Jumat, September 13MAU INSTITUTE
Shadow

BERCERMIN PADA KACA YANG RETAK

Oleh : Teten Romly Qomaruddien

Ada pribahasa klasik yang mengemuka di kalangan cerdik pandai, yakni “buruk muka cermin dibelah”. Frasa tersebut dialamatkan bagi mereka yang “gampangan” menyalahkan orang lain tanpa menyadari kesalahannya sendiri. Sungguh benar, cermin yang dibelah hanya akan menjadi kaca yang retak. Serpihannya bisa melukai diri dan membawa petaka bagi orang lain; Kalaulah bercermin, jangankan yang dirasakan kurang akan semakin nampak kekurangannya, yang baik sekalipun akan menjadi kurang baik karenanya.

Kalau ingin mengetahui seperti apakah kita? Maka “bercerminlah!”, itulah salah satu jawabnya. Bercermin merupakan suatu kondisi di mana orang ingin melihat dirinya sendiri; Akan menjadi apa dan seperti bagaimana, tergantung prilaku orang tersebut dalam bercermin. Bahasa fisik ataupun psikis, akan nampak nyata dalam sikap bercerminnya.

Semua itu mengandung makna, bahwa bercermin bisa memberikan efek kejujuran diri seseorang apa adanya. Isi hati yang sesungguhnya, benar-benar terekspresikan dan terlihat jelas pada raut muka ketika bercermin. Karenanya, untuk mendapatkan gambaran lahir dan batin yang tidak abu-abu alias buram dalam bercermin, janganlah kita bercermin pada kaca yang retak!

Sebenarnya banyak kalangan yang percaya, bahwa “bercermin pada kaca yang retak” adalah kesialan, sebagaimana diyakini bangsa Romawi Kuno. Karena bagi mereka, kaca cermin merupakan media perantara dewa dalam menurunkan nikmat; Bercermin pada kaca yang retak, berarti tidak mensyukuri nikmat yang diberikan sang dewa.

Padahal, susah dan senang, sial dan beruntungnya seseorang, tidak ditentukan oleh gara-gara bercermin pada kaca yang retak [dalam bahasa Sunda disebut “pamali” atau “kumaonam”, yaitu sesuatu yang dipantang], melainkan efek kejiwaan saja yang menuntut adanya perasaan optimis di balik kenyataan buruk yang dialami.

Meminjam pandangan Miriam Biddelman [seorang psikoterapis dari New York] dengan pendekatan “teori keberuntungan Dewi Fortuna”-nya, menurutnya kebanyakan orang berpikir bahwa nasib buruk akan selalu membuntuti nasib baik atau nasib baik akan datang setelah nasib buruk. Artinya, hidup harus selalu optimis dan jangan termakan oleh berbagai mitos dan takhayul [terlepas sebagian ahli seperti Markovsky menganggap bahwa takhayul sendiri mampu menurunkan stress dan meningkatkan kinerja yang menyenangkan untuk diperbincangkan]. Makanya, tidaklah heran apabila menceritakan sesuatu yang berbau mitos dan takhayul seolah tidak ada habisnya.

Kembali ke persoalan larangan “bercermin pada kaca yang retak”, hanyalah sebuah ungkapan nasihat bijak seperti halnya sindiran “mencuci muka dengan air kotor”. Sekalipun berkali-kali dilakukan, tidak akan mendatangkan solusi yang diharapkan. Demikian pula dengan kehidupan yang sama-sama kita jalani, bahwa hidup ini membutuhkan cermin dan keteladanan. Keliru memilih cermin, berarti keliru pula dalam menentukan figur teladan. Allaahumma kamaa hassanta khalqii fahassin khuluqii.


✍️ Tulisan ini digoreskan pada waktu dhuha (Rabu, 03/05/23) di Trans Jakarta Bekasi menuju Pal Putih untuk menghadiri Shilaturrahim ‘Iedul Fithri 1444 H Keluarga Besar Komplek Masjid Al-Furqan Kramat Raya 45 Jakarta Pusat.

Print Friendly, PDF & Email

4 Comments

  • Abdul Malik

    Masya Allah mantaap ustadz jazakallahul Khoiron. Bercermin pada kaca yang retak mengingatkan saya pada lagu Qosidah yang melantunkan suara gendang dan seruling bambu yang mengaung dengan suara lagu jangan bercermin di air keruh karna kau tak dapat melihat wajahmu bahasa ini memberika arti jangan berteman dengan orang yang buruk tingkahnya hawatir akan terjerat oleh tali syaitan yang keparat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!