Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Sesuai makna asalnya, khittah diambil dari kata Arab khiththah yang mengandung arti garis, rencana, rancangan, sketsa, desain dan proyek. Dikatakan khittah dakwah, berarti garis pedoman dakwah. Maka secara istilah, khittah dakwah adalah garis besar dan pedoman perjuangan gerakan dakwah itu sendiri.
Dalam sejarah kemunculan gerakan dakwah di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari khittah ini. Muhammadiyah [1912] yang telah menjadikan khittah-nya sebagai landasan dalam menjalankan fungsi dakwah dan tajdid sebagai gerakan Islam, demikian pula Nahdhatul Ulama [1926] yang pada tahun 1983 akhirnya berhasil mengembalikan dan mengokohkan garis perjuangannya sebagai jam’iyyah diiniyyah ijtimaa’iyyah dengan tokohnya KH. Achmad Siddiq Situbondo. Juga Persatuan Islam [1923], yang pada tahun 1954 KH. Mohammad Isa Anshary menyusun sebuah manifesto perjuangan sebagai landasan Persatuan Islam dalam berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Demikian pula gerakan-gerakan dakwah lainnya dari ormas-ormas Islam yang hampir keseluruhan memiliki landasan dan kecenderungan masing-masing.
Dalam melahirkan khittah perjuangan; Selain kecenderungan setiap gerakan dakwah berbeda-beda, maka hal yang wajar apabila metode, analisa dan solusinya pun ada perbedaan. Semua ini sangat tergantung pada kekhususan problematika umat yang akan dijadikan bahan identifikasinya.
Ada yang memfokuskan pada penguatan berbasis kearifan tradisi, dan secara paham keagamaan menisbatkan pada madzhab tertentu. Ada yang memfokuskan pada pengembangan sosial, gerakan pendidikan modern yang berkemajuan, dan dalam beragama tidak menisbatkan pada madzhab tertentu. Ada juga yang memfokuskan pada gerakan pemurnian [ashaalatul Islaam], menghidupkan tafaqquh fid diin, serta menghidupkan ijtihaad, Bahkan gerakan-gerakan dakwah yang muncul di tengah-tengah kondisi yang dirasakannya “tidak aman”, maka khittah yang muncul pun tentu berbeda.
Apa yang diuraikan Allaahu yarhamh Dr. Mohammad Natsir [1908-1993] dalam pengantar buku Khittah Da’wah Islam Indonesia [bukan dengan huruf K] yang dikenal “buku hijau”, menjadi sangat menarik untuk direnungkan. Dua ayat Al-Qur’an dan satu hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dituliskan, menjadi “kunci pembuka” dalam penyusunan langkah perjuangan ke depan.
Pertama; Al-Qur’an Surat Al-Anbiyaa/ 21: 35
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan [yang sebenar-benarnya]. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
Kedua; Al-Qur’an Surat Al-Ankabuut/ 29: 69
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk [mencari keridhaan] Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Ketiga; Sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga darinya berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab yang biasa diagungkan Bani Mudlar yaitu antara Jumadil Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari 4294, dari Shahabat Abu Bakrah radhiyallaahu ‘anh).
Dari dua dustur Ilaahi dan satu taujih nabawi tersebut, mengisyaratkan beberapa hal; Setiap manusia akan menemui kematian dan dibalik kehidupan hakikatnya adalah adanya ujian baik juga ujian buruk, selalu adanya jalan keluar selama manusia ada dalam kesungguhan perjuangan, serta peringatan bahwa zaman ini senantiasa mengalami musim berganti dan cuaca yang selalu berubah. Maka dalam menafsir zaman dan menakar masa ini, Allaahu yarhamh mengarahkannya kepada tiga pertanyaan dalam rangka membangkitkan “batang terendam”.
