Senin, Desember 9MAU INSTITUTE
Shadow

SNOUCK HURGRONJE; ORIENTALIS BERJUBAH SANTRI

SNOUCK HURGRONJE; ORIENTALIS BERJUBAH SANTRI
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

“Agar ummat Islam dapat diredam kekuatannya, maka ia harus dibiarkan mengerjakan ibadah agamanya. Dalam bidang mu’amalah, kalau perlu mereka dibantu. Namun janganlah membiarkan kegiatan-kegiatan yang dapat membangkitkan politik Islam. Pergolakan (agitasi) politik Islam yang harus ditumpas dengan kekerasan senjata, sehingga diperoleh ketenangan, pemerintah harus memajukan pendidikan, perekonomian, kesejahteraan dan sebagainya agar kaum pribumi mempercayai maksud Belanda dan akhirnya rela diperintah oleh orang-orang kafir. Hal ini merupakan langkah awwal menuju tercapainya “Politik Asosiasi”, yaitu penyatuan antara negeri Belanda dengan Hindia Belanda. Agar cita-cita mewujudkan asosiasi ini lekas tercapai, maka pendidikan Barat harus disediakan bagi kaum pribumi. Kaum pribumi yang telah mendapatkan pendidikan Barat tersebut harus diberikan kedudukkan sebagai pengelola urusan politik dan administrasi kolonial. Mereka pada akhirnya akan menggantikan kedudukkan Belanda di Indonesia dengan mengembangkan amanat politik asosiasi.”

Demikianlah potongan kalimat dari pernyataan Snouck Hurgronje (1857-1906) sebagaimana dikutip Lathiful Khuluq dalam bukunya: Strategi Belanda Melumpuhkan Islam; Biografi C. Snouck Hurgronje. Bila dicermati kalimat demi kalimat yang terkandung di dalamnya, menunjukkan bahwa inti ungkapan tersebut merupakan langkah-langkah strategi (al-khuthuwaat al-istiraatijiyyaat) yang digagas oleh pencetusnya dalam melakukan pembusukkan dari dalam atau lebih dikenal dengan perang urat syaraf. Adapun cara-cara yang dilakukan, memberikan kebebasan kepada warga pribumi yang mayoritas Muslim untuk menjalankan ritual keagamaan mereka yang bersifat rutinitas. Namun dalam waktu yang bersamaan, mereka menekan dan memerangi semua gerakan kaum Muslimin yang mengarah kepada perebutan kekuasaan kaum penjajah. Semua itu dilakukan, agar pemerintahan kerajaan Hindia Belanda berkesan mau “bekerja sama” dengan pribumi mengingat pentingnya menanamkan simpati pada kaum Muslimin.

Inilah yang melatar belakangi munculnya para islamolog atau orientalis di dunia Islam secara umum. Demikian pula dengan Snouck Hurgronje yang begitu getol dan tekun mempelajari seluk beluk Indonesia dan Islam, sehingga mampu melaksanakan aksi memata-matai (spionase) dengan memunculkan ide-ide segarnya, bagaimana melahirkan “politik Islam” menurut selera dan gaya pemerintahan kolonial.

Pola inilah yang dijadikan pedoman bagi pemerintah Hindia Belanda, terutama Adviseur Voor Inlandsche Zaken (Lembaga penasehat gubernur tentang segala sesuatu menegenai pribumi). (Lihat: H.Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda).

Jejak Sang Petualang

Secara biografi, Snouck memiliki nama lengkap Christian Snouck Hurgronje, lahir pada tanggal 8 Februari 1857 di Oosterhout, Belanda. Ia merupakan anak keempat dari pendeta J.J. Snouck Hurgronje dan Ana Maria, putri pendeta D. Christian de Visser. Perkawinan kedua orang tuanya itu didahului oleh suatu hubungan gelap, sehingga mereka dikeluarkan dari Gereja Hervormd di Tholen (Zeeland) pada tanggal 3 Mei 1849. Kedua orang tuanya baru menikah resmi pada tanggal 31 Agustus 1856, atas permohonannya agar kedudukkan di Gereja Hervormd dipulihkan kembali. Diterima pula sebagai anggota gereja pada tanggal 12 April 1867.

