RUUHUL JIHAAD; ‘IBRAH MENUMBUHKAN GHAIRAH AKTIVIS SHAHABAT RASUL
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Kita mulai dengan penggalan qisshah aktivis mujaahid shahaabat
‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu ‘anh yang menuturkan ceritanya, menurutnya: “Aku pernah berada di suatu barisan dalam perang Badar, tiba-tiba dari samping kanan dan samping kiri ada dua anak muda. Aku merasa tidak begitu nyaman dari keduanya, tiba-tiba salah satu dari keduanya berbisik padaku dengan merahasiakannya dari orang lain. Wahai paman, perlihatkanlah padaku yang mana Abu Jahal itu? Saya pun (kata ‘Abdurrahman) spontan menjawab: Wahai anak saudaraku, apa yang akan engkau lakukan kepadanya? Ia menjawab: Saya telah berjanji kepada Allah, jika saya melihatnya, maka saya akan membunuhnya atau saya mati untuk itu. Demikian anak muda yang satunya lagi berkata kepadaku dengan catatan harus merahasiakannya seperti anak muda yang pertama. Lalu aku (‘Abdurrahman) bergumam: Aku belum pernah merasa gembira berada di antara dua laki-laki, kecuali dengan anak-anak muda itu. Kemudian, aku tunjukkan Abu Jahal kepada keduanya. Keduanya pun langsung menyerang Abu Jahal seperti dua ekor burung elang menyergap mangsanya hingga keduanya memukul Abu Jahal dengan pedang.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab Al-Maghaazi).
Seperti itulah tindakan anak-anak muda di masa Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menyikapi orang-orang yang memusuhi Allah dan RasulNya. Sikap ini tentu saja bukan tanpa alasan, mengingat Abu Jahal sudah dikenal kebencian dan permusuhannya kepada da’wah Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Semua itu tidak lepas dari keberhasilan beliau dalam memotivasi semangat para anak muda di zamannya. Adapun dua anak muda yang dimaksud adalah Mu’adz bin ‘Amr bin Jamuh dan Mu’adz bin ‘Afra` sebagaimana diterangkan Imam Badrul A’laam Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullaah dalam Mukhtashar Sieratir Rasuul (Lihat: Bab Dzikru Maqtali ‘Aduwwillaah Abu Jahl, 1417: hlm. 236).
Lain lagi dengan Khaitsamah Abu Sa’ad bin Khaitsamah, seorang laki-laki tua yang menyesali dirinya karena tidak terlibat perang Badar. Ia berkata kepada Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam ketika bermusyawarah di perang Uhud: “Wahai Rasulullaah, perang Badar telah lewat dariku, padahal aku sangat menginginkannya. Keinginan itu sampai-sampai mendorongku melakukan undian dengan anakku, dan anakkulah yang keluar hingga ia diberi anugerah syahaadah (yakni mati syahid). Semalam aku bermimpi melihat anakku dalam keadaan yang paling mempesona, berkeliling di antara buah-buahan surga, sungguh kutemukan apa yang dijanjikan Tuhanku itu benar. Demi Allah wahai Rasulullaah, aku menjadi rindu untuk menemaninya di surga. Usiaku telah lanjut dan tulangku telah rapuh, namun aku ingin berjumpa Tuhanku, doakanlah untukku agar Dia memberiku syahadah dan dapat menemani anakku (yakni Sa’ad) di surga. Rasulullaah pun mendo’akannya, dan ia pun gugur di perang Uhud.” (Dinukilkan dari Al-Waaqidi dalam Manhajur Rasuul fie Gharsi Ruuhil Jihaad fie Nufuusi Ashhaabih, Sayyid Muhammad Nuh, 1412: hlm. 6).
Demikian pula apa yang dialami laki-laki tua ‘Amr bin Jamuh, Khalid bin Walid yang merindukan syahid dan Abi Thalhah yang hatinya langsung bergolak ketika membaca ayat: “Infiruu khifaafan wa tsiqaalan.”, artinya: “Berangkatlah kalian berperang, baik dalam keadaan lapang atau sempit” (QS. At-Taubah/ 9 : 41).
Hal serupa dialami pula oleh para shahabiyyah, yakni para wanita shahabat yang gugur di medan perang. Di antara nama-nama itu adalah Sumayyah binti Khayyath (wanita syahidah pertama), Asma’ binti Yazied bin Sakan (juru bicara kaum wanita), Ummu Sulaim binti Malhan (wanita da’iyyah, pahlawan perang Hunain), Ummu Haram binti Malhan (wanita yang syahid di laut), Ummu Waraqah (wanita yang mendapat gelar Asy Syahidah), Al-Khansa (ibunda para syuhada), Ummu ‘Imaarah (pahlawan wanita) dan lain-lainnya. (Lihat: Muhammad Mahdi al-Istanbuly dalam Nisaa` Haulal Rasuul: 1413).
