KEMENANGAN DAN KEKALAHAN; ‘IBRAH PENGALAMAN BADAR-UHUD
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Sebagai kitab suci, Al-Qur’anul Kariem merekam dengan jelas, bagaimana Allah ‘azza wa jalla mengisyaratkan penggalan peristiwa peperangan yang terjadi di lembah Badar dan bukit Uhud. Semua ini menjadi renungan perjalanan dari peristiwa panjang sejarah (sierah) yang mesti menjadi pelajaran berharga bagi siapa pun yang mampu menggunakan akal sehatnya (nazhar). Kemenangan dengan segala indikatornya dan kekalahan dengan segala indikatornya, itulah yang patut jadi renungan bagaimana Allah tunjukkan ke-Maha besaranNya. Adapun menang atau pun kalah, keduanya merupakan perkara lazim dalam sebuah pertempuran. (Lihat QS. Alu ‘Imran/ 3: 137)
Diawali dengan menjelaskan, bahwa berkaca pada sejarah itu adalah penting; di mana sejarah dapat berfungsi sebagai pemberi keterangan rekam jejak perjalanan (bayaan), petunjuk yang mencerahkan (hudan) dan nasihat yang mengingatkan (mau’izhah)‘ bagi mereka orang-orang yang bertakwa. (Lihat QS. Alu ‘Imran/ 3: 138)
Sungguh peperangan Badar, sebuah pertempuran yang sangat membekas dalam sejarah; kekompakkan para shahabat dan kepatuhan serta ketaatan mereka kepada Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam begitu kentalnya dan kaum Muslimin pun mengalami kemenangan. Sekalipun jumlah mereka tidak seimbang; 313 orang pasukan Muslimin harus berhadapan dengan kekuatan 1000 orang pasukan musuh, namun Allah menangkan mereka dengan gemilang.
“Dan sungguh Allah menolong kalian di Badar padahal kalian lemah, maka bertakwalah kepada kepada Allah mudah-mudahan kalian termasuk orang yang bersyukur.”(QS. Alu ‘Imran/ 3: 123)
Berbeda dengan peperangan Uhud, secara kasat mata kaum Muslimin harus menderita kekalahan. Bahkan paman Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang diandalkan dan kebanggaan kaum Muslimin pun gugur bersama shahabat Mush’ab bin ‘Umair radhiyallaahu ‘anhumaa (sang pemegang bendera liwa‘). Namun demikian, kekalahan ini pada akhirnya menjadi kemenangan ketika kaum Muslimin secepatnya mawas diri dan mengambil pelajaran dari kekalahannya.
Kekalahan kaum Muslimin di bukit Uhud, bukan tanpa alasan, kekuatan penuh kaum musyrikin Quraisy sejumlah 3000 orang pasukan dikerahkan; didukung 700 pasukan baju besi, diikuti pula para wanita, diiringi 3000 ekor unta dan 200 ekor kuda. Sedangkan kaum Muslimin, terdiri dari 1000 pasukan yang dalam perjalanannya berkurang menjadi 700 orang, dikarenakan 300 orang pasukan berbelot dibawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafiq).
Tak kalah pentingnya, krisis kepatuhan kepada pemimpin pun terjadi, yang hakikatnya tidak mematuhi Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam ketika 50 orang pasukan elite regu pemanah ditempatkan di bukit ‘ainain (dikenal dengan jabal rumaat) dibawah komandan ‘Abdullah bin Jubair al-Anshary radhiyallaahu ‘anh. Dipicu dengan berita hoax sebelumnya bahwa Rasulullaah gugur (padahal Mush’ab yang wajahnya mirip dengan sang Rasul), juga sikap tergesa-gesa (isti’jaal) kaum Muslimin waktu itu yang mengklaim bahwa mereka “menang perang” dan perang telah selesai. Itulah yang membuat euforia para pemanah tergiur dengan rampasan perang (ghanimah), yang akhirnya pasukan Khalid bin Walid (yang waktu itu belum masuk Islam) menggempurnya dari balik bukit secara sporadis dan mematikan lawannya. Para shahabat pun banyak berguguran menjadi syahid di lembah ini. Inilah yang dilukiskan Al-Qur’an Surat Alu ‘Imran ayat 140:
إن يمسسكم قرح فقد مس القوم قرح مثله، وتلك الايام نداولها بين الناس وليعلم الله الذين امنوا ويتخد منكم شهداء، والله لايحب الظالمين
“Jika luka (di perang Uhud) menimpa kalian, sungguh luka sebanding (di perang Badar) menimpa kaum musyrikin. Dan itulah hari-hari Kami gulirkan di antara manusia agar Allah mengetahui orang-orang yang beriman dan menjadikan mereka sebagai syuhada. Dan Allah itu tidak menyukai orang-orang zhalim.”
Namun demikian, sungguh Allah ‘azza wa jalla memiliki kehendak yang manusia tidak tahu di balik semua rahasiaNya. Khalid bin Walid sang komandan Quraisy itu mendapatkan anugerah hidayah, dirinya masuk Islam setelah “memikirkan” kegigihan para shahabat dalam mempertahankan agamanya sekalipun “kalah perang”. Para shahabat begitu yakin apa yang diperjuangkan mereka itu benar dan akan berbuah manis berupa syahaadah dan jannah-Nya. Lalu, bagaimana dengan Khalid? Di atas landasan apa, akan dapat apa dan untuk siapa sebenarnya dirinya berjuang “mati-matian”. Sejak itu pula, jawara pedang Quraisy ini tersentak dan berjanji kepada Allah akan senantiasa turut sera berjihad fie sabielillaah seperti halnya para shahabat Nabi. Yakni bercita-cita mati syahid di jalanNya.
Benar apa yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla dalam ayat lainnya (QS. Alu ‘Imran/ 3: 139):
ولا تهنوا ولا تخزنوا وأنتم الاعلون إن كنتم مؤمنين
“Janganlah kalian merasa hina dan janganlah kalian bersedih hati, dan kalian adalah manusia-manusia unggul jika kalian beriman.”
Semoga kita dapat mengambil mutiara berharga dan pandai mengambil pelajaran dari gugusan ayat-ayat ini. Allaahumma a’izzal Islaama wal Muslimiena … Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin
______________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.