Nama lengkapnya merupakan gabungan nama kakeknya Christian dan nama ayahnya Snouck Hurgronje. Nama tersebut mengandung tugas berat, yaitu: Snouck Hurgronje harus menjadi pendeta untuk memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat oleh orang tuanya. Nampaknya, cita-cita orang tuanya tidak diabaikan begitu saja, sehingga mengantarkan Snouck menjadi pemuda yang giat belajar dengan prestasi akademik yang mengagumkan. Ketika bertugas di Indonesia, Snouck melangsungkan perkawinan dengan anak tunggal Penghulu Besar Ciamis Raden Haji Muhammad Ta’ib bernama Sangkana di usia 33 tahun atas desakan istri Bupati Ciamis Raden Ajoe Lasminakusuma, maka berlangsunglah perkawinan itu secara Islam dan melahirkan empat orang anak. Tahun 1898, setelah istrinya meninggal karena keguguran melahirkan anak kelimanya, Snouck menikah lagi dengan Siti Sadiyah, putri Wakil penghulu Bandung, Haji Muhammad Soe’eb yang dikenal Kalipah Apo (w.1922). Perkawinan ini diurus oleh Penghulu Bandung Haji Hasan Mustapha, sementara itu Snouck berusia 41 tahun. Dikarenakan kedua perkawinan ini berlawanan dengan moral bangsa Eropa yang berdasarkan pemisahan etnik (apharteid), perkawinan keduanya pun tidak diakui, dan selanjutnya menikah dengan Ida Maria, seorang putri Dr. A.J. Oort, pensiunan pendeta liberal di Zutphen. Terlahirlah seorang anak perempuan bernama Christien, Perkawinan itu pun berlangsung sampai Snouck meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936, (Lathiful Khuluq, 2002: hlm. 7-12).

Di samping melakukan perkawinan dengan wanita bangsawan pribumi, dengan latar pendidikan yang memadai; mempelajari bahasa Latin dan Yunani, menamatkan KuliahTeologi di Leiden (1878), perkenalannya dengan Harman Bavick (seorang ahli dogmatik Kristen), berguru kepada para tokoh modernis Leiden (Abraham Kuenen, C.P Teales dan L.W.E. Rauwenhoff), belajar bahasa semit dari R.P.A. Dozi dan sastra Arab dengan bimbingan M.J. Geoje, lawatan ke Mekkah dan Jeddah, seluruhnya menghantarkan pribadi Snouck menjadi seorang orientalis yang sangat piawai dan bisa diandalkan, sehingga pemerintah Belanda menugaskannya berulang kali menjadi peneliti. Untuk menghindari sifat resmi dari penelitian-penelitiannya terhadap bumi putera, Snouck pun berbaur dengan masyarakat. Hal serupa dilakukannya di kota Mekkah, Dengan memakai nama Abdul Ghaffar, Snouck diijinkan tinggal di Mekkah. Selama di Mekah Snouck mengerjakan shalat, meninggalkan minuman keras dan mengerjakan rukun Islam lainnya. Dengan sikap tersebut, Snouck dapat mudah mengadakan hubungan dengan para pelajar dan ulama yang berasal dari Hindia Belanda di Mekkah, yang kelak dimanfaatkannya juga ketika mengadakan penelitian di Hindia Belanda (baca: negeri-negeri jajahan di Indonesia). (Lathiful Khuluq, 2002: hlm.13 – 17)

Sebuah Renungan

Sangat menakjubkan, seorang Snouck sudah membuktikan keteguhan pribadinya sebagai peneliti, mengorbankan harga dirinya demi ideologi dan agama yang dianutnya, meluangkan waktu, mengerahkan tenaga dan fikiran demi bangsanya itu. Aksi penyamaran dan kejahatan manipulatif (tipu daya) sedang ia mainkan dalam rangka mengelabui kaum Muslimin sebagai bangsa jajahan. Kenyataan ini diakui oleh peneliti Belanda lainnya Dr. Van Konning Velds sebagaimana penuturannya: “Ia (Snouck Hurgronje) berlindung di balik penelitian ilmiah dalam melakukan aktifitas spionase demi kepentingan penjajah.”