Tidak ketinggalan pula, ada di antara mereka usia kanak-kanak (masih bocah), seperti ‘Umair bin Waqqash yang “merengek” nangis karena ingin ikut berjihad, hal ini diceritakan saudaranya Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anh : “Saya melihat saudaraku ‘Umair bersembunyi sebelum Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam memeriksa kami untuk pergi ke Badar.” Lalu aku menanyainya: “Ada apa denganmu wahai saudaraku?” Ia menjawab: “Saya takut Rasulullaah melihatku dan menganggapku masih kecil kemudian beliau melarangku pergi, padahal aku ingin pergi ke Badar, siapa tahu Allah menganugerahiku syahadah.” Sa’ad berkata: “Kemudian dia dilaporkan kepada Rasulullaah, ternyata beliau menganggapnya masih kecil.” Lalu beliau berkata: “Kembalilah!” ‘Umair pun menangis, kemudian Rasulullaah akhirnya memberinya izin pergi ke Badar. Sa’ad berkata: “Maka akulah yang menata gantungan-gantungan pedangnya, karena ia masih kecil. Akhirnya ia pun gugur di Badar dalam usia 16 tahun, dibunuh oleh ‘Amr bin Wud.” (Thabaqat Ibnu Sa’ad dalam Sayyid Muhammad Nuh, 1412: hlm. 8).
Menggapai Puncak Ketinggian Islam
Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para shahabatnya: “Inginkah aku beritahukan kepadamu tentang pokok amalan, tiangnya dan puncak ketinggiannya?” (Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anh) menjawab: “Tentu saja wahai Rasulullaah”, maka beliau pun bersabda: “Pokok amalan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak tertingginya adalah jihad.” (HR. At-Tirmidzi, berkata Al-Albani dalam Al-Irwaa sanadnya hasan).
Itulah yang membuat para shahabat berlomba-lomba untuk memburunya. Betapa tidak, jihad merupakan amalan tertinggi dalam urusan agama dikarenakan jihad meninggikan kalimat Allah untuk menampakkan keagungan Islam di atas semua agama, menghinakan pendukung kebatilan dari orang-orang munafiq dan para pengkhianat Yahudi dan Nashara. Oleh karena itu, Imam Ahmad bin Hanbal menyebutnya dengan Afdhalul a’mal ba’dal faraa`idh, yaitu “Seutama-utamanya amal setelah kewajiban-kewajiban pokok.” (Nazhim Muhammad Sulthan, Qawaa’id wa Fawaa`id Minal Arba’ien an-Nawawiyyah, 1408: hlm. 260).
Semua itu tidak lepas dari keteladanan pemimpin besar kaum Muslimin, yaitu Nabi akhir zaman Muhammad shalallaahu ‘alahi wa sallam yang mengajarkan keberanian, semangat pembelaan dan ketangkasan di samping kelembutan. Rasulullaah senang menunggang kuda dan berlomba, menasihatkan agar belajar teknik dan strategi berperang (al- funuunul harbiyyah) serta melempar anak panah. Beliau susun kekuatan angkatan perang (lajnatul mujaahidien) bukan untuk kepentingan penjajahan (isti’maariyyah), melainkan untuk membela da’wah Islam (himaayatud da’wah), membebaskan kaum tertindas (ad-dhu’afaa`), tersebarnya keadilan universal dan terhinanya kebatilan dan beliau pun ajarkan sikap dan jiwa kepahlawanan di medan tempur. Seorang orientalis Barat, Gustav Le Bonn menilai: “Bahwa Rasulullaah adalah orang yang pandai dalam strategi spionase dan rahasia-rahasia peperangan.” (Lihat: As-Suyuuthi, Al-Baahah Fie Fadhlis Sibaahah wa Yaliehis Simah Fie Akhbaarir Rimaah (terj. 2015) dan Bi`tsatul Musthafaa Qabasun Minas Sierah an-Nabawiyyah, tp. thn: hlm. 29).
Banyak para penulis yang melukiskan, betapa Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam benar-benar sangat piawai dalam berstrategi, di antaranya Yahya bin Abdillah as-Sanafi dalam Al-Istiraatijiyyat al-Askariyyaat Lis Sarayaa ar-Rasuulil Qaa’id; Strategi Militer Rasulullaah Sang Panglima (2003) dan Muhammad Asy Syafi’i dalam Mukhaabaraat Daulatir Rasuul; Spionase dan Strategi Perang Rasulullaah (2003). Untuk membuktikan betapa Rasulullaah sangat berpengalaman dalam peperangan dapat dilihat dari informasi yang dituliskan Imam Ibnu Katsier dalam Al-Fushuul fie Sieratir Rasuul, bahwa peperangan beliau menurut hadits ‘Abdullah bin Buraidah bin al Hashib al-Aslami dari ayahnya yang diriwayatkan Imam Muslim sebanyak 19 kali dan delapan kali di antaranya disertai pertempuran. Sementara Imam Al-Bukhari melaporkan dari Zaid bin Arqam radhiyalaahu ‘anh dengan jumlah yang sama. Adapun Muhammad bin Ishaq menyebutkan 27 kali, sementara ekspedisi pasukan yang pernah beliau kirim, 38 kali. Yang jelas menurut Ibnu Hisyam jumlah ekspedisi dan pengutusan lebih banyak dari yang disebutkan Ibnu Ishaq. (Al-Hafîzh Ibnu Katsier, Sejarah Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam, tp. thn: hlm. 171).
