Senin, Desember 9MAU INSTITUTE
Shadow

MEMAKSIMALKAN MADRASAH KELUARGA (Ikhtiar Wajib Belajar di Zaman Corona)

MEMAKSIMALKAN MADRASAH KELUARGA (Ikhtiar Wajib Belajar di Zaman Corona)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

Membincangkan peran ayah dan peran ibu, tentu sangatlah mulia. Namun akan lebih mulia apabila peran keduanya dilihat dari sisi yang lebih menonjolkan sentuhan pemeliharaan keturunan (hifzhun nasab) dalam bahasa fiqih, atau pelestarian generasi (naqlul ajyâl) dalam bahasa sosial, yang keduanya dikaitkan dengan pemeliharaan agama (hifzhud dîn). Karena dengan agamalah semuanya menjadi bernilai dan memiliki kedudukkan yang amat terhormat.

Indung nu ngandung jeung bapa nu ngayuga, indung tunggul rahayu jeung bapa tangkalna darajat”. Seorang ibu, dialah sosok wanita yang mengandung kita, dan bapak karena sosok dialah yang menyebabkan kita menjadi ada -atas idzin Allah ‘azza wa jalla-. Ibu adalah puncaknya kebahagiaan dan bapak adalah perantara kemuliaan. Karena itulah agama mengajarkan birrul wâlidain dan akrim abâka wa ummaka, “hormatilah kedua orang tuamu”.

Demikian pula dengan do’a yang selalu terlantun: “Rabbanâ hab lanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrata a’yunin waj’alnâ lil muttaqîna imâman” yang termaktub dalam QS. Al-Furqân/ 25: 74, semua ini menunjukkan betapa eratnya hubungan madrasah orang tua dan lahirnya generasi pemimpin masa depan. Artinya, “pendidikan rumah” itu sangat dahsyat pengaruhnya dalam perkembangan anak-anak kita. Karenanya tidak ada alasan sedikit pun untuk “mengerdilkan” peran orang tua di rumah; pasangan kita, terlebih ibu kita atau istri kita. Do’a tersebut cukup memberikan langkah-langkah pasti dalam pendidikan; dari mana harus mulai, dengan siapa harus berjuang dan untuk siapa perjuangan itu?.

Dilihat dari gugusan ayat-ayatnya, ayat do’a ini merupakan bagian dari bentangan karakteristik ‘ibâdur Rahmân, yakni hamba-hamba kekasih Allah yang menjadi ayat kunci surat ini (yaitu surat Al-Furqân). Allah meletakkannya pada bagian terakhir dari point-point sebelumnya sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Furqân/ 25: 63 – 73, yaitu; selalu bersikap tawadhu’, selalu membalas kebaikan sekalipun kepada orang jahil, senantiasa bersujud di kala malam, senantiasa memohon keselamatan dari nerakaNya, tidak berlaku boros, tidak bersifat kikir, tidak memohon kepada selain Allah, tidak mengalirkan darah kecuali yang hak, tidak berbuat zina, tidak memberikan kesaksian palsu, tidak tergoda dengan kebatilan di sekitarnya, apabila diingatkan tidak berlaku tuli dan bisu. Berikutnya, Allah sebutkan karakteristik yang terakhir sebagaimana terdapat dalam lanjutannya, yakni selalu memohon anugerah kepada Allah agar diberikan generasi pemimpin.

Dimulai dari keterlibatan pasangan (azwâj), yaitu para suami dari isteri-isteri mereka atau para isteri dari suami-suami mereka, terutama sosok ibu (ummun) sebagai sekolah pertama bagi anak-anak mereka (al-ummu madrasatun li abnâihim). Juga keterlibatan anak keturunan (dzurriyyah) sebagai generasi calon pemimpin (imâmun) yang akan senantiasa berada di garda terdepan (amaamun) dalam rangka memimpin komunitas masyarakat (ummatun) dalam berbagai persoalannya. Adanya kaitan dan hubungan antara makna-makna kalimat tersebut, bukanlah sesuatu yang kebetulan, melainkan keelokkan bahasa al-Qur’an dari segi bahasa yang menakjubkan (al-i’jâzul-lughawy minal Qur’ân) yang semakin menunjukkan kebenarannya sebagai konsep kehidupan.

