Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Belakangan ini viral di media sosial berbagai letupan berpikir yang sangat mengkhawatirkan; Mulai dari munculnya kelompok yang menamakan diri “gerakan menolak masuk sorga”, gagasan membuat “komunitas Islam KTP”, tuntutan hak konstitusi bagi warga negara agar mendapatkan perlindungan hukum “untuk tidak beragama”, hingga seloroh berlebihan “reuni di neraka”.
Narasi-narasi liar seperti ini bukan tanpa argumen; Kelompok pertama beralasan bahwa amalan seseorang dengan mengharapkan masuk sorganya Allah ‘azza wa jalla, berarti perbuatan tersebut tidak ikhlas. Kelompok kedua menganggap bahwa agama tidak lebih dari sekadar identitas belaka [simbol atau merk], artinya tidak ada kaitan dengan keyakinan dan kepercayaan. Kelompok ketiga berpandangan bahwa beragama atau tidak beragama merupakan hak pribadi seseorang, karenanya tidak bisa dipaksakan dan kalau dipaksakan bertentangan dengan HAM. Sedangkan kelompok terakhir terlampau “meremehkan” keberadaan alam akhir, bahkan menegasikan hakikat alam tersebut.
Ada banyak faktor mengapa fenomena seperti ini bisa terjadi; Revolusi industri dan kemajuan teknologi yang semakin cepat, peperangan, serta kehidupan sosial yang semakin materialistis disebut-sebut menjadi salah satu penyebab dari sekian penyebab lainnya. Fokusnya manusia modern terhadap perkembangan yang ada, membuat mereka lupa dan menganggap tidak ada kehidupan lain selain kehidupan yang tengah dihadapi saat ini. Mereka mulai meragukan agama dan menuduh bahwa agama sudah tidak lagi mampu menjawab pertanyaan zamannya. Lalu sebenarnya, agama mana yang mereka maksud? Bukankah di negara-negara maju seperti halnya Eropa dan Amerika justru akhir-akhir ini warga mereka mulai tersadarkan untuk mencari dan menemukan ajaran “agama yang benar” dan meninggalkan agama yang selama ini mereka anut.
Gelombang keputus asaan dan hilangnya harapan untuk bisa bertahan hidup yang lebih baik, semakin membayangi ruang-ruang kehidupan nyata mereka. Kini yang dinamakan skeptisisme radikal atau pesimisme ekstrem telah menjadi ancaman laten bagi masyarakat dunia. Mestinya, pemandangan seperti ini tidak terjadi pada kaum muslimin. Selain Islam mengajarkan konsep ikhtiyaar, juga mengajarkan konsep syukur, konsep shabar dan tawakkal.
Untuk membuktikan betapa Islam memandu manusia dalam berpikir dan memberikan jawaban-jawabannya atas pertanyaan dan keraguan manusia, maka Allah ‘azza wa jalla dengan sangat jelas menyebutkan dalam al-Quran:
- Manusia bertanya mengenai asal-usul mereka, maka dijawab dalam Surat An-Nisaa’/4 ayat 1.
- Manusia bertanya mengenai siapa yang menciptakan alam ini? Maka dijawab dalam Surat Al-Israa’/17 ayat 99.
- Manusia bertanya mengenai apa tujuan hidup mereka? Maka dijawab dalam Surat Adz-Dzaariyaat/51 ayat 56.
- Manusia bertanya mengenai apa yang akan terjadi selepas kehidupan? Maka dijawab dalam Surat At-Taghaabun/64 ayat 9-10.
- Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak luput dari jawaban Dzat yang Maha kuasa.
Menilik fenomena arus pemikiran seperti ini, tidak dapat dilepaskan dari pandangan seorang tokoh filosof bernama Friedich Nietzsche [1844-1900] dari Jerman yang disebut-sebut sebagai “Bapak Nihilisme”. Menurut aliran filsafat ini: “Semua nilai tidak berarti dan tidak ada tujuan hidup, terutama keberadaan manusia di dunia”. Karena itu, dalam perkara moral mereka menolak pandangan normatif dan etika. Dalam beragama pun, sudah dipastikan mereka menolak berbagai keterpengaruhan keyakinan, kepercayaan dan keimanan. Hal ini sesuai dengan makna asalnya, “annihilate” berarti meniadakan, membasmi, memusnahkan, menghapuskan dan melenyapkan.
Pelan namun pasti, pandangan nihilisme ini, kini telah menggerus dan menerobos masuk ke ranah-ranah teologis para pelajar, akademisi dan para praktisi muslim. Di antara contoh konkret yang terjadi adalah munculnya figur-figur nihilistik yang beranggapan bahwa “agama Islam itu tidak ada”, yang ada hanya berbagai tafsir Al-Qur’an tentang agama Islam. Dengan demikian, semakin banyaknya pemahaman bias dan ketidak pastian ini semakin menyeret umat kepada kubangan prahara ideologis yang semakin meluas.
Sebagai insan beragama, lemahnya pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ‘aqidah Islam yang benar, menyebabkan “kegalauan teologis” yang semakin memuncak; Was-was dan semakin meragukan keyakinan agamanya semakin menjadi trend menarik di kalangan masyarakat. Semua ini menyebabkankan benteng keimanan mereka semakin “rungkad” seketika. Inilah ancaman dahsyat paham kaum nihilis dan bahayanya bagi generasi abad ini. Yaa Muqallibal quluub Tsabbit quluubanaa ‘alaa diinika
Jazaakallaah khoir ustadz atas analisanya, cukup mengkhawatirkan juga kalau ini terjadi pada generasi umat yg akan datang, ada kegalauan juga nih
Waiyyakum ibunda
selalu nyaman membaca tulisan ustadz, jazaakumullohu khairan ustadzi, sehat selalu
Alhamdulillah, waiyyakum. Baarakallaah
Syukron, jazakalloh Ustadz
Afwan, waiyyakum
Waiyyakum
Jazaakallaah khoeron ustadz, tantangan dakwah yang semakin kompleks. dibutuhkan formulasi dakwah yang tepat, dengan atau tidak dengan political solution…..
Wajazaakallahu khayran