Hal senada diungkapkan pula oleh cendikiawan Aceh Prof . A. Hasyimi: “Belanda mulai memerangi Aceh dengan upaya menguasai daerah jajahannya sejak 1873, perang berlangsung selama dua puluh tahun. Namun tentara Belanda menghadapi perlawanan sengit dalam setiap pertempuran. Dan rahasia pertempuran ini adalah padunya ulama dan pemimpin setempat. Snouck sangat paham hal ini dan melihat Islam sebagai penggerak yang paling kuat dalam jiwa kaum muslimin. Snouck ingin menyerang dan meruntuhkan perlawanan ini dari akarnya. Ia belajar Islam, datang ke Mekkah dan pura-pura masuk Islam, Bahkan untuk tujuan busuk ini, Snouck memakai nama Abdul Ghaffar. Dengan cara ini, Snouck mengenal ulama Aceh yang berada di Mekkah seperti Syeikh Al-Habib Abdul Rahman al-Zhahir. Ia membangun hubungan erat dengan orang-orang Indonesia di sana, khususnya asal Aceh. Sehingga tak seorangpun dari mereka membayangkan ia adalah seorang musuh Islam yang sangat berbahaya. Snouck bahkan pernah berjanji akan membantu rakyat Aceh dalam perang melawan Belanda.” (Daud Rasyid, Fenomena Sunnah di Indonesia; Potret Melawan Konspirasi, 2003: hlm. 198 – 199).

Dari perjalanannya yang panjang, Snouck berhasil merumuskan kesimpulan pengalamannya dengan strategi-strategi yang sangat ampuh dalam meruntuhkan perlawanan pribumi yang Islam dan langgengnya penjajahan Barat. Di antara kesimpulan tersebut adalah:

1. Pentingnya memisahkan ummat Islam, antara Islam Religius (yang memperhatikan rutinitas ibadah saja) dengan Islam politik (gerakan Islam yang mempersoalkan penjajah). Kelompok pertama ini perlu mendapatkan sikap toleran dan kelompok kedua wajib diwaspadai dikarenakan membahayakan eksistensi (keberadaan) pemerintahan kolonial. (Lihat: Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 2000: hlm. 254).

2. Pentingnya membatasi frekuensi jama’ah haji dalam rangka menekan dan mengurangi hubungan Internasional antara Indonesia dan Timur Tengah serta pentingnya menjalankan Spionase (aksi memata-matai) di kantong-kantong perlawanan di luar negeri (khususnya di tanah suci yang disebut koloni jawa). (Lihat: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, 1980: hlm. 30 – 34).

Dengan strategi yang pernah dijalankannya ini, berhasil melanjutkan siasat “Devide et Impera” (politik adu domba) walaupun terasa halus. Namun hakikatnya, gerakan pembusukkan di dalam ini lebih berbahaya dari perang-perang fisik sebelumnya. Bahkan Dr. Mahmud Hamdy Zaqzuq dalam bukunya Al-Istisyraaq wal Khalfiyyaat al-Fikriyyaat Lis Shiraa’il Hadhari menjelaskan bahwa: “Lawatan-lawatan kaum penjajah sebelumnya untuk mengenal lebih dekat tentang hal ihwal daerah jajahan, sangat menentukan keberhasilan di masa mendatang.”

Secara umum, sekalipun konsep-konsep Snouck tidak dapat diterapkan semuanya, namun hal tersebut telah cukup membantu pemerintah kolonial dalam masalah-masalah pribumi terutama memadamkan gerakan perlawanan. Demikian pula dampak buruk politik kolonial nampak sangat terasa sampai saat ini, di antaranya: terjadinya “trauma politik” di beberapa organisasi Islam, adanya dikotomi pendidikan (keterpisahan) yang sangat kental antara yang mementingkan ilmu pengetahuan umum dengan yang memfokuskan ilmu agama, munculnya islamphobia (alergi terhadap segala sesuatu yang berbau Islam) pada beberapa pelajar dan kaum intelektual hasil didikan Barat, lahirnya pemuja kebudayaan Barat, semakin tajamnya pertentangan antara kelompok abangan dan santri, serta tersendat-sendatnya proses Islamisasi di Nusantara.

Semua itu merupakan ranjau-ranjau ghazwul fikri yang dengan sengaja direncanakan demi runtuhnya peradaban dan lenyapnya ajaran Islam. Wallaahul musta’aan …

_______

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!