Selasa, Juli 15MAU INSTITUTE
Shadow

PENGENTASAN KEMISKINAN TIDAK HARUS MENGORBANKAN ATURAN AGAMA (Saran Sederhana Anak Bangsa Untuk Umat dan Penguasa)

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Tingginya angka kemiskinan yang mendera suatu negeri, bisa terjadi karena banyak sebab. Keterbelakangan pendidikan, sempitnya lapangan kerja, merajalelanya penyalahgunaan amanah sebagian penguasa dan semakin meningkatnya pembayaran pajak yang harus dibayar masyarakat. Itulah yang sering dibahas para pengamat pada umumnya dengan menghubungkannya pada sumber daya alam yang dimilikinya.

Selain itu, banyak pula kalangan yang berpandangan bahwa kemiskinan identik dengan prilaku masyarakat semata, yakni mereka dinilai kurang memperhatikan pengaturan kelahiran hingga mengabaikan kesejahteraan dan pendidikan anak-anaknya. Alasan terakhir ini sangat logis dan bisa jadi ada benarnya, namun dirasa kurang tepat dan sangat paradoks apabila dihadapkan pada kenyataan bahwa negeri ini memiliki kekayaan yang melimpah, bahkan melekatkannya dengan jargon “gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja”.

Dalam pranata sosial Islam, “kemiskinan” bukanlah suatu keadaan yang dapat menghalangi kesejahteraan seseorang, melainkan suatu keadaan yang bisa memberikan peluang kemanusiaan bagi masyarakat lainnya. Tumbuhnya rasa simpati, empati dan peduli sesama manusia menjadi pertanda hidupnya nilai-nilai moral suatu masyarakat. Sinergi sosial yang terjadi antara kaum intelektual yang mumpuni [‘aalimul ‘ulamaa], penguasa yang adil [‘aadilul umaraa’], masyarakat baik yang rajin beribadah [‘ibaadatul ‘ubbaad], para saudagar yang amanah [amaanatut tujjaar] dan kaum profesional yang mengarahkan [nashiihatul muhtarifiin]. Semua itu akan menjadikan gemilangnya dunia yang teramat indah. Demikian Imam Fakhruddin ar-Razi [w. 606 H.] menarasikannya dengan “Lima hiasan dunia”.

Dengan demikian, kesenjangan antara orang-orang kaya yang dermawan [aghniyaa, muhsiniin] dengan orang-orang miskin yang ahli ibadah [masaakin, ‘ubbaad] tidak akan terjadi; Kalaulah di antara keduanya ada perbedaan, merupakan perkara yang telah dimaklumi adanya tanpa menghilangkan peran mulia keduanya. Orang kaya semakin bertambah mulia karena kekayaan yang diberdayakannya, orang miskin tetap mulia karena kesabaran, ketawakkalan dan keshalihan di tengah kemiskinan yang dialaminya.

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menuturkan dalam sabdanya:

ليس المسكين الذي يطوف على الناس ترده اللقمة واللقمتان، والتمرة والتمرتان. ولكن المسكين الذي لايجد غنيا يغنيه ولا يفطن فيتصدق عليه ولا يقوم فيسأل الناس

“Bukanlah orang miskin itu orang yang berkeliling dari satu manusia ke manusia lain, sehingga tertolak dari satu-dua biji kurma atau satu-dua suap makanan. Akan tetapi orang miskin itu adalah orang yang tidak menyadari kekayaannya dan tidak mengerti kemanakah harta yang ia miliki disedekahkan. Juga [yang disebut miskin] adalah orang yang tidak mau berusaha, maka ia pun meminta-minta kepada orang lain.” (HR. Al-Bukhari 1/ 375, Muslim 3/ 95 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh dalam Muhammad Nashiruddin al-Albani, Takhriij Ahaadiits Musykilatul Faqri wa Kaiyfa ‘Alajahal Islaam [Takhrij terhadap kitab Musykilatu Faqri Prof. Dr. Yusuf Qaradhawi], 1405: hlm. 45).

