SEJENAK MENENGOK KOMUNITAS WETU TELU DI LOMBOK NTB
Puluhan mobil datang berombongan di kawasan itu, ada apakah gerangan? Rupanya mereka adalah rombongan yang hendak berziarah ke kawasan Desa Bayan di Lombok Utara. Rasa ingin tahu pun muncul, apa yang selama ini tanda tanya besar pun sedikit terjawab. Sebuah tulisan tentang budaya Sasak di Pulau Seribu Masjid, kurang lebih 15 tahun lalu pun teringat kembali. Oohh ini yang namanya komunitas “Islam Wetu Telu”, gumamku.
Diantar ustadz muda energik, al-faqier pun menyempatkan untuk melihatnya. Setiba di tempat, ternyata di lokasi sudah ramai dipadati para peziarah. Dengan membungkukkan badan, mereka pun jongkok sembari melantunkan do’a yang beragam, di samping ada pula yang mengikuti komando rombongannya.
Bila dahulu, komunitas ini identik dengan ajaran lama setempat yang aromanya lebih sinkretis, kini hanya dianut oleh para tetua dan pemangku adat saja. Adapun mayoritas ummat Islam pada umumnya hanya menjadikan ini semua sebagai situs sejarah dari puing-puing peradaban masa lampau. Karenanya wajar, kini lokasi ini pun dijadikan cagar budaya yang dilindungi. Penganut keyakinan ini percaya, bahwa menapaki kehidupan masa lalu adalah suatu keharusan. Mereka memegang teguh amanat para leluhur, untuk tetap dengan kealamiannya (natural). Karenanya, melestarikan bangunan “Masjid Kuno” yang terbuat dari bambu dan penutupnya rumbai semacam ilalang dan dedaunan ini benar-benar dipegang sebagai amanah. Yang menarik, seiring perjalanan waktu, kini bangunan batu-bata yang sempat bertengger pun, kini dibongkarnya kembali. Alasannya menyalahi pakem yang ada, yang bisa saja dapat membuat kemurkaan dan mendatangkan kesialan. Salah satunya, kata mereka bencana semisal gempa yang melanda akhir-akhir ini pun disebabkan karena itu.
Bagaimana Islam masuk ke wilayah ini? Konon, diawali dengan datangnya Wali bernama Sunan Giri. Secara turun temurun, bermunculan kerajaan-kerajaan kecil seperti halnya raja-raja Bayan ini, yang kini makam-makamnya diabadikan di tempat ini.
Persinggungan dakwah Islam dengan ajaran Hindu-Budha yang beradu menjadi satu, melahirkan keyakinan-keyakinan uniqe yang tentu berbeda dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Menurut salah seorang akademisi putra Lombok yang menjadi pejabat FKUB, walau berbeda dengan Islam pada umumnya, mereka tetap memilih Islam sebagai tanda pengenal catatan sipilnya dari pada memilih yang lainnya.
Di antara ajaran paling menonjol adalah, keyakinan terkait waktu ibadah itu terbagi tiga. Semula al-faqier membaca, bahwa “wetu telu” yang dimaksud itu adalah: ibadah pagi, ibadah siang dan ibadah malam. Namun ternyata, kini mendapatkan pengetahuan tambahan, bahwa yang dimaksud “wetu telu” itu adalah ajaran yang dibawa oleh Sunan Perapen, yaitu ajaran Islam yang masih berpadu dengan praktik-praktik ritual agama Hindu, Buddha, dan animisme.
Penyebaran “wetu telu” sekitar satu persen di seluruh wilayah Lombok, di antaranya terdapat di beberapa desa di Kecamatan Bayan, Lombok Utara, seperti Loloan, Anyar, Akar-akar, Mumbul Sari dan Desa Senaru.
Istilah “wetu telu” sendiri bermakna “waktu tiga”, yang artinya dalam hidup ini terdapat tiga waktu kemunculan yaitu melahirkan (manganak), bertelur (menteluk), dan berbiji (mentiuk).
Tiga sistem reproduksi tersebut digambarkan di dalam Masjid Kuno Bayan dalam wujud sebuah patung kayu yang disebut Paksi Bayan. Budaya wetu telu mempengaruhi masyarakat Bayan dalam bertindak.
Mereka percaya hidup pada dasarnya memiliki siklus dan tingkatan mulai dari kelahiran, beranak pinak hingga kematian. Penganut wetu telu meyakini bahwa saat memasuki status atau tingkatan yang lebih tinggi, haruslah dilaksanakan ritual tertentu yang dapat menghindarkan mereka dari gangguan-gangguan hidup.
Mereka pun sangat menjaga warisan leluhur seperti rumah, tanah maupun benda pusaka lain. Karena menurut kepercayaan akan ada bencana jika tidak menjaganya.
Bahkan, yang paling menarik, para pengikut wetu telu masih mendokumentasikan garis silsilah keluarga pada lembaran daun lontar dengan huruf Jawa Kuno yang hanya boleh dibaca oleh tokoh adat dan dibacakan pada saat-saat tertentu. Demikian menurut berbagai sumber.
Pelajaran yang dapat dipetik, betapa perjalanan dakwah ini masih panjang dan luas, bahkan lebih panjang usianya ketimbang usia para penyeru dakwah itu sendiri, dan lebih luas jangkauannya ketimbang lahan dakwah yang sudah dijangkau para pendakwah itu sendiri. Ihdinas shiraathal mustaqiem … Semoga bermanfaat…
(#TenRomlyQ, Musafir Dakwah di Lombok NTB)
Saya pernah berbincang bincang dengan Ustadz Abdurrahman Sembah Ulun, beliau ini putra tetua adat di Desa Sembalun Lombok Timur. Ia juga da’i Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia pernah jadi Kades di Sembalun. Bersama Tuan Guru Haji Shafwan Hakim, beberapa kali saya silaturrahim ke rumahnya, dan dia pun beberapa kali silaturrahim ke rumah kami. Ia menerangkan bahwa wektu telu berasal dari kata wet tetilu. Wet dari Bahasa Belanda artinya undang undang atau aturan. Di situ ada tiga keperluan sosial, agama, dan pemerintahan. Urusan sosial dipegang oleh ketua adat, urusan agama diserahkan kepada pengulu atau pengetua agama, sedang urusan pemerintahan diurus oleh keliang banjar. Kesinergian mereka itu disebut wetu telu.
Pada sisi lain dia menerangkan bahwa wektu telu adalah syiar Islam belum sempurna di tanah Bayan karena masih bercampur antara animisme, Hindhu dan Budha. Dan mereka percayai bahwa itulah ajaran asli para datu leluhur Bayan yang harus dilestarikan.
Adat budayanya masih sinkretis, dan datunya adalah pemutus akhir dari semua persoalan. Datu terakhir sebelum meninggal dunia bernama Datu Singadriya. Orang ini sangat berpengaruh. Beliau bersahabat baik dengan Tuan Guru Shafwan Hakim Allahyarham. Tuan Guru pernah sowan Allahyarham Penyambung Hati Nurani Ummat yi Pak Natsir yang waktu itu menjadi Dewan Ta’syisi Rabithah yang berpusat di Arab Saudi, untuk memfasilitasi agar Datu Singadriya bersedia dihajikan. Sampai wafatnya Datu belum bersedia. Saat ini belum ada pengganti yang selevel Datu. Demikian sedikit tambahan tentang wektu telu di Bayan dengan masjid kunonya yang antik itu.