Sabtu, Januari 18MAU INSTITUTE
Shadow

MA’RIFATUL ‘AALAM; KIAT SELAMAT DARI JEBAKAN NATIVISME

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Tidak ada yang mampu menyangkal, betapa Allah ‘azza wa jalla itu Maha mengatur segalanya; Bumi yang kita pijak dan langit yang kita junjung dengan segala asesoris galaksi dan taburan andromeda yang menghiasi angkasanya, itu merupakan tanda-tanda kebesaran-Nya. Demikian pula daratan dengan semua hutan dan gunung-gunung yang berdiri dengan kokohnya, serta hamparan lautan lepas sejauh mata memandang. Beragam makhluk daratan, seluruh biota laut, juga tumbuh-tumbuhan yang tidak terhitung jumlahnya. Semua itu merupakan gugusan ayat-ayat yang menunjukkan kuasa-Nya.

Bagaimana Allah ‘azza wa jalla menciptakan langit dan bumi, menggulirkan siang dan malam, menurunkan hujan dan menghidup suburkan bumi yang tadinya mati, mewujudkan segala bentuk kemanfaatan bagi manusia dan seluruh makhluk hidupnya. Sebagai kitab petunjuk [kitaabul hidaayah], Al-Qur’an mewartakan semuanya agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mau mendengar ayat-ayat dan memikirkan ciptaan-Nya. (Lihat: QS. Al-Baqarah/2: 164 dan QS. An-Nahl/16: 65).

Itulah bentuk kasih sayang Dzat Pencipta untuk makhluk-Nya yang baru sebahagian kecil saja di antara anugerah-anugerah lain yang masih banyak. Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ فَبِهَا يَتَعَاطَفُونَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُونَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا وَأَخَّرَ اللَّهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat, dari seratus tersebut hanya satu yang diturunkan Allah untuk bangsa jin, manusia, hewan jinak dan buas. Dengan rahmat tersebut mereka saling mengasihi dan menyayangi, dan dengan rahmat itu pula binatang buas dapat menyayangi anaknya. Adapun sembilan puluh sembilan rahmat yang lain, maka hal itu ditangguhkan. Karena Allah hanya akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang shalih pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 4944 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh).

Pada dasarnya, semua gugusan ayat qauliyyah yang lebih menampilkan teks suci dan bentangan ayat kauniyyah yang lebih menunjukkan fakta hamparan alam semesta; Keduanya saling menguatkan betapa “Dzat Pemelihara alam” [Rabbul ‘aalamiin] itu benar-benar nyata adanya, karena itulah tidak ada yang paling patut untuk disanjung puja melainkan Dia [Allah ‘azza wa jalla] semata. Ayat kedua dari QS. Al-Fatihah yang senantiasa dibaca ulang, yakni Alhamdu lillaahi Rabbil ‘aalamiin “Segala puji milik Allah Rabb sekalian alam”, menegaskan demikian.

Ayat ini merupakan jumlah kalimat khabariyyah sebagai ungkapan pujian kepada Allah ‘azza wa jalla yang memiliki semua pujian yang diucapkan seluruh hamba-Nya. Rabbul ‘aalamiin artinya Allah adalah Pemilik semua makhluk-Nya; Baik kalangan manusia, bangsa jin, komunitas malaikat, kawanan hewan [termasuk hewan melata], dan lainnya. Semua makhluk tersebut dinamai ‘aalam yang menunjukkan adanya alam yang beragam [alam manusia, alam jin, dan lain sebagainya]. Kata ‘aalam sendiri maknanya “tanda”, berarti ‘alam itu tanda adanya yang menciptakan [yaitu Allah]. Demikian para ulama Tafsir menjelaskan, di antaranya Imam Jalaluddin As-Suyuthi dan Imam Jalaluddin Al-Mahalli.

Apabila manusia meyakini konsep alam seperti ini, maka yang muncul adalah timbulnya keimanan kepada Dzat Pencipta alam. Namun sebaliknya, apabila konsep alam yang dimaksud adalah kembali ke makhluk yang diciptakannya, lalu melepaskan dari Penciptanya, bahkan menjadikan selain-Nya sebagai “tandingan” yang dipaksakan, maka yang muncul adalah timbulnya “sesembahan” lain yang dikukuhkan sebagai “Tuhan imajiner” atau “penguasa khayalan”. Dari pintu inilah, kemusyrikan terbuka lebar. Sekalipun tidak diakuinya sebagai sesembahan, namun mereka sangat meyakininya sebagai “perantara yang mampu menghubungkan” kepada hakikat Pencipta [zulfan]. Kalau seperti ini alasannya, bukankah kaum jahiliyah terdahulu pun narasinya sama? Maa na’buduhum illaa liyuqarribuunaa ilallaahi zulfan; “kami tidak menyembah mereka [patung-patung] itu, melainkan sekadar perantara belaka.” (Lihat QS. Az-Zumar/39: 3).