Dalam riwayat lain dikisahkan, ketika shahabat ‘Abdullah bin as-Syakhir radhiyallaahu ‘anh datang menghampiri Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau sedang membaca ayat Alhaakumut takaatsur. Kemudian bertutur dengan sabdanya:

يقول العيد: مالي وإنماله من ماله ثلاث ما أكل فأفنى أو لبس فأبلى أو أعطى فأقنى وما سوى ذلك فهو ذاهب وتاركه للناس

“Seorang hamba akan berkata: Oh hartaku! Padahal harta yang menjadi miliknya hanya tiga perkara saja; apa yang dimakan pasti habis, apa yang dipakai pasti hancur dan apa yang diberikan sebagai sedekah pasti kekal abadi. Adapun selain itu pasti sirna dan ditinggalkan untuk manusia lainnya.” (HR. Imam Muslim 8/ 211, Ibnu Hibban no. 2487 dan Imam Ahmad 2/ 368, 412 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh, Al-Albani, hlm. 72).

Dua berita nubuwwah tersebut, apabila direnungkan betapa kemiskinan tidak selamanya identik dengan “ketidak punyaan” seseorang, melainkan “kemandulan keinginan” pemilik harta untuk mengeluarkan sebagian hartanya kepada yang berhak menerima. Lebih dari itu, sungguh kaya-miskin bisa menjadi pasangan serasi dalam menyeimbangkan kehidupan manusia. Di dalamnya ada kedermawanan dan ketulusan sang pemberi, sekaligus ada kesejahteraan, keberkahan, kebahagiaan dan taburan do’a bagi sang penerima. Untuk terwujudnya suasana saling memberi kemanfaatan [istifaadah, simbiosis mutualisme] di antara keduanya, maka solusi pengentasan kemiskinan selayaknya harus bisa menghadirkan kemashlahatan yang lebih, bukan mendatangkan kemadharatan yang lebih berat.

Seiring perjalanan hidup manusia, kekhawatiran dan kesukaran untuk mendapatkan pangan menjadi latar belakang pentingnya mengurangi jumlah keturunan. Hal seperti ini, pernah ditempuh masyarakat jahiliyyah dengan cara membunuh anak bayinya sendiri, terlebih membunuh anak perempuan [wa’dul banaat]. Sementara di zaman sekarang, menggugurkan kandungan atau menjual bayi tersebut kepada orang lain menjadi perkara yang mulai dianggap biasa.

Dalam perkembangan berikutnya lebih sistemik lagi, bahwa mengatur besar kecilnya keluarga atau jumlah keturunan, juga menekan sedemikian rupa perkembangan lajunya penduduk dengan cara membatasi kelahiran manusia, menjadi trend dunia. Sejumlah tokoh seperti Thomas Robert Malthus [1766-1834] yang dikenal sebagai ahli kependudukan, Dr. Drysdale [1877] sebagai pengembang Malthusiasisme dan Charles Knowlton [1880] sebagai orang yang dianggap penulis pertama tentang cara-cara kontrasepsi hadir menyajikan berbagai gagasannya.

Secara teoritis, Thomas Robert Malthus mengatakan: “Berkembangnya jumlah umat manusia jauh lebih cepat dari pada perkembangan sumber-sumber alam, terutama bahan makanan. Manusia berkembang biak [fertility of man] menurut deret ukur 1-2-4-8-16-32 dan seterusnya, sedangkan perkembangan makanan [fertility of soil] menurut deret hitung 1-2-3-4-5-6 dan seterusnya. Hal itu harus diatasi secara preventif dengan mengadakan pembatasan kelahiran dengan cara manusia kawin pada usia lanjut.” (Lihat: Makalah K.H. Shiddiq Amien, Keluarga Berencana dalam Pandangan Islam, Sidang Dewan Hisbah PERSIS VIII di Ciganitri, 1994: hlm. 26-27).

