BERDAMAI DENGAN QADHA QADAR; TERAPI IDEAL MEMBANGUN NARASI OPTIMIS
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Sungguh mengharukan, sebuah goresan kata tak bertuan ini. Terlepas siapa yang menulisnya, namun substansinya adalah sebuah kebenaran yang dapat dirasakan. Yakni ungkapan bahasa penuh makna yang mengajak siapa pun yang membacanya lebih merasa berharga dan mulia di hadapan yang Maha kuasa.
Sebuah narasi apik, jauh dari ketakabburan diri. Di dalamnya ada kepasrahan, di dalamnya pula ada ketundukkan. Bukan sekedar memotivasi diri, namun lebih jauh dari sekedar itu semua; harapan membentang dan tak mudah berputus asa, itulah pesan yang disampaikannya. Di antara goresan kata dimaksud adalah:
“Kadang kita terlalu memaksakan kehendak; Menurut kita, kita ini lebih pantas bekerja ini, lebih pantas memiliki itu, lebih pantas berpasangan dengan dia atau dia dan seterusnya. Tetapi sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah mengatur segalanya untuk kita sesuai dengan pribadi dan tingkat diri kita masing-masing. Jika sesuatu memang bukan untuk kita, jangan dipaksakan. Kita boleh berjuang mendapatkan impian kita, tapi kita harus tau kapan waktunya untuk menyerah. Berjuanglah untuk sesuatu yang baru, bisa jadi itu lebih baik untuk kita.”
“Tak selamanya apa yang kita angankan dan inginkan itu selalu menjadi kenyataan … Angan-angan adanya dalam fikiran, sedangkan kenyataan adanya dalam kehidupan … Angan itu cita, sedangkan hidup adalah realita … Ketentuan taqdirMu memang ngak bisa ditebak … Semoga kita tetap adalah kita sebagai mana yang kita kenal selama ini. Adapun masa depan kita dah menunggu di ujung pelupuk cita kita masing-masing …”
Masih ingatkah kita, bait-bait syair yang bertaburan menghiasi dunia maya berikut ini:
كُلُّنَا اَشْخَاصٌ عَادِيٌّ فِي نَظْرِ مَنْ لاَ يَعْرِفُنَا
“Kita semua adalah orang biasa dalam pandangan orang-orang yang tidak mengenal kita.”
وَكُلُّنَا اَشْخَاصٌ رَائِعُوْنَ فِى نَظْرِ مَنْ يَفْهَمُنَا
“Kita adalah orang yang menarik di mata orang yang memahami kita.”
وَكُلُّنَا اَشْخَاصٌ مُمَيِّزُوْنَ فِى نَظْرِ مَنْ يُحِبُّنَا
“Kita istimewa dalam penglihatan orang-orang yang mencintai kita.”
وَكُلُّنَا اَشْخَاصٌ مَغْرُوْرُوْنَ فِى نَظْرِ مَنْ يَحْسُدُنَا
“Kita adalah pribadi yang menjengkelkan bagi orang yang penuh kedengkian terhadap kita.”
وَكُلُّنَا اَشْخَاصٌ سَيِّئُوْنَ فِى نَظْرِ مَنْ يَحْقِدُ عَلَيْنَا
“Kita adalah orang-orang jahat di dalam tatapan orang-orang yang iri akan kita.”
لِكُلِّ شَخْصٍ نَظْرَتُهُ، فَلاَ تَتْعَبْ نَفْسَكَ لِتُحْسِنَ عِنْدَ الآخَرِيْنَ
“Pada akhirnya, setiap orang memiliki pandangannya masing masing, maka tak usah berlelah-lelah agar tampak baik di mata orang lain.”
يَكْفِيْكَ رِضَا اللّٰهُ عَنْكَ ، رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَك
“Cukuplah dengan ridha Allah bagi kita, sungguh mencari ridha manusia adalah tujuan yang takkan pernah tergapai.”
وَرِضَا اللّٰهُ غَايَةٌ لاَ تُتْرَك ، فَاتْرُكْ مَا لاَ يُدْرَكْ ، وَاَدْرِكْ مَا لاَ يُتْرَكْ
“Sedangkan Ridha Allah, destinasi yang pasti sampainya, maka tinggalkan segala upaya mencari keridhaan manusia, dan fokus selalu pada ridha Allah ‘azza wa jalla.”
Memang benar, terkadang hidup terasa menjenuhkan, bahkan tanpa sadar seringkali kita menggugat keadilan Tuhan. Dengan langkah gontai seolah putus harapan. Tidak, sekali-kali tidak … kita masih memiliki iman dan harapan itu masih ada, terbentang dengan luasnya. Itulah yang selalu diingatkan oleh cerdik pandai generasi terbaik ummat sepanjang zaman.
Sebagaimana dipetik Syaikh Muhammad Shâlih al-‘Utsaimin, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullâh pernah menuturkan: “Qadar adalah kekuasaan Allah, karenanya tak syak lagi bahwa qadar merupakan qudrah yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang tersembunyi, tak ada seorang pun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis di lauhil mahfuzh dan tak ada seorang pun yang dapat melihatnya. Kita tidak pernah tau taqdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita atau pun makhluq lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.” (Lihat: Al-Qadhâ wal Qadar, 1999: hlm. 6)
Memahami qadha-qadar, bagi sebahagian kalangan, memang gampang-gampang susah. Gampangnya adalah, begitu sangat mudah dituturkan: “Ini sudah guratan taqdir yang Maha kuasa”. Sedangkan susahnya, ketika sebuah kejadian telah menimpa seseorang, kenyataannya tidak semua kita bisa menerimanya dengan tulus sepenuh hati.
Bahkan dalam perdebatan teologis sekalipun, kita mengenal dua aliran pokok dalam hal ini; kalangan Jabariyyah yang meyakini bahwa hidup ibarat alam pewayangan, artinya “bagaimana kehendak Tuhan saja, segalanya diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan tanpa keterlibatan makhluqNya”. Adapula kalangan Qadariyyah, yang meyakini “bagaimana keinginan kita saja, segalanya ditentukan oleh makhluq tanpa melibatkan Tuhan sama sekali.”
Kedua faham tersebut, dinilai para ulama Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah sebagai faham yang menyimpang, jauh dari sifat keadilan Allah ‘azza wa jalla. Di mana wahyu mengajarkan pada kita; bahwa qadar urusan yang Maha kuasa, sedang ikhtiar/ kasab adalah kewajiban makhluqNya. Membenturkan keduanya, merupakan kesalahan fatal, bahkan bisa menuduh keimanan terhadap taqdir merupakan “kesia-siaan” belaka. Masih terlintas dalam ingatan kita, kisah seorang Professor yang menolak untuk mengimani taqdir sebagai rukun iman yang keenam. Ujung-ujungnya berkesimpulan, “dunia Islam mundur, karena mengimani taqdir.” (Lihat: Hartono A. Jaiz, Rukun Iman Digoncang, 1997)
Agar masa lalu yang kelabu seperti itu tidak berulang dan terwariskan, sudah seyogianya insan beriman segera berdamai dan mengimani sepenuh hati akan qadhâ dan qadar-nya. Qadha, manusia turut terlibat menentukan hidupnya, sementara qadar, benar-benar hak Allah ‘azza wa jalla dan manusia tidak terlibat sama sekali.
Karenanya, sangatlah wajar apabila Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam memberikan bimbingan agar kita berdo’a terhindar dari ketetapan yang buruk (sûul qadhâ). Artinya, apa yang sudah menjadi qadarnya, itu rahasia Allah sepenuhnya. Namun berikhtiar untuk terhindar dari ketetapan yang buruk, itu pun menjadi kewajiban usaha (kasab) manusia. Seperti halnya orang yang meninggal karena tertabrak kereta api; Meninggalnya merupakan taqdir, namun kecerobohan dia ketika melintas rel atau sengaja berjalan menelusuri rel, hakikatnya dia tengah menjemput qadha yang buruk itu.
