FITNAH DAJJAL; PETAKA TERBESAR KEKISRUHAN ZAMAN AKHIR
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Membaca kembali literatur para ahli ilmu, terkait petaka terbesar zaman akhir (fitnatul kubrâ). Maka kita akan menemukan beragam berita kenabian yang cukup mengerikan; sebuah huru-hara yang tidak pernah terjadi sebelumnya, petaka terdahsyat sepanjang sejarah yang akan melanda ummat manusia. Jika dibandingkan dengan berbagai kekisruhan yang pernah terjadi di muka bumi, semua itu belumlah sebanding dengan fitnah yang satu ini. Itulah fitnah kemunculan dajjal.
Ada ragam sikap dan pandangan mengenai peristiwa tidak lazim ini, tidak kurang berbagai interpretasi (tafsîr, ta’wîl) pun bermunculan, termasuk pandangan-pandangan di luar Islam.
Artikel yang cukup menarik dari Hendra Saputra yang diedit Yunan Helmy (Malang Times, 22 February 2019) yang menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi sangat berharap akan kemunculan Messias berupa al-masîhud dajjâl sebagai simbol kemenangan dan kejayaan, sementara penganut Kristiani menempatkan dajjal sebagai Anti Kristus dengan bersandar pada Yohanes 2 ayat 18 dan Yohanes 1 ayat 7. Di sisi lain penganut Hindu percaya, dalam kisah Mahabharata ada sosok cerdik nan licik yang sering membuat tindak provokatif, dia tokoh Syangkhuni atau Swalaputra, disebut juga Trigandalpati yang merupakan personifikasi dari dua parayoga, yaitu masa kekacauan di muka bumi, pendahulu zaman kekacauan (maliyoga). Sedangkan dalam kepercayaan Budha, mereka tidak menyebut sosok siapa, melainkan sifat jahat/ nafsu amarah yang ada dalam diri manusia yang mendorong pada kebencian, permusuhan dan peperangan.
Dalam bahasan-bahasan ke-Islaman, persoalan ini selalu menjadi trending topik sepanjang zaman; Ulama ahlus sunnah wal jamâ’ah meyakini bahwa dajjal itu bukanlah simbol, sifat laku dan kiasan belaka (majâzi) sebagaimana pandangan kaum Mu’tazilah dan kaum yang mengedepankan takwil lainnya, melainkan sosok manusia yang sebenarnya ada (haqîqi) dengan tanda-tandanya yang sangat jelas. Sekalipun dalam kenyataannya, apa yang terjadi akhir-akhir ini hampir mendekati pada sifat-sifat tercela yang terjadi dalam hadits-hadis akhir zaman.
Sekedar menyebut contoh, munculnya buku: ‘Umru Ummatil Islâm wa Qurbu Zhuhûril Mahdi ‘Alaihis Salâm (1996), Al-Qaulul Mubîn fil Asyrâthis Shughrâ Liyaumid Dîn Istiqshâan wa Bayânan Liwuqûihâ (1997) dan Raddus Sihâm ‘an Kitâbi ‘Umri Ummatil Islâm wa Qarbu Zhuhûril Mahdi ‘Alaihis Salâm. Ketiganya merupakan karya Syaikh Amin Muhammad Jamaluddin dari Islamic Research Academy (General Department for Research, Writing and Translarion) Al-Azhar University yang ditanda tangani Mamdûh Mahir sebagai Dirut Bagian Penelitian, Penulisan dan Terjemah. Kemunculan buku ini cukup menggemparkan, baik yang pro atau pun yang kontra. Di samping adanya larangan melakukan takwil yang terlampau jauh dalam perkara-perkara aqidah yang masih ghaib, juga Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam tidak merincikannya seperti halnya ditegaskan Syaikh Dr. Sulaiman Al-Asyqar. (Lihat petikan Majalah Sabili, edisi April 2003, hlm. 19).