Dengan semakin bergulirnya program ini, menjadi sesuatu yang sangat penting untuk mengetahui perbedaan antara mekanisme pemakaian kontrasepsi sekadar untuk pengaturan jarak lahir [tanzhiimun nasl] dengan pemakaian kontrasepsi yang menyebabkan pembatasan kelahiran [tahdiidun nasl]. Karenanya, para ulama kontemporer merespon masalah ini sebagai bagian dari fiqih nawaazil, yakni isu mutakhir yang membutuhkan jawaban kepastian hukum. Dalam memilah antara “mengatur jarak lahir” dengan “membatasi kelahiran” ini, maka konsekuensi hukumnya pun berbeda, terlebih pemandulan permanen. Mana yang dibolehkan dan mana yang dilarang? Yang pertama tidak menyebabkan bakal bayi terbunuh, sedangkan yang kedua menyebabkan bakal bayi terbunuh. Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahwa membunuh anak karena takut kelaparan termasuk dosa paling besar [a’zhamudz dzanbi]. (Lihat: HR. Al-Bukhari 4477 dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anh)

Pengaturan jarak lahir yang dibolehkan, memiliki beberapa alasan; Menghindari terjadinya keturunan yang lemah [Lauw tarakuu min khalfihim dzurriyyatan dhi’aafan, QS. 4: 9], mengantisipasi ketidak sempurnaan pemeliharaan kesehatan ibu dan anak dalam hal menyusui [Hamlaini kaamilaini liman araada an yutimmar radhaa’ah, QS. 2: 233], menjaga keselamatan serta menjauhi kebinasaan [Wa laa tulquu biaiydiikum ilaa at-tahlukah, QS. 2: 195], menjauhkan dari perkara-perkara yang menyebabkan terbunuhnya jiwa [Wa laa taqtuluu anfusakum, QS. 4: 29], dan mengambil resiko yang paling ringan madharatnya [kaidah irtikaabu akhafidh dharurain].

Sementara pembatasan kelahiran yang dapat mencegah kehamilan dan mengakibatkan kemandulan, secara umum disebabkan adanya larangan membunuh anak dikarenakan kemiskinan yang dialami [Wa laa taqtuluu auwlaadakum min imlaaqin, QS. 6: 151] dan adanya larangan membunuh anak dikarenakan khawatir jatuh miskin [Wa laa taqtuluu auwlaadakum khasyyata imlaaqin, QS. 17: 31]. Kedua ayat ini terdapat sedikit perbedaan; Yang pertama, melenyapkan nyawa yang telah lahir karena deraan kemiskinan yang telah terjadi. Yang kedua, melenyapkan nyawa yang belum lahir karena takut kemiskinan akan menimpa kelak. Al-Hafizh Ibnu Katsir menuturkan: “Yaitu, janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena kefaqiran yang kalian alami sekarang. Sedangkan yang berikutnya, janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena kalian takut faqir di masa mendatang.” (Lihat: Tafsiir al-Qur’aanil ‘Azhiim, 3/ 362)

Dengan pemetaan yang telah diuraikan, para fuqaha dan ilmuwan memberikan hasil temuannya bahwa dalam pemakaian kontrasepsi sebagai cara dan media pengendalian kelahiran penduduk bumi terdapat dua kategori; Media kontrasepsi yang tidak terlarang dan media kontrasepsi yang dilarang. Dalam salah satu kesimpulan yang ditulis Dr. Thariq bin Muhammad At-Thawari [Dosen Fakultas Syari’ah dan Studi Islam Universitas Kuwait], dijelaskan: “Pasangan suami istri, boleh menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang dapat mencegah kehamilan secara berkala dan bukan untuk selamanya. Penggunaan alat-alat kontrasepsi modern, tergantung pada standar mashlahat. Kalau di sana ada unsur bahaya [walaupun hanya dalam tahapan prasangka], maka tidak boleh. Tetapi kalau ia tidak mengakibatkan bahaya apa pun, hukum menggunakannya adalah boleh tetapi bersifat sementara, insidental dan bukan permanen.” (Lihat: Al-‘Azlu ‘anil mar’ah; Diraasatan Syar’iyyatan wa Thibbiyyatan [terj.: KB Cara Islam oleh Sarwedi M. Amin Hasibuan], 2007, hlm. 128)

Untuk mengetahui cara dan media apa saja yang tidak terlarang, antara lain: cara ‘azl [menumpahkan sperma di luar] sebagaimana pernah dilakukan para shahabat Nabi ridhwaanullaah ‘alaihim, pantang berkala [rhytm method], cream/ jelly, vaginal tablet, kondom, pil, suntikan dan AKBK [Alat Kontrasepsi Bawah Kulit]. Sedangkan cara dan media kontrasepsi yang terlarang adalah: IUD [Intra Uteria Device], sterilisasi [vasektomi, tubektomi], aborsi dan menstrual regulation. (Lihat: Hasil Keputusan Dewan Hisbah Persatuan Islam VIII, tahun 1994)

