Jumat, Maret 29MAU INSTITUTE
Shadow

HAKIKAT ILMU DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

HAKIKAT ILMU DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

Islam sebagai agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, tidak diragukan lagi. Banyak argumen yang dapat dirujuk, di samping ada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam terkait diangkatnya derajat orang berilmu, juga di dalam Al-Qur’an mengandung banyak terkait rasionalisasi, bahkan menempati bagian terbesar.

Hal ini diakui Meksim Rodorson (seorang penulis Marxis) ketika menelaah QS. Ali Imrãn/3: 190 – 191 dan QS. Al-Baqarah/2: 164. Menurutnya, dalam Al-Qur’an, kata ‘aqala (mengandung pengertian menghubungkan sebagian pikiran dengan sebagian yang lain dengan mengajukan bukti-bukti yang nyata sebagai argumentasi yang harus dipahami secara rasional) disebut berulang kali, tidak kurang dari 50 kali dan sebanyak 13 kali berupa bentuk pertanyaan sebagai bentuk kritis yang mengarah pada kajian ilmiah, seperti “Apakah kamu tidak berakal?” (Yusuf Qaradhawi, Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dȋn fi ‘Ashr al-‘Ilm oleh Ghazali Mukri, 2003: 11).

Seandainya meneliti kata-kata lainnya; nazhara (menganalisa), tafakkara (memikirkan), faqiha (memahami), ‘alima (mengerti, menyadari), burhan (bukti, argumentasi), lubb (intelektual, cerdas, berakal), dan lain-lain, niscaya akan menemukan banyak sekali nilai-nilai ilmiah yang terdapat dalam al-Qur’an. (Yusuf Qaradhawi, 2003: 11).

Maka dapat dikatakan, ilmu itu membutuhkan pembuktian (dalil, hujjah, atau argument) sebagai hasil dari sebuah pencarian, dan Al-Qur’an mengisyaratkan mengenai hal ini. Setiap kali Allah menerangkan fakta-fakta penciptaan, lalu diiringi dengan pernyataan “Semua itu merupakan bukti nyata kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imrãn/3: 190 – 191).

Karena itu, ada beberapa definisi Al-‘ilmu yang disodorkan para ulama sebagaimana dikemukakan Syarief ‘Ali bin Muhammad Al-Jarjãni, yaitu: “Keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataan”, “Sampainya gambaran sesuatu terhadap akal”, “Hilangnya keraguan setelah diketahui”, “Hilangnya kebodohan” dan “Merasa cukup setelah tahu”. Dikatakan pula “Sebagai sifat yang mendalam yang dapat mengetahui perkara yang universal dan parsial” atau “Sampainya jiwa kepada sesuatu makna yang diketahui”. Juga (pengertian yang lebih ringkas) adalah “Mengetahui sifat persifat”. (Al-Syarif ‘Aliy bin Muhammad Al-Jarjãni, Kitãb At-Ta’rifãt, tp. tahun, hlm.156).

Dapat dikatakan, cara pandang seseorang terhadap sesuatu itu merupakan pandangan hidupnya (worldview). Dan lahirnya ilmu dalam Islam didahului oleh adanya tradisi intelektual yang tidak lepas dari kandungan Al-Qur’an dan penjelasannya dari Nabi. Jadi, jika kelahiran ilmu dalam Islam dibagi secara periodik, menurut Hamid Fahmi Zarkasyi (Direktur INSISTS dan CIOS) urutannya sebagai berikut:

1) Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam.
2) Adanya struktur ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
3) Lahirnya tradisi keilmuan Islam.
4) Lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam. (Hamid Fahmi Zarkasyi, Seminar Pandangan Hidup dan Epistomologi Islam; Studi Kasus Sains Islam, “Pandangan Hidup Sebagai Asas Epistemologi Islam”, 2006: 8).