Di antara pelajaran berharga dari kandungan rabbani ayat do’a ini adalah:

1) Kepemimpinan yang baik, terlahir dari karakteristik dasar hamba yang baik pula sebagaimana ditunjukkan dalam sifat-sifat ‘ibâdurrahmân.

2) Keluarga merupakan tempat persemaian pertama dan utama dalam melahirkan kader-kader pemimpin.

3) Karakteristik pemimpin yang utama, adalah mereka yang mampu menjadi pelayan ummat (khâdimul ummat) dengan baik sebagaimana pepatah ‘ibarat yang menyebutkan “Sayyidul qaum khâdimuhum; Pemimpin suatu kaum adalah pelayannya.” atau “khâdimul qaum sayyiduhum; Pelayan suatu kaum adalah pemimpinnya.”

4) Cerminan masyarakat yang baik, adalah gambaran ummat terbaik yang dirasakan kemanfaatannya bagi orang lain; keluarga atau masyarakatnya (khairukum anfa’uhum li ‘iyâlihi, khairukum anfa’uhum lin nâsi)

5) Kepemimpinan yang berkah itu, terlahir dari kader-kader pemimpin yang bertaqwa dan mampu melahirkan masyarakat yang bertaqwa pula.

6) Lahirnya pemimpin yang baik, bukanlah sesuatu yang diikhtiarkan semata dalam bentuk proses kaderisasi, melainkan wajib melibatkan Rabbul ‘âlamîn dengan memohon kepadaNya (al-isti’ânah billâh).

Kepada Allah jualah kita memohon, semoga imâmul muttaqîn lahir di tengah-tengah kehidupan kita.

Sungguh tuduhan yang tidak berdasar, bila “wanita rumahan” atau “ibu rumah tangga” dianggap sebagai penghalang kebangkitan sebagaimana yang mereka dakwakan. (Lihat bantahan Muhammad Mahdi al-Istanbuly terkait hal ini, dalam Nisâ’ Haular Rasûl war Radd ‘alâ Muftariyâtil Mustasyriqîn, 1992: hlm. 369).

Lupakah kita, gerakan emansipasi wanita di beberapa negara mulai menunjukkan kegagalannya. Mereka ramai-ramai menuntut pulang ke rumah suaminya, mulai “sesak” dengan kemerosotan moral yang semakin mengalami titik nadir. Contohnya di Swedia, 100 ribu wanita melakukan demonstrasi dengan mengajukan petisi kepada pihak pemerintah terkait hal itu. (Lihat: Al-Qaradhawy, Marâkidzul Mar’ah Fil Hayâtil Islâmiyyah dalam Panduan Fiqih Perempuan, 2004: hlm. 90).

Dalam hal ini, do’a dan pendidikan yang begitu erat, jelas tertuang dalam ayat berikut ini: “Wakhfidh lahumâ janâhad dzulli minar rahmah wa qul Rabbirhamhumâ kamâ rabbayânî shagîran”; Dan rendahkanlah dirimu dengan kasih sayang di hadapan mereka berdua (orang tua), dan katakanlah ya Tuhanku sayangilah mereka berdua sebagaimana keduanya menyayangiku saat aku masih kecil.” (QS. Al-Isrâ/ 17: 24).

Bila dicermati, ayat ini banyak mengandung pelajaran yang sangat berharga dalam melahirkan fiqih pendidikan yang berbasiskan “pola asah, asih dan asuh” secara sekaligus. Di dalamnya mengandung ajaran yang sangat luhur dalam melahirkan manusia-manusia beradab. Adapun kandungan ajaran yang dimaksud adalah:

1) Ayat ini mengajarkan bagaimana seseorang dapat memuliakan orang tua dengan merendahkan diri di hadapan keduanya, sekaligus selalu mendo’akannya.