Kaitannya dengan paham nativisme yang tengah kita bincangkan, adalah adanya kesamaan sikap dalam memahami konsep alam. Sebagaimana makna asalnya native artinya terlahir, maka menurut Arthur Schopenhauer [1788-1869] seorang filosof Jerman, nativisme adalah doktrin filosofis yang berpangaruh besar terhadap pemikiran psikologis. Hal ini identik dengan pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam; Berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir, pembawaan yang telah terdapat pada waktu lahir itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Sementara dalam KBBI, dijelaskan bahwa nativisme adalah sikap atau paham suatu negara atau masyarakat terhadap kebudayaan sendiri berupa gerakan yang menolak pengaruh, gagasan, atau kaum pendatang.

Apabila dicermati dari definisi yang berkembang, nampaknya pemaknaan terhadap nativisme mengalami pengembangan dan memiliki tujuan yang jelas dari proses serta arah perubahannya itu; Nativisasi yang alami dan nativisasi yang telah dimodifikasi. Yang pertama lebih kepada hakikat pemaknaannya, dan sangat mungkin masih ada kebaikan di dalamnya [terlebih dikembalikan kepada asal mula kejadian alam dan asal muasal dijadikannya manusia pertama Adam ‘alaihis salaam yang menganut Tauhid. Sedangkan yang kedua, merupakan nativisasi yang terorganisir, karena dijalankan oleh pihak yang mempuyai motif dan rencana tertentu. Nativisasi yang terakhir inilah lebih berperan sebagai upaya sistematis dalam melenyapkan peran kesejarahan Islam dan umatnya serta menggantinya dengan kebudayaan “leluhur”. Munculnya beragam “agama lokal” dari suku tertentu, tidak dapat dilepaskan dari strategi ini.

Dalam konteks dakwah di Nusantara, tantangan semacam ini [tahadiyyaat] telah cukup lama menjadi kewaspadaan para tokoh Islam, bahkan diposisikan sebagai ancaman serius untuk dihadapi setelah Sekularisasi, Kristenisasi, dan Komunisme sebagaimana tertuang dalam Khittah Da’wah Islam Indonesia [1990]. Kecondongan untuk kembali kepada “ajaran leluhur”, merupakan salah satu bentuk de-Islamisasi yang mengarah kepada hal berbau mistis dan bisa mengembalikan masyarakat pada nilai-nilai budaya syirik, serta memalingkan nilai-nilai Islam yang selama ini dianutnya.

Restorasi budaya seperti ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan rancang bangun yang telah disiapkan sejak zaman kolonialisme. Nama-nama semisal Thomas Stanford Raffless [1781-1826] dan Johannes Van Den Bosch [1780-1844], keduanya mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang banyak berperan dalam misi ini. Sebagaimana ungkapan seorang orientalis T. Cuyler Young [1900-1976]: “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam, tetapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut.”

Selain dukungan mereka, kaum priyayi yang turut bergabung dalam berbagai ajaran kebatinan dan paguyuban aliran kepercayaan; Mereka semakin masif melahirkan berbagai karya sastra [seperti halnya Serat Dharmogandul dan Suluk Gatoloco, serta lainnya]. Dalam penelitian dan pengkajian Prof. Mohammad Rasyidi dan Buya Hamka, karya-karya mereka seringkali berisi penghinaan terhadap Islam, bahkan sebahagian peneliti menemukan di dalamya terdapat pula seruan pemurtadan. Selain itu, pengkerdilan terhadap sejarah dan peradaban Islam pun sangatlah kentara.

Maka dengan kembali memahami konsep alam [ma’rifatul ‘aalam] yang benar; Yakni menempatkan hak-hak Dzat Pencipta [Khaaliq] sebagaimana mestinya, bukan mengambil alih hak Pencipta kepada makhluk yang diciptakan-Nya. Sungguh benar perkataan Ashhaabul Kahfi yang menuturkan: “Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi, kami tidak pernah menyeru Tuhan melainkan Dia [Allah]. Sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang teramat jauh dari kebenaran”. Rabbunaa Rabbus samaawaati wal ardhi lan nad’uwa min duunihi ilaahan laqad qulnaa idzan syathathan

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!