Maka dapat dipastikan, munculnya peradaban dalam Islam seiring dengan bangkitnya tradisi ilmu. Tradisi ilmu yang didorong oleh ayat-ayat Al-Qur’an telah berhasil mengubah para shahabat Nabi dari asalnya jahiliyah menjadi orang-orang yang senang dengan ilmu pengetahuan dan berakhlaq mulia, mengubah generasi-generasi Arab jahiliyah yang tidak diperhitungkan dalam pergolakan dunia, menjadi pemimpin-pemimpin kelas dunia yang disegani di seluruh kawasan dunia saat itu. Inilah hakikatnya “peradaban Islam”, sebagaimana dituturkan Syed Naquib al-Attas. Menurutnya, untuk membangun peradaban Islam, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan yang disebutnya sebagai “ta’dib” yang tujuannya membentuk manusia beradab. Jika konsep adab ini diterapkan dalam masyarakat, maka akan terbentuklah satu peradaban yang dalam bahasa melayu disebut “tamaddun” yang berbasiskan pada “al-din”. Disebut Madinah, dikarenakan al-Din diaplikasikan di kota tersebut. Dikatakan masyarakat Madani, berarti masyarakat beradab, jika memiliki ilmu (knowledge) yang benar. Karenanya, suatu pendidikan Islam harus dapat mengantarkan anak didiknya kepada tujuan ilmu yang utama, yakni membentuk manusia yang beradab. Pendidikan akan gagal mewujudkan tujuannya, jika dibangun di atas konsep ilmu yang salah, yakni ilmu yang tidak mengantarkan kepada ketakwaan dan kebahagiaan. (Adian Husaini, et all., Bahan-Bahan Kuliah Islamic Worldview, “Ilmu dan Manusia Beradab”, 2009: 3-4).

Maka yang membedakan antara makna pandangan hidup Islam dengan yang lain adalah spektrum maknanya. Makna pandangan Islam menjangkau terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta, tidak terbatas pandangan akal terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, politik dan kultural saja, melainkan mencakup aspek dunia dan akhirat di mana aspek dunia harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek akhirat. Sedangkan aspek akhirat harus diletakkan sebagai aspek final. (Hamid Fahmi Zarkasyi, 2006: 5).

Dengan sudut pandang yang berbeda, maka konsep ilmu pun menjadi berbeda. Untuk lebih jelas lagi, Al-Attas (dalam Prolegomena-nya) membedakan secara diametris antara worldview Islam dan Barat sebagai berikut; Worldview Islam bersifat tauhidi sedangkan Barat berprinsip dichotomic. Worldview Islam berasas wahyu, hadits, akal, pengalaman dan intuisi, sedangkan Barat bersifat rasionalitas, terbuka, dan selalu berubah. Worldview Islam mengambil makna realitas berdasarkan kajian metafisis, sedangkan Barat mengambil makna realitas berdasarkan pandangan social, kultural, dan empiris. Juga worldview Islam objek kajiannya visible dan invisible, sedangkan Barat objek kajiannya tata nilai masyarakat. (Hamid Fahmi Zarkasyi, 2006: 6).

Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, ilmu pengetahuan Barat-modern yang diproyeksikan melalui pandangan hidupnya, dibangun di atas visi intelektual dan psikologi budaya dan peradaban Barat. Menurutnya, ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat:

1) Akal diandalkan untuk membimbing manusia,
2) Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran,
3) Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler,
4) Membela doktrin humanisme,
5) Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fithrah dan eksistensi kemanusiaan.

Menyadari krisis ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat, Naquib al-Attas menyimpulkan bahwa ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuai kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden). (Adnin Armas, Seminar Pandangan Hidup dan Epistomologi Islam: Studi Kasus Sains Islam, “Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu” (2006: 20).

Masih menurut Adnin Armas, bahwa penolakan terhadap paradigma ilmu Barat, tidak serta merta bermaksud menafikan juga persamaan yang terdapat antara Epistemologi Barat dan Islam. Memang ada, menurut Naquib al-Attas, persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar empiris, kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi proses dan filsafat sains.

Bagaimanapun, terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldview) mengenai realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta. Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudut pandang rasionalisme dan empirisme. Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik. Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai perkembangan zaman. Tanpa Wahyu, realitas yang difahami hanya terbatas pada alam nyata ini yang dianggap satu-satunya realitas. Wallaahu a’lam bis shawwaab.
_____________

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.

Print Friendly, PDF & Email

4 Comments

Tinggalkan Balasan ke Ridwan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!