BAHAGIA ITU INDAH DAN SEDERHANA NAMUN TAK SEMUDAH KATA
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Membincangkan bahagia itu memang indah dan tampak sederhana, namun ternyata tidaklah mudah untuk bisa menggapainya. Bahagia itu terkait hasrat; ia bukan sesuatu yang bersifat fisik untuk bisa disentuh, melainkan getaran batin yang hanya bisa dirasa.
Sedari awal, manusia telah banyak bicara tentang bahagia dengan beragam variannya. Dalam belantara para filosof, di antaranya seorang Gorgias mengungkapkan, bahwa kebahagiaan seseorang terletak di dalam kemampuannya untuk mewujudkan apa yang ia inginkan, apapun bentuknya.
Namun, Plato menyanggahnya argumen demikian dengan memberikan sebuah analogi. Menurutnya, orang yang memuaskan keinginannya itu seperti orang yang menggaruk kulitnya, ketika terasa gatal, dan itu terasa nikmat serta memuaskan. Akan tetapi adakah orang di dunia ini yang mau menghabiskan hidupnya untuk menggaruk kulitnya terus menerus? Tentu saja tidak. Keinginan untuk menggaruk memang memuaskan, tetapi sifatnya sangatlah sementara.
Adapun Aristoteles, memiliki pandangan tambahan: “memang setiap orang perlu perencanaan di dalam hidupnya. Namun yang terpenting bukanlah perencanaan itu sendiri, melainkan tujuan akhir yang mengarahkan perencanaan itu. Tujuan itu mengatasi semua hasrat dan keinginan yang ada di dalam diri manusia. Setelah orang sampai pada tujuan itu, maka ia tidak lagi menginginkan apapun.” (Reza A. A Wattimena, Bahagia (Beberapa Pandangan), Rumahfilsafat, 05/04/2011).
Pemikir terkemuka Abu Hamid al-Ghazali, lebih mengkerucutkan pada muara kesimpulan, bahwa tingkatan kesenangan manusia itu berlabuh pada dua tingkatan; yakni ladzaat yaitu kepuasan, dan sa’aadah, yaitu kebahagiaan. Yang pertama lebih bersifat inderawi (material) dan sesaat , sedangkan yang kedua lebih bersifat non inderawi (baathini), alam rasa dan langgeng.
Seorang psikolog ternama Amerika Serikat Jean B. Rosenbaum, MD (Lahir 1927) dalam bukunya Practical Psychiatry : How to Use it in Daily Living menguraikan beberapa pendekatan dengan mendasarkan pola hidup bahagia pada pengertian pentingnya motivasi, mengelola harapan, dan kemampuan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dengan melihat ke dalam diri, pengendalian emosi, pemeliharaan mental, menghindari perilaku buruk, dan mencari berbagai sebab hidup tidak bahagia.
Sebagai seorang psikiater yang berupaya jujur terhadap pengetahuan yang digelutinya, menurutnya: “Bahagia tidak berada di ruang eksternal; seperti materi, status sosial atau kemampuan mendapatkan impian. Bahkan hal yang mudah didapatkan seperti menegak minuman alkohol, kecanduan seks atau mengasingkan diri juga tidak akan menjamin. Sebab urusan bahagia tak jauh dari urusan internal, pemikiran dan perasaan. Uang memang penting, tetapi menyandarkannya kepada uang adalah langkah yang keliru. Jika seseorang sangat memuja uang, ia harus mampu pula untuk mendapatkan pekerjaan yang tepat. Tanpa keseimbangan itu niscaya sulit terwujud, sama halnya dengan orang yang mendapatkan pekerjaan yang cocok tetapi tidak pernah menghasilkan uang.” (Lihat: Pintu Bahagia; Psikiatri untuk Kehidupan Sehari-hari, terj. Victor H. Damanik, editor Adib Musta’in, Nuansa Bandung, 2010)
Apa yang dibentangkan tersebut benar adanya, pengalaman yang dituturkan para cerdik pandai terdahulu, di mana mereka berkisah tentang makna kebahagiaan hakiki. Misalnya Ibnu Qayyim bercerita tentang gurunya: “Allah ‘azza wa jalla pasti mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih bahagia hidupnya daripada sang guru Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Padahal kehidupannya sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah dengan ujian dan penderitaan yang dialami di jalan Allah, yaitu berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuhnya. Namun bersamaan dengan itu semua, aku dapati sang guru termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajahnya yang bersinar kenikmatan hidup yang dirasakannya. Kami (murid-muridnya), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi guru untuk meminta nasihat, maka dengan hanya memandang wajahnya dan mendengarkan petuahnya, seketika hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sering menuturkan: “Apa yang diperbuat oleh musuh-musuhku terhadap diriku; Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya selalu ada di hatiku”. Demikian sang murid menuturkan dalam kitabnya Al-Waabilus Shayyib.
Jadi, memang benar dan sungguh sangat kita sadari. Bahagia itu indah dan sederhana, namun tidak semudah kata. “Kehidupan yang baik”, hanya akan Allah ‘azza wa jalla berikan kepada mereka yang sungguh-sungguh beramal shalih dan teguh dalam keimanan. Itulah hakikat kehidupan bahagia yang diidam-idamkan.
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl/ 16: 97)
*) Tulisan ini Al-Faqir goreskan di selepas Muhadharah ‘Ilmiyyah bersama para mahasantri Ma’had ‘Aly Al-Furqan Litahfiizhil Qur’aan Cibiuk Jl. Limbangan – Garut Jawa Barat (@Kamis, malam Jum’at, 25 Maret 2021)