KAJIAN ZHUHUR MASJID WADHHAH ABDURRAHMAN AL-BAHR PUSDIKLAT DEWAN DA’WAH
KUTAIBAT: Ad-Dînus Samâwy Huwal Islâm Karya Dr. Abdul Azîz bin Abdillâh al-Humaidy (Bagian ke-4)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Fikratut Taqrîb Bainal Adyân wa Kamâlur Risâlah al-Khâtimah
Setelah penulis buku kecil ini (Syaikh Abdul Azîz bin Abdillâh al-Humaidy rahimahullâh) memaparkan latar belakang mengapa beliau menuliskan goresan pena yang ringkas ini, dilanjutkan pembahasan terkait bahwa Islam adalah sejatinya ad-dîn, beliau pun menguraikan dengan jelas bahwa Islam merupakan agamanya seluruh para Nabi dan Rasul. Selain itu, penulis pun menegaskan, para Nabi dan Rasul memiliki agama yang sama (yakni al-Islâm) sekalipun tata cara bagaimana mereka beribadah (syarâ’i) berbeda-beda.
Sebagai bahasan pamungkas, ada beberapa kesimpulan berharga yang patut direnungkan dan layak diperhatikan secara seksama. Butiran-butiran yang dimaksud adalah:
Pertama; Ide penyatuan agama-agama dan seruan melakukan pendekatan-pendekatannya atas nama agama-agama samawy, merupakan ide yang sangat salah sejak awal. Islam sebagai satu-satunya agama samawy tidak dapat dicampurkan dengan agama lainnya. Mengharapkan kesepakatan untuk saling “membenarkan” satu sama lain, menjadi sesuatu yang tidak mungkin dilakukan untuk selamanya.
Kedua: Perbedaan yang sangat menonjol, antara agama yang benar-benar terlahir atas kehendak yang Maha pencipta, yaitu agama Allah (ad-dînul ilâhy) dengan agama-agama yang terlahir dari karya fikir manusia (shun’ul basyar). Al-Qur’an memberikan informasi, mereka yang merubah ajaran Nabiyullâh Mûsa dan Nabiyullâh ‘Isa ‘alaihimas salâm hingga menyebabkan ajaran kedua Nabi tersebut berbeda dengan yang diajarkan para penyimpangnya itu (yakni Yahudi dan Nashara). Memaksakan adanya pendekatan persamaan di antara agama Al-Khâliq dengan agama hasil karya makhlûq hal yang tidak elok untuk diperbandingkan.
Ketiga; Penamaan ad-dînus samâwy yang dinisbatkan pada agama-agama penyembah berhala (watsany, ashnâmy) sangatlah tidak tepat. Kalau pun harus menggunakan kata yang pantas dengan dîn saja, maka di situ pun harus ada penyeimbangnya. Allah ‘azza wa jalla menyebutkan dalam kalamNya: Lakum dînukum wa liya dîn; “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kâfirûn/ 109: 6).
Demikian pula, Allah ‘azza wa jalla kisahkan terkait Fir’aun yang memberikan warning kepada rakyatnya agar tidak berpindah pengabdian (dari menyembah dirinya menjadi menyembah Tuhan Musa). Fir’aun menyerukan: Innî akhâfu an yubaddila dînakum, “Sesungguhnya aku sangat khawatir bahwa Musa akan mengganti agama kalian …” (QS. Ghâfir/ 40: 26).
Keempat; Istilah “satu kalimat yang sama” (kalimatin sawâin) yang tertulis dalam QS. Âlu ‘Imrân/ 3: 64, di mana Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam diperintahkan agar menyeru ahlul kitâb menuju kalimat yang sama, maksudnya menuju tauhîd sebagai ashlud dîn sebagaimana diajarkan Nabi-nabi mereka hingga Nabi akhir zaman (bukan mencari titik temu yang dipaksakan antara agama tauhîd dengan agama yang bukan tauhîd seperti yang banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas pluralis, liberalis dan nativis sekarang ini). Inilah yang pernah dilakukan Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam ketika berkirim surat kepada pembesar Negeri Romawi Hiraclius dan lainnya.
Kelima; Dengan turunnya ayat QS. Al-Mâidah/ 5: 3 yang mengabarkan: “Hari ini Aku sempurnakan agama untuk kalian dan Aku penuhi nikmatKu untuk kalian, serta Aku ridha bahwa Islam sebagai agama untuk kalian.” Itu menunjukkan pengertian, siapa pun yang menyerukan bahwa manusia membutuhkan “petunjuk baru” selain kitâbullâh dan sunnah nabiNya, berarti itu adalah kesesatan (dhâll) dan penyerunya merupakan pengumbar hawa nafsu yang rusak (shâhibu hawan fâsidin) dan mereka adalah orang-orang yang menginginkan kehancuran Islam sebagai agama yang diridhaiNya.
Keenam; Al-Qur’ânul Karîm merupakan kitab yang terjaga sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Hijr/ 15: 9 yang menuturkan: “Sesungguhnya Kami, Kamilah yang menurunkan kitab peringatan ini (Al-Qur’ân) dan Kami pula yang menjaganya.” Semua ini menegaskan, bahwa tidak semata-mata Allah ‘azza wa jalla menurunkan kitabNya, melainkan dengan penjagaanNya melalui cara-cara yang dikehendakiNya. Selain Allah turunkan Rasûlullâh, Allah pun melahirkan para pewaris rasulNya, yakni para ulama yang dengan semua disiplin ilmunya (tafsîr dan ushûlut tafsîr, hadîts dan ushûlul hadîts, fiqih dan ushûlul fiqh, nahwu dan sharaf, serta balâghah dan lain-lainnya) akan senantiasa menjaga, merawat dan membentenginya dari berbagai upaya yang akan menyimpangkannya. Karenanya, bumi ini tidak akan pernah sepi dari kemunculan para penegak kebenaran (zhâhirîna ‘alal haq), di mana mereka akan selalu hadir di setiap zaman. Benar apa yang disabdakan Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam yang mengabarkan: “Akan senantiasa ada di antara ummatku, ummat yang menyerukan kebenaran; mereka tidak pedulikan orang-orang yang menyelisihi dan memadharatkannya, (terus mengibarkan al-haq) hingga datangnya hari qiamat.” (HR. Bukhâri dan Muslim)
Sebagai kata simpul dari bahasan ringkas ini adalah: “Aqidah Islam merupakan satu-satunya keyakinan yang benar, karena Islam itu adalah satu-satunya agama yang benar (‘aqîdatunal Islâmiyyah hiya al-‘aqîdah as-shahîhah wa annahâ hiya ad-dînul haq). Adapun keyakinan-keyakinan lain selainnya (di seluruh jagat ini) adalah keyakinan yang bâthil, karenanya tidak sebanding apabila ada berbagai macam upaya untuk membanding-bandingkan dan “mendekat-dekatkannya” (muqâranah/ comparatif, taqrîb). Sebagai satu-satunya agama tauhîd yang paling berhak menisbatkan dirinya pada Allah, maka keimanan seorang Muslim akan agamanya menjadi pijakan dasar dalam memunculkan cita rasa kebanggaan, kemuliaan, kewibawaan, kegagahan (‘izzah) dan menjadi dorongan yang kuat untuk lebih mampu memelihara (himâyah), menjaga dan membentenginya (difâan) serta semangat mendakwahkannya.”
Dengan selesainya bahasan ringkas ini, semoga Rabbul ‘Âlamîn semakin mengokohkan tauhîd kita dan memberikan kekuatan untuk senantiasa menjaga dan memeliharanya sebagaimana pesan terakhir dari risâlah kutaibat ini. Wallâhu a’lam bis shawwâb
_____________
✍ *) Alhamdu lillâh, bahasan ini merupakan bagian terakhir sebagai kuliah ‘Aqîdah dan Manhaj Madrasah Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Da’wah yang diambil dari kutaibat yang mulia ini ***