KULIAH PEMIKIRAN ISLAM BERSAMA PROF. DR. ALI GARISYAH*
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Bagi aktivis dakwah tahun 1980an, siapa yang tidak mengenal Prof. Dr. Ali Garisyah (tertulis dalam ejaan Arabnya: علي جريشة). Penulis sendiri mengenali tulisannya tahun 1988 – 1990an selagi masih di Madrasah Aliyah. Ingat beliau, ingat salah satu karyanya Manhajut Tafkîr al-Islâmy walaupun karya beliau sudah tentu bukan ini saja. Buku asli yang diterbitkan tahun 1986 oleh penerbit Wahbah Mesir ini, diterjemahkan Salim Basyarahil dari Gema Insani Press Jakarta tahun 1989.
Pemikir yang lahir tahun 1935 ini, sebenarnya seorang ahli hukum dengan beberapa jabatan keahlian yang dijalaninya (baik sebagai dosen, hakim dan asisten Jaksa Agung). Karena kekritisannya, beliau harus mengalami penjara militer Mesir dari tahun 1965 – 1973. Beliau pun pernah berkhidmat di beberapa Universitas di Saudi Arabia sebagai pengampu Syariat Islam, berikutnya beliau dipanggil ke haribaanNya dalam usia 76 tahun.
Adapun ketertarikan menyuguhkan kembali buah fikirannya, awalnya sehubungan amanah yang diemban untuk disampaikan pada adik-adik mahasiswa kami di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir dan Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam Jakarta dengan Materi Kuliah Teologi dan Pemikiran Islam, juga Filsafat Ilmu. Mengapa buku ini turut “dilibatkan”, dikarenakan isinya menjelaskan metode pemikiran Islam.
Beberapa butir pemikiran yang didapatkan dari harta karun tsaqâfah ilmiahnya, di antaranya:
A. Manusia dan Pemikiran
Yang paling berharga di antara yang Allah ‘azza wa jalla anugerahkan untuk manusia adalah “nilai kemanusiaan” itu sendiri, setelah itu ilmu dan fikiran. Lebih dari 800 kata ilmu disebut-sebut dalam Al-Qur’an, menunjukkan betapa tingginya derajat seseorang yang berilmu. Dalam uraiannya, beliau menyebutkan tiga point yang menggambarkan pentingnya ilmu; dijadikannya orang-orang ‘alim (ûlul ‘ilmi) sebagai yang ketiga setelah Allah dan malaikaNya (QS. Âlu Imran/ 3: 18), hubungan ketaqwaan yang tidak terlepas dari ilmu (QS. Fâthir/ 35 : 28) dan hanya orang-orang berilmulah yang mau mengambil pelajaran (QS. Âlu Imrân/ 3: 7).
Pemikiran, menurutnya adalah buah yang sangat mahal. Yakni “hasil guna” yang di dalamnya bersumber pada aqal, qalbu, jiwa, ruh dan batin. Apabila penggunaan semua itu bersinergi, maka berfikirnya manusia akan lebih sempurna. Itulah kebenaran firman Allah ‘azza wa jalla: “Hanya orang-orang yang berakal yang mau menerima peringatan.” (QS. Ar-Ra’d/ 13: 19)
Ayat lainnya: “Sesungguhnya dalam hal itu merupakan suatu peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati.” (QS. Qâf/ 50: 37).
B. Sumber-sumber Ilmu Pengetahuan
Hakikat sumber ilmu itu ada dua; wahyu dan ‘aqal. Yang dimaksud wahyu, adalah Al-Qur’anul Karîm dan Sunnah Nabawiyah dengan segala pembahasan keduanya. Sedangkan yang dimaksud ‘aqal, adalah mencakup di dalamnya; ‘aqal sebagai pengetahuan penginderaan, ‘aqal sebagai pengetahuan suara batin, dan ‘aqal sebagai pengetahuan berita.
Tegasnya, ‘aqal adalah sumber pengetahuan (ma’rifat), alat untuk menggali hukum-hukum dengan semua alat kontrol yang diletakkan syari’at yang berkebijaksanaan.
Karenanya, wahyu dan ‘aqal bukan untuk dibenturkan dikarenakan keduanya memiliki definisi sendiri. Namun sekiranya ada kasus yang terjadi pada keduanya, maka tetap wahyu mendahului ‘aqal yang definitif itu.
Menurutnya, mendahulukan ‘aqal di depan wahyu adalah tindakan yang tidak tepat, apalagi kalau hanya menggunakan ‘aqal saja tanpa wahyu, tindakan ini hanya akan menimbulkan kesesatan dan kesengsaraan. Begitu juga tidak dapat dibenarkan orang yang hanya mengandalkan wahyu saja, sementara fungsi ‘aqal diabaikan. Di samping ‘aqal ini penentu pertanggung jawaban wanusia, juga dengan ‘aqal pula dapat berkesimpulan dengan cara ijtihâd dan penelitian (istinbâth).
Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Niscaya orang-orang yang meneliti di antara mereka mengetahui hal itu.” (QS. An-Nisâ/ 4: 83).
Ayat lain menjelaskan: “Maka siapa saja yang mengikuti petunjukKu itu, niscaya tidak akan sesat dan celaka.” (QS. Thâha/ 20: 123).
Ada beberapa disiplin ilmu, yang menurutnya dipengaruhi oleh hubungan keduanya; Ilmu Fiqih, Ilmu Ushûl Fiqih, Ilmu Musthalahul Hadits dan Ilmu Manthiq (terlepas perdebatan para ulama tentang ilmu ini).
Dengan menukil pandangan Ibnu Taimiyah yang membawakan perumpamaan Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam terkait hubungan wahyu dan ‘aqal laksana air hujan dan bumi; ada yang mampu menyimpan air hingga tumbuhnya tanaman, ada yang mampu menyerap hingga dapat bertani, bahkan ada pula yang tidak mampu menahan dan menyerap. Demikian pula hal ini terjadi dengan ilmu dan hidayah.
C. Pengawas-pengawas Fikiran dalam Islam
Lurus dan menyimpangnya, mulia dan hinanya, serta benar dan tidaknya sebuah pemikiran, sangat ditentukan oleh ikatan-ikatan yang membatasinya. Ikatan-ikatan ini dimaksudkan untuk mengawasi bukan untuk memborgolnya, tetap diberikan kelapangan berfikir dan tidak menghalanginya. Semua ini, diterapkan sebagai sikap kontrol saja agar tidak tersesatkan.
Menurutnya, ada lima sikap pengawasan yang penting untuk diperhatikan; berkaitan dengan tujuan yang lurus, berkaitan dengan metode (manhaj) yang benar, menghindari cara (tharîqah) yang hina, menjunjung tinggi moral (akhlâq) dan senantiasa berpijak pada missi manusia di muka bumi. Kesemua ini, tidaklah lepas dari bimbingan wahyu.
D. Fikiran Islami di antara Pemikiran lain
Dalam pandangannya, fikiran Islami di tengah pemikiran lainnya laksana bunga mawar di sela-sela durinya, atau laksana oase di tengah gurun sahara.
Fikiran Islami harus berhadapan dengan kecamuknya ideologi-ideologi lain; filsafat materialisme yang semakin menjalar ke semua lini kehidupan telah banyak melahirkan pandangan sekularisme yang akhirnya menolak agama, di satu sisi ada sikap masyarakat yang ekstrim dalam memposisikan ‘aqal hingga melahirkan kebebasan berfikir yang liar, di sisi lain ada pula yang larut dan terperosok pada alam rohani yang berlebihan sehingga menilai semua kalangan (padahal masih Muslim) sebagai jâhiliyah, bahkan kufur. Adapula larutnya dalam alam rohani sampai meninggalkan materi sama sekali dan masuk pada lingkaran mistisisme atau kebatinan. Sehingga kondisi seperti ini, menyebabkan alam fikiran menjadi tidak adil dan hidup menjadi tidak seimbang.
Sebagai pandangan penutup, menurutnya: “Kembalinya ummat pada pandangan Islam yang murni; bukan berarti harus berlebihan (ghuluw) dalam memandang materi, atau berlebihan dalam memandang ‘aqal dan alam rohani, melainkan hidup dalam naungan kitâbullâh dan sunnah nabiNya, serta sejarahnya.”
Semoga Rabbul ‘âlamîn senantiasa memberikan kekuatan agar kita mampu menjaga dan memelihara fikiran Islami yang dianugerahkanNya. Allâhumma faqqihnâ fid dîn …
______________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.