اللهم إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ وَدَرَكِ الشَّقَاءِ وَسُوءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ
“Ya Allâh, kami berlindung kepada-Mu dari beratnya mushibah yang tak mampu ditanggung, dari datangnya sebab-sebab kebinasaan, dari buruknya akibat apa yang telah ditetapkan, dan gembiranya musuh atas penderitaan yang menimpa.” (HR. Al-Bukhâri, Kitab ad-Da’âwât bab At-Ta’awwudz min jahdil balâ’ 6/ 75 dan Muslim, Kitab adz-dzikr wa ad-du’â wa at-taubah wa al-istighfâr bab At-ta’awwudz min sû’il qadhâ’, no. 2707)
Untuk lebih terarahnya keimanan kita akan perkara ini, para ulama ushûluddîn memberikan tahapan-tahapan bagaimana kita mengimani qadha dan qadarNya tersebut:
Pertama Al-‘Ilmu; Yaitu mengimani dan meyakini bahwa Allah Maha tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhluqNya. Tak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagiNya.
Kedua Al-Kitâbah; Yaitu mengimani bahwa Allah telah menuliskan ketetapan segala sesuatu di lauhul mahfûzh yang ada di sisiNya.
Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (lauhul mahfûzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al-Hajj/ 22: 70)
Ketiga Al-Masyi’ah; Artinya bahwa segala sesuatu yang terjadi, atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah. Hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an al-Karim. Dan Allah telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya adalah dengan kehendakNya, serta apa yang diperbuat para hambaNya juga dengan kehendakNya.
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ (٢٨) وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (٢٩)
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan Semesta Alam.” (At-Takwîr/ 81: 28-29)
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya.” (Al-An’âm/ 6: 112)
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakiNya.” (Al-Baqarah/2: 253)
وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi)nya.” (As-Sajdah/ 32: 13)
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu.” (Hûd/ 11: 118)
Keempat Al-Khalq; Yaitu mengimani bahwa Allah Pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah. Sampai yang dikatakan “mati” (tidak hidup), itupun diciptakan oleh Allah.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk/ 67: 2)
Jadi, segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptaNya tiada lain adalah Allah ‘azza wa jalla.
Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari perbuatan Allah adalah ciptaanNya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari bulan, bintang, angin, manusia, dan hewan, kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluq ini, seperti: sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah.
Akan tetapi mungkin saja ada orang yang sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang kita lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah?
Jawabnya: Ya memang demikian. Sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena adanya dua faktor; yaitu kehendak dan kemampuan. Apabila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah. Dan Siapa yang menciptakan sebab, Dialah yang menciptakan akibatnya.
Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah. Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai yang berbuat atau pelaku perbuatan.
Seperti halnya kita katakan: “Api membakar”. Padahal yang menjadikannya dapat membakar tentu saja Allah. Api tidak dapat membakar dengan sendirinya, sebab seandainya api dapat membakar dengan sendirinya, tentu ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm dilemparkan ke dalam api akan terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau tidak mengalami cedera sedikit pun, karena Allah telah berfirman kepada api itu:
يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ
“Hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.” (Al-Anbiyâ’/ 21: 69)
Sehingga Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat wal ‘afiat.
Jadi, api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah yang menjadikannya mempunyai kekuatan untuk membakar. Kekuatan api untuk membakar adalah sama dengan kehendak dan kemampuan dalam diri manusia untuk berbuat, tidak ada perbedaannya. Hanya saja, karena manusia mempunyai kehendak, perasaan, pilihan dan tindakan, maka secara hukum dan sebenarnya manusia dinyatakan sebagai yang berbuat. Dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya, karena dia berbuat menurut kehendak dan kemauannya sendiri. Wallâhu a’lam bis shawwâb
_____
*) Makalah ini ditulis untuk kepentingan diskusi kaum Milenial dalam materi Pengantar Kuliah ‘Aqidah Islam.
Jazakalloh ustadz luar biasa mencerahkan kami semua..Barokalloh🤲
Wa iyyakum.. Semoga bermanfaat