semua ini menjadi dorongan optimis, yang menunjukkan bahwa di tengah kegelapan masih ada secercah cahaya yang mampu menyinari lorong-lorong zaman.

Berita gembira semacam ini telah dikabarkan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sejak awal, bahwa bumi ini tidak akan pernah sepi dari para pembela ajaran agama dari ummatnya sendiri sebagaimana dituturkan dalam sabdanya:

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لايضرهم من خذلهم حتى يأتي أمرالله وهم كذالك

“Tidak akan pernah berhenti [akan senantiasa ada] di antara ummatku, yakni orang-orang yang mengibarkan kebenaran; tidak akan mampu memadharatkan mereka orang-orang yang menghinakannya hingga datangnya urusan Allah di hari kiamat, dan mereka tetap berdiri tegak seperti itu.” (HR. Muslim no.1920 dari shahabat Tsauban radhiyallaahu ‘anh).

Siapakah gerangan yang dimaksud thaaifatun min ummatii zhaahiriina ‘alal haqqi tersebut? Untuk menjawabnya, Fadhiilatus Syaikh Dr. Sa’ad bin ‘Abdillah al-Humayyid rahimahullaah memaparkan rinciannya dengan ringkas. Menurutnya, tiga sifat yang mesti ada pada seseorang atau ummat Rasulullaah yang memiliki integritas sebagai “pengibar bendera kebenaran”, yaitu:

  1. Hendaknya mereka itu terdiri dari ahli ilmu dan orang yang memiliki ketajaman berpikir [an yakuunuu min ahlil ‘ilmi wal wa’yi]
  2. Hendaknya mereka itu adalah hamba-hamba Allah yang teguh pendirian dan memiliki keberanian, serta kekuatan [an yakuunuu ‘ibaadan lillaahi haqiiqatan tsaabitiina ‘alal haq wa yamlikuunas syajaa’at wal quwwat]
  3. Hendaknya mereka itu adalah orang-orang yang senantiasa menjadikan kalimat Tauhid sebagai pemersatu yang menjadikan penganut nasionalisme akut, kesukuan, dan sikap fanatik lainnya tidak memporak-porandakan persatuan mereka [an yakuunuu mutahaddiina tajma’uhum kalimatut tauwhiid wa laa tufarriquhumul auwthaan wal qauwmiyyaat wal ‘ashabiyyaat]. (Lihat: Alukah.net, 30/10/2023).

Dengan berkaca pada uraian singkat sebelumnya, kini kita seakan tengah dihadapkan pada keputus asaan dalam menghadapi berbagai problematika dan tantangan. Minimnya moralitas para pemimpin, penyalah gunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, semakin liarnya kehidupan masyarakat [baik dalam kehidupan dunia nyata ataupun dalam bermedia di dunia maya], semakin banyaknya penyimpangan yang dilakukan atas nama agama, beraninya mempermainkan syari’at dengan mencampur baurkan ajaran agama dengan tradisi yang kebablasan atas nama local wisdom dan moderasi beragama yang tidak jelas batasannya, sifat lebih senang berkawan dengan tokoh tanpa iman dari pada bekerja sama sesama saudara seagama, serta kebiasaan melempar tuduhan keji tidak berdasar kepada pihak lain yang dianggap lawan tanpa etika yang jauh dari kata ilmiah. Semuanya terjadi bukanlah sebuah kebetulan, melainkan lebih pada unsur kesengajaan dan perencanaan.

Sikap-sikap seperti ini, semakin membenarkan narasi kenabian yang jauh-jauh hari telah diwanti-wantikan Nabi akhir zaman dengan kalimat: Satakuunu fitanun kaqith’il laiylil mudhlimi, yaitu “Akan datangnya suatu masa yang penuh dengan fitnah bagaikan kepingan malam yang gelap gulita”. Maka seiring dengan janji mulia As-Shaadiqul Mashduuq, yakni Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menuturkan dalam sabdanya:

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله، يتفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين

“Generasi belakangan yang adil akan mengangkat ilmu dari berbagai kerusakan; berlebih-lebihannya orang-orang ekstrim [ghulaat], skenario orang-orang batil, dan interpretasi orang-orang tanpa ilmu.” (HR. Al-Baihaqi no. 248 dari shahabat Ibrahim bin ‘Abdurrahman al-‘Udzri radhiyallaahu ‘anh dalam Mirqaatul Mafaatih Syarh Misykaatil Mashaabih karya Nuuruddin ‘Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari’).

Lahirnya sebuah generasi yang mampu menghadapi kondisi semacam ini, itulah yang sedang kita tunggu-tunggu kehadirannya. Oleh karenanya, wajib bagi kita untuk turut andil dalam membidani kelahirannya. Kemunculannya bukanlah perkara semudah kita membalikkan telapak tangan, melainkan pentingnya usaha lebih keras dalam mewujudkannya. Sungguh benar, di tengah-tengah zaman yang penuh kekeliruan [khilaaf] dan beragam penyimpangan [inhiraafaat], untuk menjadi generasi khalaf bukanlah perkara mudah dan gampang. Semoga!!!

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!