AHLUL QIBLAT DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI ISLAM
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Seiring dengan semakin gegap gempitanya berbagai kajian ke-Islaman dan maraknya majlis ilmu; baik yang bersipat tabligh, taklim, tadrieb, daurah intensif, hingga tafaqquh, tentu patut disyukuri. Di samping anugerah dari Allah ‘azza wa jalla, juga merupakan pertanda bahwa rambu-rambu kesadaran (ma’aalimul inshaaf) itu tengah menyala menyinarkan harapan kebangkitan kepahaman akan pentingnya ajaran agama (as-shahwah bil fiqhi fied Diin). Meminjam bahasa Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. ‘Abdul Kariem al-‘Aql (Guru Besar Ushuuluddin Universitas Al-Imam Riyadh): “Untuk menyokong kebangkitan Islam (as-shahwah al-Islaamiyyah), mengandalkan semangat semata tidaklah cukup tanpa diiringi dengan kebangkitan kepahaman terhadap ajaran agama”.
Dalam prakteknya di lapangan, merupakan hal yang wajar apabila masih banyak terjadi sesama penuntut ilmu adanya silang pandangan yang terkadang mengganggu suasana kekhusuan dan persaudaraan yang mestinya dibangun. Semua itu terjadi, lebih disebabkan karena berbedanya latar belakang pendidikan, pergaulan, jam terbang dan model/ gaya menuntut ilmu dan komunikasi yang dibangun masing-masingnya dengan metode dan pendekatan guru-murid yang tidak sama.
Di antaranya, dalam memahami “ahlul qiblat”, siapakah mereka sesungguhnya?. Memahami hal ini menjadi sangat penting, dikarenakan banyak sekali masalah-masalah dalam beragama yang menyebabkan seseorang menilai saudaranya sesama Muslim dengan penilaian yang berlebihan hanya dikarenakan berbeda majlis, halaqah atau yang semisalnya. Untuk lebih menurunkan tensi kerawanan itu, maka menghadirkan istilah ahlul qiblat ini dapat menjadi solusi, sekalipun tidak maksimal dan masih terbukanya peluang-peluang penafsiran.
Apabila dikembalikan pada makna asalnya, qiblat mengandung arti muqaabalat; berhadapan, atau muwaajahat; tatap muka. Demikian pula dengan jihat atau syathrah, artinya: arah yang dituju. Para ulama tafsir dan hadits memberikan paparan yang menunjukkan bahwa qiblat bisa bermakna “tempat shalat” sebagaimana diisyaratkan Allah ‘azza wa jalla kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam dan saudaranya untuk menuju ke suatu tempat dan membangun rumah di Mesir (Lihat QS. Yunus/10: 87). Maka secara fiqih, para ulama menyebutkan bahwa: “Qiblat adalah tempat, di mana kaum Muslimin mengarahkan wajahnya ke satu titik tempat, yaitu ka’bah musyarrafah yang ada di tengah-tengah Masjidil Haram”.
Adapun orang yang menghadapkan dirinya ke ka’bah sebagai qiblat dengan penuh iman (khususnya dalam shalat), maka dirinya disebut ahlul qiblat. Menghadap qiblat dengan iman, menjadi tanda ke-Islaman seseorang. Disebut ahlul qiblat, berarti dia seorang Muslim.
Sebagaimana Imam Thahawy menuturkan: “Yang dimaksud ahlul qiblat, mereka yang menyeru pada Islam, mengarahkan qiblatnya ke ka’bah, sekalipun mereka pengikut hawa nafsu (ahlul ahwa) atau pelaku maksiat (ahlul ma’aashi) selama tidak mendustakan apa yang dibawa Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam”. Artinya, selama seseorang itu menghadapkan mukanya ke qiblat dan menjalankan prinsip-prinsip ajaran Islam sekalipun tidak sempurna (karena perbuatan dosa, maksiat dan mengikuti kehendak nafsu), maka tetaplah dia sebagai ahli qiblat atau dalam keadaan Muslim.
Pandangan ini sejalan dengan hadits Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan:
من صلى صلاتنا، واستقبل قبلتنا، وأكل ذبيحتنا فذالك المسلم الذي له ذمة الله وذمة رسوله … (رواه البخاري عن أنس رضي الله عنه)
“Siapa yang menegakkan shalat sebagaimana shalatnya kita, menghadap ke qiblat sebagaimana menghadap ke qiblatnya kita, memakan hewan sembelihan sebagaimana kita makan sembelihan hewan kita, maka dia itu seorang Muslim yang baginya jaminan Allah dan jaminan rasulNya …” (HR. Al-Bukhari [391] dari shahabat Anas radhiyallaahu ‘anh)
Dalam hal ini, ulama ahlus sunnah wal jamaa’ah menegaskan:
<<واتفق أهل السنة من المحدثين والفقهاء والمتكلمين على أن المؤمن الذي يحكم بأنه من ٱهل القبلة ولا يخلد في النار لايكون إلا من اعتقد بقلبه دين الإسلام إعتقادا جازما خاليا من الشكوك ونطق بالشهادتين>>
“Telah sepakat ulama ahlus Sunnah wal jamaah; dari kalangan ahli hadits, ahli fiqih ahli kalam (ahli tauhid, pen.) bahwa seorang mukmin yang dihukumi ahlul qiblat, di mana ia tidaklah kekal di neraka. Hal itu tidak terjadi melainkan orang yang benar-benar memiliki keyakinan yang pasti, bersih dari keragu-raguan dan ia pun (dengan jelas) mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat)” (Syarah Muslim Imam An-Nawawy, 1/ 149)
Sebagai penutup, semoga Rabbul ‘Aalamiin menjadikan kita senantiasa ada dalam lingkaran ahlul qiblat dan tidaklah kita mati melainkan dalam keadaan Muslim. Aamiin …
_______
✍Penulis adalah: pengasuh Madrasah Ghazwul Fikri dan penyusun buku Kuliah ‘Aqiedah dan Manhaj