Dalam buku Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdhatul Ulama [1926-2004] dinukilkan penjelasan Ibnu ‘Abdis Salam dan Ibnu Yunus dalam Talkhiishul Muraad yang mengatakan: “Tidak halal bagi wanita mempergunakan obat pencegah kehamilan, walaupun dengan ridha suami”. Sementara dalam kitab I’aanatut Thaalibiin disebutkan: “Haram penggunaan apapun yang dapat mencegah kehamilan.” (Lihat: Ahkaamul Fuqahaa; Fii Muqarraraat Mu’tamaraat Nahdhatul ‘Ulamaa, 2007, Fatwa no. 231, hlm. 210)

Khusus dalam hal keharaman vasektomi dan tubektomi, temuan dan riset tersebut telah difatwakan oleh Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia [MUI] tahun 1979 dan ditegaskan kembali keharamannya melalui Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia III tahun 2009. Selain itu, sebelumnya Muktamar Majma’ul Buhuuts al-Islaamiyyah ke-2 di Cairo tahun 1965, Al-Majlis At-Ta’sisi Li Raabithah al-‘Aalam al-Islaami dalam putusan Daurah ke-16, Hai’ah Kibaaril ‘Ulama KSA tahun 1396 H. dalam putusan ke-42, dan Majlisul Majma’ al-Fiqh al-Islaami dalam putusan Daurah ke-3; Semuanya menegaskan bahwa apapun bentuknya, cara dan penggunaan media yang mengarah kepada “pembatasan keturunan” [tahdiidun nasl] itu terlarang.

Beberapa alasan yang dikemukakan adalah: Memperbanyak turunan merupakan anjuran dalam agama, membatasi dengan sengaja [tanpa alasan syar’i] menunjukkan penentangan terhadap agama dan hak kemanusiaan, melakukannya berarti merusak fithrah manusia, serta mempraktekannya karena alasan kemiskinan sama dengan meragukan bahwa Allah ‘azza wa jalla itu Maha pemberi rezeki dan Maha kuat. Bahkan sebagian putusan, menghubungkannya dengan konspirasi penurunan jumlah Muslimin di negerinya. (Lihat: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Thuraiqi, Tanzhiimun Nasli wa Mauwqifus Syarii’ah al-Islaamiyyah, 1410 H., hlm. 570-574).

Sebagai penutup, dengan paparan sederhana ini, bisa disimpulkan bahwa ledakan jumlah penduduk dan pengentasan kemiskinan tidak harus mengorbankan aturan agama. Kalaulah Keluarga Berencana [family planning] itu harus kembali dihidupkan sebagaimana amanat UU RI No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, terdapat Pasal 17 ayat 2 yang menjelaskan: “Penyelenggaraan pengaturan kelahiran dapat dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan dari segi kesehatan, etika dan agama yang dianut penduduk yang bersangkutan”. Maka dalam konteks bahasan kita, itu artinya selain vasektomi masih banyak cara lain yang dapat dijadikan solusi dan alternatif yang lebih tepat untuk digunakan.

Islam sebagai agama yang paripurna, telah menuntun kehidupan manusia dengan sesuatu cara yang sangat baik [mashlahah], mengapa harus memilih cara yang tidak baik/ rusak [ghair mashlahah, mafsadah]? Kemiskinan memang madharat, namun membatasi kelahiran yang menyebabkan kemandulan permanen jauh lebih madharat. Para ulama ushul fiqih menuturkan Adh dhararu laa luzaalu bidh dhararil asyadd; “Kemadharatan tidak bisa dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih madharat”. Semoga Allah ‘azza wa jalla senantiasa menjadikan kita sebagai hamba-Nya dan anak bangsa yang senantiasa mencintai kemashlahatan. Wa maa min daabbatin illaa ‘alallaahi rizquhaa


*) Goresan ini disajikan oleh Ketua Komisi ‘Aqidah Dewan Hisbah Persatuan Islam sebagai bahan diskusi dalam Mubaahatsah Bidang Kajian dan Fatwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di Aula gedung Menara Dakwah Jl. Kramat Raya 45 Jakarta Pusat.

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!