Adapun data-data tekstual yang dapat dibaca pada kitab-kitab sunnah terkait dajjal haqiqi, di antaranya adalah:
1. Dajjal adalah manusia yang buta mata kanannya (a’war) sebagaimana dikabarkan Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya (serupa dengan seseorang yang bernama ‘Abdul ‘Uzza bin Qathn bin ‘Amrin al-Khuza’iy). Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anh.
2. Kejahatannya merupakan kejahatan tingkat tinggi yang paling berat, hingga para Nabiyullâh sejak Adam ‘alaihis salâm sampai Nabi akhir zaman mewaspadakannya. Demikian menurut HR. Bukhâri-Muslim dari shahabat Anas bin Malik dan HR. Muslim dari Imran bin Husain radhiyallâhu ‘anhum.
3. Tanda fisiknya terdiri dari: berambut sangat keriting dan gimbal (qathathun, ja’dun), matanya tidak bercahaya (thâfiyah), tidak tinggi (qashîr), tampak sombong (afhaj) dan antara dua matanya bertuliskan kaf fa’ ra’. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Nawwâs bin Sam’ân dan HR. Abû Dâwud dari shahabat ‘Ubâdah bin Shâmith radhiyallâhu ‘anhum.
4. Senang demonstrasi “kesaktian” dengan sihir-sihir sesatnya; membawakan sungai air dan sungai api, menghidupkan tumbuhan bumi, menghidupkan orang mati, membuat paceklik bagi yang menolaknya. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah, HR. Muslim dari shahabat Nawwâs bin Sam’ân dan HR. Ibnu Mâjah dari shahabat Abu Umâmah radhiyallâhu ‘anhum.
5. Dajjal akan keluar dari celah antara Syam dan Iraq, tepatnya bumi bagian Timur bernama Khurasan dan diikuti oleh 70.000 Yahudi Ishfahân (keduanya ada di negeri Iran), para wanita dan anak-anak bodoh. Demikian menurut HR. Muslim dan Ahmad dari shahabat Anas, HR. Ahmad dari Ibnu Umar, HR. Ahmad dari shahabat Abu Bakar radhiyallâhu ‘anhum.
6. Dajjal hidup di muka bumi dengan masa 40 hari; yang hari pertama serasa satu tahun, hari kedua serasa satu bulan, hari ketiga serasa sepekan dan berikutnya sama seperti hari-hari biasa, hingga akhirnya Nabiyullâh ‘Isa ‘alaihis salâm (yang turun dekat menara putih Damascus) dan membunuh Dajjal di suatu tempat bernama Bâb Ludd. Demikian menurut HR. Muslim dari shahabat Nawwâs bin Sam’ân radhiyallâhu ‘anhum.
7. Dajjal terus melakukan kerusakkan, hingga tidak ada satu kota pun yang tidak dimasukinya kecuali kota Makkah dan Madinah yang dijaga setiap celahnya oleh barisan malaikat. Selain itu, Madinah diguncang gempa sebanyak 3x hingga dikeluarkannya orang-orang kufur dan munafiq. Demikian menurut HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anh).
Para ulama klasik telah menunjukkan dalil-dalil itu secara panjang lebar beserta syarahnya, di antaranya Al-Hâfizh Abul Fida’ Ibnu Katsîr dalam kitabnya Nihâyatul Fitan wal Malâhim sebagai pembahasan akhir dari kitab besarnya Al-Bidâyah wan Nihâyah. Seperti dinuqilkan Syaikh Sulaiman bin Muhammad Al-Luhaimid dalam risalahnya Tahdzîrul Ajyâl min Fitnatil Masîhid Dajjâl (tanpa tahun), bahwa sebelum kemunculan dajjal ada peristiwa-peristiwa yang melintas sebelumnya; penaklukkan konstantinopel, terjadinya tahun-tahun penuh tipu daya dan dunia dilanda kekeringan yang sangat.
Namun demikian, pemaknaan terhadap sikap laku yang jahat atau perilaku moral yang semena-mena (kedustaan, kepongahan, ketidak adilan, intimidatif, peradaban yang buruk dan lain-lain) tidak bisa dilepaskan dari perilaku dajjal yang sesungguhnya, karena itulah Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dalam sebuah haditsnya:
يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ، يَأْتُونَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ، لَا يُضِلُّونَكُمْ، وَلَا يَفْتِنُونَكُمْ
“Akan ada pada akhir zaman dajjal-dajjal pembohong yang membawa kepada kalian perkataan-perkataan yang tidak pernah kalian dengar, tidak pula ayah-ayah kalian. Maka hati-hatilah kalian dan awasilah mereka, jangan sampai mereka menyesatkan kalian dan jangan sampai kalian terfitnah.” (Lihat: Muqaddimah Shahîh Muslim, no. 7)
Maka sangatlah wajar, sekaliber Ibnu Manzhur (pemilik kitab Lisânul ‘Arab) mengatakan:
كُلُّ كَذَّاب فَهُوَ دَجَّال، وَجَمْعُهُ دَجَّالون، وَقِيلَ: سُمِّي بِذَلِكَ لأَنه يَسْتُرُ الْحَقَّ بِكَذِبِهِ.
“Setiap pendusta maka dia adalah dajjal, dan jamaknya adalah dajjâlûn (dajjal-dajjal). Dikatakan dengan penamaan demikian karena dia menutupi kebenaran dengan kedustaannya.” (Lihat: _Lisânul ‘Arab_, 11, hlm. 237).
Ada banyak kasus dan peristiwa yang muncul di depan mata, baik berskala dunia atau pun lokal, bernuansa politik atau pun ideologi; mulai dari semakin pongahnya peradaban Barat, Eropa dan lain-lain dengan penuhanan materialisme yang dianutnya (memandang segala sesuatu dengan sebelah mata), munculnya sekte-sekte yang dengan terus terang memuja Iblis (Lucifer), kemunculan Nabi-nabi bayangan dan Imam Mahdi palsu di belahan Benua India, Afrika dan Negara-negara berperadaban Persia dengan sisa-sisa mazdaqiyyah-nya (zoroaster, majusi). Mulai dari Mirza Ghulam Ahmad, Bahauddin Al-Bâb, hingga Sathya Sai Baba. Tidak terkecuali di Negara-negara Asia dan Asia Tenggara. (Lihat: Yusuf Burhanuddin, Kemunculan Dajjal Palsu, Qultumedia Jakarta: 2007 dan Hartono A. Jaiz, Nabi-nabi Palsu & Penyesat Ummat, Al-Kautsar Jakarta: 2008)
Terlepas dari pemaknaan haqîqi atau pun majâzi, Rasûlullâh shalallâhu ‘alahi wa sallam memberi ketauladanan kepada ummatnya agar senantiasa memohon keselamatan dari fitnah dajjal ini (di antaranya membaca awal Surat Al-Kahfi dan do’a khusus terhindar dari fitnah dajjal). Lebih dari itu, banyak mengambil pelajaran dan merenungkan taujîh nabawy agar diselamatkan dari berbagai fitnah yang semakin dahsyat ini dengan cara-cara berikut: mengokohkan masalah ‘aqîdah, meminimalisir perpecahan, persengketaan dan mendorong ummat akan pentingnya persatuan, mementingkan untuk belajar ilmu syar’i, mengikatkan diri pada Al-Qur’an dan mengajak yang lain untuk melakukan hal yang sama, menjauhi sumber fitnah, shabar dan tetap istiqamah terutama ketika terjadi fitnah, berlindung dari fitnah dan tawakkal pada Allah ‘azza wa jalla dan selalu bertanya kepada ahli ilmu dalam menghadapi berbagai kesulitan, terlebih ketika menghadapi fitnah.
Allâhumma innî a’ûdzu bika min adzâbi jahannam wa min adzâbil qabri wa min fitnatil mahyâ wal mamâti wa min syarri fitnatil masîhid dajjâl
______________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.