ISTIQOMAH DALAM DA’WAH DAN TARBIYAH; KIAT UMMAT HADAPI ZAMAN “PANCAROBA”
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Kalaulah bukan karena kegigihan para Nabi dan Rasul, maka agama tauhîd tidak akan pernah berdiri tegak di muka bumi. Kalaulah bukan karena kerja keras generasi emas, maka mutiara sunnah tidak akan pernah kita dapatkan dalam kehidupan. Kalaulah bukan karena da’wah dan tarbiyah para penyeru keduanya, maka ummat pun akan kehilangan pijakan dan kompas hidupnya. Semua itu bermuara pada satu kata universal yang mengokohkan dan menyimpan banyak harapan di sepanjang kehidupan. Itulah Istiqomah.
Karenanya, jawaban Rasûlullâh shalallâhu ‘alahi wa sallam sangat tepat, ketika seorang shahabat bertanya kepada dirinya terkait amalan mulia yang yang sangat luar biasa dahsyatnya. Perkara ini pernah ditanyakan langsung oleh Abu ‘Amr (dikatakan pula Abi ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdillah radhiyallâhu ‘anh) yang menuturkan:
ُ يَارَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلامِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدَاً غَيْرَكَ؟ قَالَ: قُلْ آمَنْتُ باللهِ ثُمَّ استَقِمْ
“Wahai Rasûlullâh, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tidak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu? Rasûlullâh menjawabnya: Katakanlah aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain, dengan matan hadits yang berbeda disebutkan:
قل: ربي الله, ثم استقم
“Katakanlah: Tuhanku adalah Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Tirmidzi dari shahabat Sufyan bin ‘Abdillah ats-Tsaqafy radhiyallâhu ‘anh)
Sabda mulia ini, tentunya bersumber pula dari firman Allah ‘azza wa jalla:
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزّل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا وأبشروا بالجنة التى كنتم توعدون
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka istiqamah dengan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS Fushshilat/ 41: 30).
Ragam pandangan pun bermunculan dalam mendefinisikan kata istiqomah yang istimewa ini, mulai dari para shahabat hingga ahli ilmu setelahnya:
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallâhu ‘anh menuturkan: “Istiqomah itu tidak menyekutukan Allah dengan apapun juga.”
2. Umar bin Khattab radhiyallâhu ‘anh menyebutkan: “Istiqomah itu hendaknya untuk bertahan dalam satu perintah atau larangan dan tidak berpaling dari yang lain layaknya seekor musang (karakter keteguhannya).”
3. Utsman bin ‘Affan radhiyallâhu ‘anh meringkaskan: “Istiqomah artinya ikhlas.”
4. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anh menegaskan: “Istiqomah adalah melaksanakan suatu kewajiban.”
5. Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anh merincikan: “Istiqomah itu memiliki tiga macam makna; Istiqomah dengan lisan (bertahan terus dalam membaca syahadat), istiqomah dengan hati (melakukan segala sesuatu dengan niat dan jujur) dan istiqomah dengan jiwa (selalu melaksanakan ibadah dan ketaatan kepada Allah secara terus-menerus tanpa terputus).”
6. Ar-Râghib al-Ashbahany rahimahullâh memaparkan: “Istiqomah itu tetap di atas jalan yang lurus.”
7. Imam An Nawawy rahimahullâh menguraikan: “Istiqomah memiliki makna tetap dalam ketaatan di atas jalan yang lurus dalam beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla.”
8. Imam Mujahid rahimahullâh menambahkan: “Istiqomah adalah komitmen terhadap kalimat syahadat dan tauhid sampai bertemu dengan Allah ‘azza wa jalla.”
9. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh menyimpulkan: “Istiqomah dalam mencintai Allah ‘azza wa jalla dan beribadah kepadaNya tanpa menoleh ke arah kanan dan kiri.”
Karena itu, dikatakan istiqomah dalam da’wah dan tarbiyah, mengandung makna bahwa da’wah dan tarbiyah sangat membutuhkan komitmen; yakni kegigihan, keteguhan, percaya diri, pengorbanan dan perjuangan. Di samping berdo’a dan senantiasa memohon pada Allah ‘azza wa jalla tentunya (munâjat, isti’ânah), komitmen dalam da’wah dan tarbiyah menjadi kiat yang tepat bagi ummat hadapi zaman pancaroba yang penuh fitnah.
Da’wah harus menjadi “proyek” raksasa ummat, karena da’wah merupakan sarana yang bisa menjadikan pesan-pesan kebaikan dapat tersampaikan oleh siapa saja dan untuk siapa saja. Adapun siapa subjek da’wah dan siapa objeknya, tentu disesuaikan seiring dengan kebutuhan. Oleh sebab itu, mengapa para ulama membagi hukumnya menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifâyah. Dikatakan fardhu ‘ain, berarti setiap Muslim mukallaf mendapatkan tugas mulia ini semampu yang ia bisa. Sedangkan dikatakan fardhu kifâyah, pemetaannya lebih pada kehandalan da’i khusus yang mumpuni dan benar-benar dibekali dan dipersiapkan. Namun keduanya, tidak keluar dari koridor da’wah sebagai gerakan misi. Beragam profesi ummat, sama-sama terpikul di pundaknya misi da’wah.
Sedangkan tarbiyah, merupakan penopang pokok da’wah (mu’ayyidat). Tanpa tarbiyah da’wah menjadi hambar, demikian pula sebaliknya. Dengan da’wah orang menjadi mengetahui benar dan salah, dengan tarbiyah kebenaran dan kesalahan itu dapat terkawal dan terkontrol dengan baik. Da’wah sebagai sebaik-baiknya seruan di sisi Allah ‘azza wa jalla (Lihat: QS.Fushshilat/ 41: 33) dan tarbiyah sebagai proses pembajaan jiwa yang mengantarkan diri menjadi pribadi rabbani (Lihat: QS. Âlu ‘Imran/ 3: 79). Keduanya merupakan sinergi yang saling melengkapi dan tidak dapat saling berpisah.
Dengan demikian, sedahsyat apa pun sebuah kondisi zaman, selama da’wah masih diserukan dan tarbiyah ummat tetap dijalankan, maka zaman pancaroba yang penuh fitnah sekalipun dapat dihadang. Da’wah dan tarbiyah harus terus digaungkan, karena keduanya merupakan denyut nadi kehidupan. Benar, apa yang disampaikan sang maestro da’wah tanah air Allâhu yarhamh Mohammad Natsir (pemilik buku legendaris Fiqhud Da’wah). Menurutnya, salah satu tujuan da’wah adalah untuk memecahkan “persoalan hidup”; Baik itu persoalan hidup pribadi, rumah tangga, jamaah, hingga masalah hidup berbangsa dan bernegara.
Sungguh keterkaitan da’wah dan tarbiyah ummat, menjadi penopang dalam mengantarkan mereka pada kesempurnaan keselamatan hidup lahir batin (kamâlul hayâtain) dan kebahagiaan yang sesungguhnya di dunia dan akhirat (sa’âdatud dârain). Wa man ahsanu qaulan min man da’â ilallâh wa ‘amila shâlihan wa qâla innanî minal Muslimîn
_____________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.