Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Siapa yang tidak kenal sosok berperawakan tegap berwibawa dengan sorot matanya yang tajam; Itulah Al-Ustadz bin ‘Abdul Qadir Jawas yang telah al-faqir kenal sejak tahun 1990-an melalui tulisannya di Majalah Al-Muslimun Bangil ketika al-faqir masih di bangku Mu’allimin, berikutnya ketika beliau berkenan menjadi guru kelas di Lembaga Pendidikan Dakwah Islam [LPDI] Jakarta antara tahun 1992-1994. Pria kelahiran Jawa Tengah [kelahiran 1963] dan besar di kawasan Tanah Abang ini [Alhamdulillaah pernah ke rumah orang tuanya], beliau pun sempat “nyantri” di Pesantren Persatuan Islam Bangil di zaman Allaahu yarhamh Al-Ustadz ‘Abdul Qadir Hassan [Putra Tuan Ahmad Hassan] dan menimba ilmu di LIPIA Jakarta sebelum merampungkan mulaazamah-nya bersama Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah dan Syaikh ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad rahimahullaah [Universitas Islam Madinah] dan ulama lainnya di Saudi Arabia.
Beberapa pengalaman berharga yang tidak mungkin dilupakan; baik awal perjumpaan sebagai pandangan pertama di masjid Al-Furqon Kramat Raya 45 Jakarta Pusat setiap kuliah zhuhur [awal 1992], berlanjut di ruang pembelajaran kelas [hingga tahun 1994], pertemuan di majlis ilmu [pertama kali] di Kramat Jati Jakarta Timur, ketika berkunjung ke rumahnya yang lama di Taman Cimanggu Bogor [sebelum mendirikan Minhaajus Sunnah], barengan bersama membimbing jamaah umrah di hotel Makkah [dengan travel berbeda], dan terakhir kembali bertemu ketika dalam mudzakarah fatwa terkait manasik haji di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat. Tidak terkecuali sempat berjumpa pula dalam suasana duka atas meninggalnya Allaahu yarhamh Ustadzunaa K.H. Syuhada Bahri di Taman Galaxi Bekasi.
Sekalipun beliau mengetahui bahwa al-faqir tidak sepenuhnya “mengikuti” semua yang beliau pesankan dan praktekkan dalam keseharian [terutama dalam hal-hal yang diikhtilafkan ulama], namun tidak pernah menghilangkan kehangatan dalam menyapa yuniornya. Yaa syabaab, aiyna lihyatak? … Harriiqah anta!!, “Wahai anak muda, kemana jenggotmu? … jenggotnya kebakaran!!”, sapanya sambil memeluk dan sekali-kali melihat pakaian bawah yang sedikit menutupi dua mati kaki. Al-Faqir pun memahami bahasa sikapnya dan menjawab: haadzaa khilaafun ‘indal ‘ulamaa’ yaa syaikhi. Jawab al-faqir sambil senyum, beliau pun geleng-geleng kepala sambil tersenyum pula.
Ketika membimbing jamaah, tidak disangka al-faqir dipanggil untuk duduk bersama di depan dan secara berjalin berkelindan gayung bersambut diminta menyampaikan materi. Beliau menyampaikan materi: “Makna Kepatuhan terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan rasul-Nya”, sementara al-faqir menuturkan materi: “Memaknai Sunnah, Bid’ah, Ikhtilaf, dan Mashlahah Mursalah”. Setelah selesai kajian bersama, beliau bertanya setengah menguji: Yaa akhii man yaquul haadzal qaul wal farq?. “Wahai akhi [sambil menyebut nama], siapa yang berpendapat tentang perbedaan tadi?”. Diskusi pun terjadi sambil menikmati hidangan yang tersedia.
Perhatian beliau terhadap ilmu tidak diragukan; Sebagai mahasiswa al-faqir sengaja bertandang ke kediamannya dengan niat shilaturrahim dan shilatul ‘ilmi, dengan lapang beliau pun membuka pembicaraan dengan bahasan pentingnya tafaqquh fid diin, setelah itu pulangnya memberikan hadiah kutaibaat alias buku-buku saku [tidak kurang 10 buku] berbahasa Arab dengan judul yang beragam. “Dah belajar aja di rumah, baca sendiri buku-bukunya!!“. Gumamnya sambil menuntun tangan menuju angkot merah jurusan Baranang Siang kota Bogor.
Bagai mengingat kenangan masa lalu setelah tidak pernah berjumpa 15 tahun lamanya, ketika beliau mengetahui al-faqir sering ke Bogor karena ikut program doktoral di UIKA Bogor [2010-2012 namun tidak sampai selesai], beliau pun menegurnya “Mengapa tidak pernah mampir lagi ke rumah? Walau pun antum sedang kuliah doktoral, jangan pernah tinggalkan baca kitab para ulama muktabar!!”. Ujarnya tegas mewanti-wantikan dengan suara khasnya dan sedikit menyindir.
Adapun kitab-kitab yang sempat dipelajari dari halaqah beliau adalah: Taiysiir Musthalahul Hadiits karya Syaikh Dr. Mahmud Thahhan [selain tulisan pertamanya sendiri Kedudukan As-Sunnah Dalam Syari’at Islam terbitan Al-Kautsar], Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan Mujmal Ushuul Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah Fil ‘Aqiidah [keduanya karya Syaikh Prof. Dr. Nashir ‘Abdul Karim al-‘Aql, Guru Besar ‘Aqidah dan Aliran-aliran Kontemporer Universitas Imam Su’ud KSA].
Selain itu, beliau pun merekomendasikan agar al-faqir mempelajari Tauwdhiihul Ahkaam Syarah Buluughul Maraam Syaikh ‘Abdurrahman al-Bassam [7 jilid] dan Bahjatun Naazhiriin Syarah Riyaadus Shaalihiin karya Syaikh Abu Usamah bin ‘Id al-Hilaali [3 jilid]. Atas kebaikan “Bang Ada” [sebutan akrab Ustadzuna Syuhada Bahri], kedua kitab terakhir tadi berhasil kami miliki untuk dipelajari dan akhirnya sempat menjadi panduan kajian rutin Malam Senin ke-1 dan Malam Senin ke-3 dalam “Sepuluh tahun perintisan pembinaan awal” di Masjid ‘Abdurrahman Al-Bahr Pusdiklat Dewan Dakwah Bekasi Jawa Barat yang sudah dimulai sejak berdirinya tahun 1998 hingga 2010.
Terlepas dari cara pandangnya dalam memaknai manhaj beragama yang mungkin berbeda, kini beliau telah mendahului kita menghadap Dzat pencipta. Semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati dengan keluasan dan kedamaian barzakh-Nya. Allaahummaghfir lahu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu wa akrim nuzulahu wa wassi’ madkhalahu.
Innalillahi wainnailaihi rojiun smg husnul khatimah dan KLG yg ditinggalkan diberikan ketabahan kesabaran dan keikhlasan dan smg kelak bangkit dan muncul lagi ustadz brilian sekaliber beliau yg telah luarbiasa dg da’wah Salafnya dinegeri ini smg Alloh Azza wajalla merahmati beliau dan klgnya
Ahlan ustadz. Afwan, tulisan Antum yg tadi dibahas di Masjid Al Azhar Summarecon tdk ada disini. (Jama’ah kajian ba’da shubuh)