2) Kata Rabbi, merupakan kata permohonan dan sekaligus menjadi tujuan mengapa anak manusia harus dididik.

3) Untaian do’a ini menunjukkan bahwa “kasih sayang” merupakan unsur ruhani pendidikan dan pengajaran yang paling pokok.

4) Kalimat rabbayânî, menunjukkan kejelasan definitif dan proses dari pendidikan itu sendiri.

5) Kata shaghîran merupakan kata yang menunjukkan bahwa pendidikan harus dimulai sejak dini.

Untuk lebih jelasnya, dapat diuraikan dalam paparan masing-masing berikut ini:

Pertama; Mengisyaratkan, betapa orang tua (wâlidain) adalah guru terbaik dalam mengajarkan pokok-pokok adab. Sangatlah tepat bila dikatakan mereka itu guru pertama dan utama (madrasatul ûlâ wal aulâ).

Kedua; Menegaskan kejelasan tujuan pendidikan, bahwa mengenalkan nilai-nilai tauhîd merupakan target asasi mengenalkan para pembelajar kepada Rabbul ‘âlamîn yang menciptakan mereka. Sungguh tepat para ahli menyebutkan, fahaqîqatul ‘ilmi mâ tûshalul ma’lûm ilal ‘alîm, bahwa yang disebut hakikat ilmu itu menyampaikan apa yang diketahui (objek pengetahuan) kepada yang Maha tahu (subjek pengetahuan, yakni Al-‘Alîm yang menciptakan pengetahuan itu sendiri).

Ketiga; Mengajarkan bahwa ajaran kasih sayang (rahmah) merupakan unsur ruhani paling penting yang dapat melahirkan suasana belajar-mengajar lebih nyaman, khidmat dan semua yang terkait (orang tua murid, murid, penyelenggara pendidikan dan praktisi pendidikan) senyawa dalam keikhlasan mengawal pendidikan. Inilah yang selalu ditanamkan para tokoh pendidikan klasik khususnya (semisal Abu Hamid al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad atau Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Tuhfatul Wadûd bi Ahkâmil Maulûd). Menurut mereka, terjadinya koneksitas keberkahan dalam belajar akan terwujud apabila kasih sayang hadir dalam suasana tersebut.

Keempat; Menguraikan proses pendidikan sesuai dengan makna tarbiyah yang meliputi: tumbuh, berkembang dan membimbing. Artinya, dengan pendidikan inilah, manusia bisa tumbuh dan berkembang melalui bimbingan pembelajaran.

Kelima; Menekankan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa keemasan (golden age) dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran, di samping masa fithrah yang masih sangat original.

Disertai bimbingan do’a dan terus ikhtiar maksimal membersamai mereka, generasi Rabbâni senantiasa akan lahir di tengah-tengah kita dengan tidak memandang di zaman seperti apa kita berada (termasuk zaman corona di mana wabah tengah merajalela). Dengan “dirumahkannya” anak-anak kita, semoga menjadi perantara dan kesempatan berharga dalam membangun pembelajaran dan pendidikan secara bersama-sama. Âmîn yâ Rabbal ‘Âlamîn …
_____

*) Makalah ini ditulis oleh Pimpinan Pesantren Persatuan Islam No. 81 Cibatu Garut dalam rangka “Merawat Pembelajaran Merangkai Kebersamaan” sesama Guru, Managemen Sekolah, Orang Tua dan Peserta Didik.

Print Friendly, PDF & Email

2 Comments

  • Nining Kusniar

    Hikmah dibalik lockdown menjadikan kedekatan dg keluarga dan menyadarkan peran org tua sebagai pendidik utama dan pertama

  • Iqbal Rahmatika

    banyak pula yang mengeluh “anak dirumahkan” dalam belajar. mungkin karena keterbatasan ilmu orangtua maupun waktu yang tidak menentu karena pekerjaan orangtua. Namun untuk pribadi sendiri ini lebih baik, anak bisa kita kontrol, kita juga tahu sejauh mana pemahaman anak terhadap bidang studi disekolahnya. Wallahu A’lam bis Showaab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!