Pendapat lainnya, Ali Ahmad al-Kaafuri dalam kitabnya Ghazwatu Badril Kubraa fie Qadhaaya Mu’aasharah (1410) menyebutkan bahwa peperangan yang langsung dipimpin Rasulullaah sebanyak 27 kali.
Keistimewaan di Balik Kaderisasi
Satu hal yang menjadi keistimewaan kaderisasi jihad Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam, selalu menekankan kebersihan niat “Li`i’laai kalimatillaah hiyal ‘ulyaa”, yakni meninggikan kalimat Allah yang Maha Tinggi dengan keyakinan akan adanya kehidupan yang lebih baik di negeri akhirat. Mengingat sangat mahalnya kehidupan yang lebih baik itu (QS. Al-Baqarah/ 2 : 154 dan Ali ‘Imraan/ 3 : 169), maka tidak henti-hentinya Rasulullaah selalu menasihatkan para pasukan dan para panglimanya agar memelihara ketaqwaan kepada Allah ‘azza wa jalla, memperhatikan etika perang, tidak boleh berlebihan dalam membunuh, tidak membabi buta dan merusak dalam bertindak, serta selalu memudahkan sehingga peperangan yang terjadi benar-benar jihad yang suci (jihaadan maqdisan) yang bersih dari kotoran-kotoran jahiliyyah. (Lihat: Shafiyyur Rahmaan al-Mubaarakfuri, Ar-Rahiequl Makhtuum, 1421: hlm. 531).
Sekedar gambaran kehidupan dimaksud, Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menuturkan: “Sesungguhnya arwah para syuhada itu terdapat dalam perut-perut burung berwarna hijau, mereka mempunyai sarang-sarang yang bergantung di ‘arsy, bersuka ria di surga sesuka hatinya, mereka tinggal di sarang-sarang itu, kemudian Rabb mereka menengoknya, lantas bertanya: Apakah kalian menginginkan sesuatu? Mereka balik bertanya: Apalagi yang kami inginkan, sedangkan kami bersuka ria di surga ini sesuka hati kami? Rabb mereka bertanya sampai tiga kali. Ketika mereka mengerti bahwa mereka tidak mungkin dibiarkan sebelum meminta, maka mereka berkata: Ya Rabbi, kami ingin agar Engkau mengembalikan nyawa kami ke jasad kami, sehingga kami bisa terbunuh kembali di jalanMu. Ketika Rabb mereka melihat bahwa mereka tidak membutuhkan apa-apa lagi, maka mereka pun dibiarkan.” (Shahih Muslim dalam Tafsier Ibnu Katsir, 1421: 1/ 279).
Lebih dari itu, ada tujuh keutamaan yang Allah berikan kepada para syuhada, yaitu: diampuninya dosa semenjak tetesan darah pertama menetes, melihat tempat kediamannya di surga, dikenakannya pakaian iman, dinikahkan dengan tujuh puluh dua bidadari, diselamatkannya dari adzab kubur, dianugerahkan pada kepalanya mahkota waqar yaitu permata yang lebih dari pada dunia dan seisinya, serta akan diizinkan memberi syafa’at kepada tujuh puluh orang anggota keluarganya. (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Untuk lebih luasnya pengetahuan bagaimana mulianya orang yang mati syahid, dapat dibaca dalam kitab Fadhlul Jihaad Fie Sabielillaah karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Hukmul Jihaad karya Ibrahim bin ‘Abdur Rahiem al-Hudhri.
Dengan motivasi yang terukirkan dalam sejarah itu, tidak sekedar motivasi tanpa berbuat, namun Rasulullaah pun memberikan ketauladanan langsung (al-uswah wal qudwah), turun langsung ke medan, melakukan tahapan-tahapan (marhaliyyah wa tadarruj), melakukan variasi pendidikan yang berkesinambungan (tanwi’ ma’at ta’ahhud al mustamir) dan melaksanakan janji setia terhadap perjuangan (al-bai’ah auw al ‘ahd). Semua itu dilakukannya, dalam rangka membangkitkan dan menumbuhkan ruuhul jihaad para shahabat sebagai anggota jama’ahnya.
Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan kelapangan kepada kita, untuk dapat mengambil pelajaran berharga dari perjalanan para pejuang terdahulu, terlebih generasi emas di masa kenabian. Fa’tabiruu yaa ulil abshaar … Wallaahu a’lamu bis shawwaab.
_____
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta