FAHAM INKAARUS SUNNAH DALAM SOROTAN
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Seputar Istilah Inkaarus Sunnah
Meyakini sunnah Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur`an, bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan lagi. Di samping banyak ayat yang menunjukkan dan mengisyaratkan wajibnya mengambil sunnah Rasulullaah (Lihat: QS. Al-Hasyr/ 59: 7), mentaati Rasulullaah berarti mentaati Allah (QS. An-Nisaa`/ 4: 80, QS. Alu Imraan/ 3: 32, QS. An-Nisaa`/ 4: 59), menjadikan Rasulullaah sebagai hakim (QS. An-Nisaa`/ 4 : 65, QS. An-Nisaa`/ 4 : 105), ingkar terhadap Rasulullaah berarti ingkar terhadap Allah (QS. An-Nisaa`/ 4 : 150 – 151) dan menjadikan Rasulullaah sebagai penjelas (mubayyin) (Lihat: QS. An-Nahl/ 16 : 44). Juga hadits Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya pentingnya berpegang kepada dua perkara yang diwasiatkan (Kitaabullah dan Sunnah rasulNya) dan ijma’ para shahabat selama hayatnya maupun setelah wafatnya. (Lihat: Keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Aliran Yang Menolak Sunnah, tertanggal 16 Ramadhan 1403 H. / 27 Juni 1983 M.)
Namun demikian, masih ada di kalangan kaum muslimin sendiri yang masih meragukan bahkan menolaknya, baik secara terang-terangan atau pun secara diam-diam; menolak total (inkaarus sunnah muthlaqan) ataupun menolak sebahagiannya (inkaaru biba’dhis sunnah). Dan ada pula yang melakukan penolakkan dengan model yang lebih khusus, di mana sunnah Rasulullaah ditolak dikarenakan tidak melalui jalur pengajaran imam atau pun guru (bighairi tharieqil manquul) dalam sebuah kelompok tertentu. (Lihat: Ahmad Husnan dalam Harakah Inkaaris Sunnah war Radd ‘Alaihaa; “Gerakan Inkarus Sunnah dan Jawabannya”).
Fenomena ini ternyata bukan fenomena lokal biasa yang sekedar terjadi di suatu tempat atau negeri tertentu, melainkan fenomena global yang memang terencana dan diprogram oleh kekuatan musuh Islam yang tidak menginginkan tegaknya ajaran agama berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam di mana keduanya merupakan sumber hukum Islam yang disepakati (muttafaq ‘alaihi) bukan sumber hukum yang masih diperdebatkan (mukhtalaf ‘alaihi). Kesimpulan tersebut, bukan pernyataan yang mengada-ada, melainkan fakta yang tidak dapat terbantahkan, di mana keterlibatan pihak asing berkedok lembaga ilmiah atau pun penelitian, kerapkali mewarnai dalam upaya pergeseran nilai-nilai Islam ini. Salah satunya pendangkalan pemahaman terhadap sunnah dengan mengatakan: “Islam cukup dipahami dengan al-Qur`an saja.”
Mereka beralasan karena al-Qur`an adalah firman Allah, sedangkan Sunnah adalah omongan manusia biasa. Sepertinya ucapan itu benar, padahal di dalamnya mengandung kebatilan (kalimatul haq ureda bihil baathil). Pemahaman seperti ini terus dikumandangkan oleh para tokoh dan pengikutnya, sehingga mereka benar-benar menjadi komunitas tersendiri dengan menamakan diri Jam’iyyah Ahlil Qur`an. Mereka pun akrab dipanggil Aliran Qur`ani, sehubungan keyakinannya hanya pada al-Qur`an saja. Dan disebut gerakan Inkaarus Sunnah, karena secara otomatis mereka pun mengingkari sunnah.
Akar Sejarah Kemunculannya
Secara akar sejarah, faham inkaarus sunnah telah muncul seiring dengan kemunculan sekte-sekte dalam Islam. Pengingkaran sekte-sekte ini tidak lepas dari penilaian cacatnya sebagian shahabat Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam karena dianggap tidak layak menjadi periwayat hadits (raawi) disebabkan penilaian fasiq, tidak adil, bahkan kafir. Pandangan semacam ini muncul dari golongan Khawaarij.
Sementara golongan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, mereka mengingkari sunnah yang diriwayatkan bukan dari golongan Ahlul Bait (versi mereka). Tuduhan tidak adil, fasiq dan celaan lainnya, mereka arahkan kepada shahabat ‘Aisyah Ummul Mu’minien, Umar bin Khathab, Utsman bin ‘Affan, Thalhah, Zubeir dan pribadi Abu Bakar ridhwaanullaah ‘alaihim. Bahkan golongan Syi’ah Ghulaat meyakini bahwa kenabian itu sebenarnya untuk ‘Ali, bukan Muhammad. Menurut mereka, malaikat Jibril keliru menyampaikan wahyu. Namun demikian, adapula golongan Rafîdhah ini meyakini bahwa kenabian itu untuk Muhammad, adapun kekhalifahan untuk ‘Ali bukan untuk Abu Bakar dan shahabat lainnya. Kelompok ini menghukumi pendukung Abu Bakar sebagai orang sesat dan berhak mendapat laknat Allah, akhirnya mereka mengkafirkan para shahabat. Karena itulah, mereka tidak mau menerima sunnah sebagai dasar hujjah, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang bergelimang dengan kekafiran.
Sedangkan golongan Mu’tazilah, memiliki pandangan bahwa hadits Nabi atau Sunnah yang tidak mencapai derajat mutawaatir, tidak dapat dijadikan hujjah agama. Artinya mereka menolak hadits ahad dengan alasan masih zhanni dan tidak qath’i. (Musthafa as-Siba’iy, As-Sunnah wa Makaanatuhaa Fit Tasyrie’il Islaami, 1405: hlm. 168 – 169).
Di antara tokoh senior (yang disebut-sebut) mewakili terhadap penolakkan hadits ahad di zaman ini adalah Syaikh Mahmud Syaltut yang berpendapat: “Dalil zhanni tidak dapat menetapkan aqiedah” (Lihat: Yazid ‘Abdul Qadier Jawaz, Kedudukkan as-Sunnah dalam Syari’ah Islam, 2005: hlm. 105).
Ada pula kelompok Mu’tazilah yang bukan sekedar menolak hadits ahad, melainkan termasuk penolakannya terhadap hadits mutawaatir, bahkan menolak al-Qur`an dengan alasan karena bertolak belakang dengan ‘aqal.
Pandangan ini tercermin dari pandangan Qaadhi ‘Abdul Jabbaar yang mengatakan: “Aqal merupakan peringkat pertama sebelum al-Qur`an, Sunnah dan Ijma”. Lalu Ibnu Nazhaam yang menyebutkan: “Tajamnya analisa ‘aqal dapat menghapus hadits-hadits Nabi.” Juga ‘Amr bin ‘Ubaid yang berkomentar: “Jika aku mendengar Rasulullaahmengatakan begini dan begitu, maka aku akan menolaknya. Dan jika aku mendengar firman Allah begini dan begitu, maka aku katakan bukan seperti itu yang aku pahami.” (Lihat: Abu Lubaabah Husein, Pemikiran Hadits Mu’tazilah, hlm. 62, Ibnu Abu Syahbah, Difa’ ‘anis Sunnah, hlm. 210 – 211 dan Daud Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman, hlm. 109 – 110).
Lahirnya Gerakan Inkaarus Sunnah Kontemporer
Menurut M. Amin Djamaluddin dalam bukunya Bahaya Inkar Sunnah, menyebutkan bahwa pengingkaran terhadap sunnah atau hadits merupakan alternatif para orientalis dalam “mempreteli” Islam dari dalam. Faham ini muncul dari hasil analisa seorang orientalis Yahudi Honggaria Ignaz Goldziher (1850-1921). Pada usia 19 tahun, yaitu pada tahun 1869 Goldziher dilantik menjadi Doctor dalam bidang Islamologi di Jerman dengan bimbingan Prof. Rodiger. Tahun1873 – 1874 mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Al-Azhar Cairo guna memperdalam pengetahuan Islam. Aktivitasnya, menjadi sekretaris Masyarakat Israel Modern selama 30 tahun (1876 – 1904) dan mengajar Filsafat Agama Yahudi di Jewish Theological Seminary. (M. Amin Djamaluddin, 2000: hlm. 15).
Setengah abad berikutnya, buku Muhammadenische Studien (dalam bahasa Jerman) karya Goldziher yang mengupas tentang penelitian hadits, dipublikasikan kembali oleh Schat (Lihat: Huda Ali dalam Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, 1991: hlm. 149).
Banyak murid-murid Goldziher, langsung atau pun tidak langsung yang menjadi penyebar dan sekaligus pembela faham Inkarus Sunnah, baik di Timur atau pun di Barat. Dan kini pemahaman ini menyebar di kalangan akademisi melalui karya-karyanya.
Prof. Dr. Muhammad Musthafa A’zhami dalam Diraasat fil Hadietsin Nabawi wa Taarikh Tadwienih menyebutkan, di antara tokoh-tokoh pemikir kaum Muslimin yang dipengaruhi faham Inkaarus Sunnah adalah Abu Rayyah (penulis Adhwa` ‘Alas Sunnah al-Muhammadiyyah) di Mesir, yang menyandarkan pendapatnya kepada Muhammad ‘Abduh. Di antara ucapannya adalah “Segala sesuatu selain al-Qur`an adalah penghalang antara al-Qur`an, ilmu dan amal.” Lalu Taufiq Sidqi yang mengatakan: “Islam adalah hanyalah al-Qur`an semata”, bahkan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha spat turut mendukungnya, namun mencabutnya kembali. Kemudian Ahmad Amin (penulis Zhuhrul Islaam dan Fajrul Islaam) serta Ismail Adham yang meragukan keautentikkan Shahieh al-Bukhari dan Shahieh Muslim. (Lihat: Musthafa A’zhami (terj.), 1994: hlm. 46-49).
Bahkan Ali Hasan Abdul Qadir, dengan arogan dia mengatakan: “Aku belajar di Al-Azhar sekitar 14 tahun lamanya, namun tidak berhasil memahami apa Islam itu. Aku memahami Islam selama studi di Jerman.” (Lihat: Musthafa as-Siba’iy dalam M. Amin Djamaluddin, hlm. 16).
Tokoh dunia Arab lainnya adalah Husein Ahmad Amin, Sayyid Shaleh Abu Bakar dan Ahmad Zaki Abu Syadi. Adapun di Benua India, di samping Mirza Ghulam Ahmad (sang nabi palsu), muncul pula Sayyid Ahmad Khan, Syirag Ali, Abdullah al-Jukralawi, Muhibbul Haq al-Azhim Abadi, Nadzir Ahmad ad-Dahlawi, Ahmad Din al-Amritsari, Inayatullah al-Masyriqi, Al-Qadhi Muhammad Syafi, Aslam al-Jyrajafuri dan Ghulam Ahmad Parwez yang mendirikan Jam’iyyah Ahlil Qur`an (Lihat: Shalahuddin Maqbul Ahmad dalam Jawabi’ fie Wajhis Sunnah Qadieman wa Hadietsan; (terj.) “Bahaya Mengingkari Sunnah”).
Di Amerika dan Benua Eropa, gerakan Inkaarus Sunnah dikomandani oleh Rasyad Khalifah yang menyerukan bahwa: “Hadits-hadits itu adalah buatan Iblis, mempercayai hadits berarti mempercayai omongan iblis.” (Lihat: M. Amin Djamaluddin, hlm. 18).
Seperti tidak mau ketinggalan, di Asia Tenggara (khususnya Indonesia dan Malaysia) dihebohkan dengan munculnya buku Hadits Are Evaluation, karya Kasim Ahmad (Malaysia) diterjemahkan menjadi: “Hadits Ditelanjangi” (Sebuah Re-evaluasi Mendasar Atas Hadits) yang diantarkan oleh Hassan Hanafi (Profesor Filsafat Universitas Cairo). Lalu munculnya Tafsir al-Qur`an karya Nazwar Syamsu, buku Muhammad Irham Sutarto dan buku-buku Dalimi Lubis serta kaset-kaset Inkaarus Sunnah produksi PT. Ghalia Indonesia.
Dari semua pemahaman gerakan Inkaarus Sunnah, baik yang mengingkari secara muthlaq sunnah Rasulullaah, mengingkari sebagian sunnah atau pun mengingkari sunnah karena tidak menyandarkan kepada imam atau amir kelompok tertentu (manquul ‘alal amier), semuanya merupakan pengingkaran yang nyata dan permusuhan kepada Allah ‘azza wa Jalla dan RasulNya. Wallaahul musta’aan.
______
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta