KELUARGA BERMARTABAT GARDA PERADABAN MASA DEPAN
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Ada banyak contoh yang dibentangkan Allah ‘azza wa jalla dalam Al-Qur’an tentang beragamnya sifat dan karakter “keluarga” yang diperlihatkan oleh generasi masa lampau. Dan semua itu bukanlah cerita bualan yang mengada-ada [hadiitsan yuftaraa], melainkan kisah yang benar adanya.
Mulai dari model keluarga Fir’aun yang dirinya sangat ingkar, namun istrinya Asiyah binti Muzaahim merupakan wanita yang sangat memegang teguh rahasia ketauhidan [Lihat: QS. At-Tahriem/ 66: 11], dan berhasil merawat keberlangsungan hidupnya bayi Musa. Model keluarga Nabiyullaah Nuh dan Nabiyullaah Luth ‘alaihimas salaam yang gigih dalam berdakwah, namun anggota keluarganya justeru memperlihatkan pembangkangannya yang sangat nyata sampai Allah ‘azza wa jalla menggiringnya ke neraka jahanam [Lihat: QS At-Tahriem/ 66:10]. Model keluarga Nabiyullaah Ibrahim ‘alaihis salaam dan Nabiyullaah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mendapatkan dukungan keluarganya, sekalipun ada di antara saudara mereka yang menentang. Sosok keduanya merupakan hubungan datuk-cucu yang selalu disejajarkan dalam shalawatnya. Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad Kamaa shallaita ‘alaa Ibraahiim wa ‘alaa aali Ibraahim. Model keluarga Abu Lahab dan isterinya Ummu Jamil, di mana keduanya merupakan sejoli yang sangat merongrong kelancaran dakwah. [Lihat: QS. Al-Lahab/ 111: 1-5]. Dan masih ada model-model lain yang dapat diambil pelajaran.
Sebagai pengikut Nabi akhir zaman, ummatnya telah diingatkan akan pentingnya memperhatikan generasi di belakang mereka yang akan melanjutkan kehidupan sebagai pelanjut silsilah keturunan. Jangan sampai di kemudian hari, banyak melahirkan generasi yang minim kualitas [dzurriyyah dhi’aafan]. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فاليتقواالله وليقولوا قولا سديدا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka keturunan yang lemah, yang mereka khawatir terhadap [kesejahteraan] mereka. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa’/ 4: 09)
Dari ayat tersebut, ada banyak pelajaran berharga untuk direnungkan sebagai berikut:
Pertama; Kewaspadaan yang mengisyaratkan bahwa agama ini sangat memperhatikan nasib generasi yang akan datang. Baik bersifat anak-anak biologis, maupun anak-anak ideologis.
Kedua; Adanya generasi belakangan yang memiliki perbedaan; antara yang mampu mewarisi kebaikan masa lalu [khalafun] dan yang tidak mampu mewarisi kebaikan masa lalu [khalfun].
Ketiga; Adanya keturunan yang lemah, di mana nilai-nilai tarbiyah terabaikan; baik yang bersifat pendidikan agama dan etika [tarbiyah diiniyyah, tarbiyah tahdziibiyyah], serta pendidikan pertumbuhan jasmani [tarbiyah khalqiyyah].
Keempat; Adanya penegasan peringatan akan kekhawatiran munculnya generasi masa depan yang tidak sesuai harapan. Kalimat khaafuu ‘alaihim, “khawatir terhadap [kesejahteraan] mereka” menjadi penegas dari kalimat sebelumnya walyakhsya, “hendaklah merasa takut”. Menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
Kelima; Merupakan solusi terbaik, apabila taqwallaah dan qaulan sadiidan menjadi hiasan utama dalam mewujudkan generasi harapan. Bertakwa pada Allah ‘azza wa jalla dan bertutur kata yang benar [narasi proporsional] merupakan kata kunci yang mampu mengawalnya.
Semua itu mengisyaratkan bahwa dzurriyah dhi’aafan akan sirna dengan sendirinya, apabila rukun-rukun penyangganya terpenuhi. Terpeliharanya agama [hifzhud diin], terpeliharanya jiwa [hifzhun nafs], terpeliharanya akal [hifzhul ‘aql], terpeliharanya keturunan [hifzhun nasl, hifzhun nasab], dan terpeliharanya harta [hifzhul maal] sebagaimana dirumuskan para ahli ilmu semisal Imam As-Syathibi ini menjadi sandaran yang penting untuk diperhatikan.
Bukanlah tanpa alasan, pentingnya memperhatikan generasi ke depan agar tidak menjadi lemah, secara fiqih realita [fiqhul waaqi’] telah ditunjukkan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kasus pemberian washiyat, tidak lupa Rasul mengingatkan:
انك أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس
“Sesungguhnya engkau lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan meminta-minta pada orang lain.” (HR. Al-Bukhari, 2742 dan Muslim, 1628 dari shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anh)
Bertolak pada pandangan sebelumnya, dalam konteks nasional, pembahasan keluarga tidak lepas dari pembicaraan beragam fungsi yang bisa mendukung akan terwujudnya keluarga bermartabat seperti obyek bahasan yang tengah dikaji. Menurut Hasto Wardoyo sebagai Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional [BKKBN] sebagaimana dipetik peneliti Rihlah Romdoniah dari Lembaga Demografi UI. Menurutnya, ada delapan fungsi keluarga; fungsi agama, fungsi sosial-budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, serta fungsi lingkungan.
Beragam fungsi tadi, telah sejalan dengan rumusan UU No. 10 tahun 1992, tentang definisi ketahanan keluarga yang menjelaskan sebagai berikut: “Adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk mencapai keadaan harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Lebih rinci lagi dapat dibaca pada arah rencana strategis BKKBN 2020-2024, yang berbunyi berikut ini: “Yaitu meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga yang holistik dan integratif sesuai siklus hidup, serta menguatkan pembentukan karakter”.
Terlepas berbagai analisa dan rumusan-rumusan baru yang ditemukan, baik dalam skala global maupun lokal-nasional. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin telah berhasil mengawal kemanusiaan dengan segala varian kebutuhannya; etika, psikis, moral, nilai, estetika, dan lain-lainnya, telah sukses mengantarkan ummat manusia dari peradaban satu ke peradaban lainnya. Oleh karenanya, “keluarga” sebagai perahu kecil diharapkan mampu menjadi “garda depan” dalam menampilkan miniatur awwal “alphabet peradaban” [abjadiyyatul hadhaarah] masa depan. Sudah tentu, apabila setiap perahu-perahu kecil yang tidak diragukan lagi kualitasnya, maka secara berangsur-angsur akan berubah menjadi kapal besar yang diperhitungkan. Itulah makna lain dari hakikat shuuratun mushaggaratun ‘anil Islaam wa hikmatuhul asmaa; “miniatur cerminan Islam dan hikmahnya yang luhur” sebagaimana terucap dalam janji setia kita dalam perjuangan. Aquulu qaulii haadza wa astaghfirullah lii wa lakum
✍️ Goresan ini dipersembahkan pada acara “Shilaturrahim Syawwal 1443 H. dan Pembukaan Aktivitas” PW. PERSISTRI DKI Jakarta di aula Gedung Sekolah Ksatrya Jakarta Pusat.
MasyaaAlloh wa tabarokalloh
Alhamdulillah dapet mendengar langsung penjabaran materinya hari ini di Silaturahim PW Persistri DKI JAKARTA.
Materi nya daging semua, menjadi referensi dalam penyampaian.