Menurutnya, umat Islam Indonesia yang menghayati Islam sebagai ‘aqidah, syari’ah, akhlaq, dan cita-cita hidup Islam kaaffah; Penting memulai langkah juangnya dengan memunculkan tiga kunci pertanyaan: 1] Apa yang dihadapi? 2] Apa yang berlaku di sekelilingnya? Dan 3] Apa modal untuk menghadapi semua itu? (Lihat: M. Natsir dalam Pengantar Khittah Da’wah Islam Indonesia, 1990)
Merujuk kepada khittah adalah sebuah keniscayaan, karena khittah merupakan “isi pikiran’ dan “panduan melangkah” dalam perjuangan. Dalam praktiknya, menyelaraskan langkah dengan memahami situasi dan kondisi yang tengah terjadi [fiqhul waaqi’] merupakan upaya gerakan dakwah dalam menghadapi berbagai problematika [musykilaat] dan tantangan [tahadiyyaat]. Untuk memenuhi keselarasan itu, maka hadirnya “khittah dakwah” yang peka terhadap “perubahan zaman” adalah wajib adanya. Para ulama ushul fiqih menuturkan dalam kaidahnya: maa laa yatimmul waajibu illaa bihi fahuwa waajibun, “Perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, maka hukumnya wajib pula”.
Ada banyak aspek yang menjadi problematika umat, di antara yang pernah dirumuskan adalah: 1] Aspek sosial budaya, 2] Aspek pendidikan, 3] Aspek dakwah dan informasi, 4] Aspek kejamaahan dan ukhuwwah, 5] Aspek politik, 6] Aspek ekonomi, dan 7] Aspek ilmu dan teknologi (Lihat: Khittah Da’wah Islam Indonesia, Bab IV, 2015)
Seiring perkembangan zaman; Aspek-aspek tersebut bukanlah rincian yang final, melainkan perlu ditinjau ulang, ditambahkan [misalnya aspek pertahanan dan keamanan], serta perlu dikembangkan. Selain itu, sesuai dengan tradisi keilmuan para ulama Islam, rumusan naskah khittah dakwah yang telah tersusun ini memerlukan penjelasan mendalam [syarah] berupa interpretasi yang sesuai konteks zamannya [muqtadhal haal]. Setiap zaman ada peradabannya, setiap peradaban ada metode dan cara bagaimana menjawab permasalahannya.
Agar generasi pelanjut tidak kehilangan arah, menengok “kaidah asasi” patut dilakukan oleh para kader dan aktivis dakwah dalam menapaki langkah perjuangannya. Adapun kaidah asasi yang dimaksud, adalah sebagai berikut:
1] Islam sebagai sumber dan jalan kebenaran yang berasal dari Allah SWT, adalah pandangan hidup yang bukan saja diperuntukkan bagi kesejahteraan kaum muslimin, tetapi juga bagi semua umat manusia.
2] Diinul Islaam adalah ajaran purna, baik dalam makna penyempurnaan ajaran-ajaran Allah SWT [wahyu] lewat para Nabi terdahulu maupun purna dalam kaitannya pandangan hidup manusia yang bersifat ra’yu [akal]. Dengan demikian, Islam adalah ajaran yang komprehensif sifatnya.
3] Selain dari mengandung nilai-nilai dasar yang bersifat fundamental, Islam juga berisikan norma-norma dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan atau pemberitahuan Ilahi lain, terkandung dalam Al-Qur’an yang diperjelas dengan Sunnah Rasul-Nya. Oleh karena itu bagi setiap muslim, Islam adalah kebenaran mutlak, universal dan eternal, tidak terikat pada ruang dan waktu.
4] Islam mengajarkan asas bahwa tidak ada paksaan dalam agama, Islam bahkan mengajarkan tasaamuh [toleran] dalam kehidupan beragama, sepanjang tidak ada gangguan terhadap Islam dan ummat Islam.
5] Sebagai agama yang mengatur berbagai kehidupan dan penghidupan manusia, nilai-nilai dasar dan norma-norma asasi, Islam memberi pedoman untuk lebih mengutamakan persamaan-persamaan tanpa mengabaikan adanya perbedaan-perbedaan mengenai segala aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, sistem-sistem sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan sistem budaya lain yang Islami, adalah sistem-sistem yang berdasarkan ‘aqidah, syari’ah, dan akhlaq, yang tidak bersifat monolitik. (Lihat: Khittah Da’wah Islam Indonesia, Bab II, 2015)
Semoga bahan diskusi yang sempat disajikan dalam Mubaahatsah Bidang Kajian dan Ghazwul Fikri ini bisa menjadi pemantik dan pencerah dalam rangka menalar ulang dan menyegarkan kembali Khittah Dakwah yang sama-sama kita jalankan. Qif duuna ra’yika fil hayaati mujaahidan … Innal hayaata ‘aqiidatun wa jihaadun