MULHIDÛN DAN DAHRIYYÛN; AKAR IDEOLOGI KAUM ANTI TUHAN
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Pertanyaan besar yang sering muncul di tengah-tengah kita, mengapa manusia bisa membelot dari jalan Tuhan? Bila dikatakan sebabnya karena kurang pengetahuan agama, bukankah belakangan gelombang demikian banyak diteriakkan oleh orang-orang yang mengaku beragama. Bila dikatakan karena kurangnya ilmu, justeru belakangan paham ini banyak didukung kalangan orang yang memiliki ilmu.
Semua itu tentunya, tidak dapat dilepaskan dari cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang wajib dipahaminya. Mengapa manusia ada, siapa yang mengadakan. Mengapa alam dicipta, siapa yang mencipta dan untuk apa diciptakan. Lalu apa kewajiban manusia bagi Penciptanya, kewajiban sesama manusia dan bagaimana memperlakukan alam agar terjadi kemakmuran semesta.
Bagi kaum Muslimin, nampaknya layak untuk direnungkan kembali tiga pokok pengetahuan dalam Islam (ushûlul ma’rifah fiel Islâm) sebagai tolok ukur dalam memahami penilaian sesuatu itu “benar” atau “salah.” Pokok-pokok yang dimaksud adalah: Mengetahui siapa Tuhan itu? (ma’rifatur Rabb), Mengetahui siapa manusia itu? (ma’rifatul insân) dan apa alam itu? (ma’rifatul ‘âlam). Ketika kita benar dalam memahami tiga perkara ini, maka cara pandangnya bisa benar. Dan ketika salah memahami tiga perkara ini, maka cara pandangnya bisa salah.
1) Mengetahui siapa Tuhan (Ma’rifatur Rabb)
Dalam Islam, keberadaan Tuhan sudah final, Dialah Allah jalla jalâluhu Dzat penguasa alam (Rabbul ‘âlamîn). Al-Qur’an menjelaskan akan hal ini; Allah itu Esa, Allah itu tempat bergantung semua makhluq, Allah itu tidak berputra dan tidak diputrakan, serta tidak ada yang mampu menyamaiNya seorang pun. Itulah QS. Al-Ikhlâsh. Dialah Allah yang tidak ada tuhan selainNya, Dia yang Maha hidup dan berdiri sendiri, tidak terkena lupa dan tidur. Itulah mutiara Qur’ani ayat Kursi. Allah itu pun cahaya yang menerangi langit dan bumi, perumpaan cahayaNya laksana lampu (misykât) yang di dalamnya ada pelita. Itulah mutiara QS. An-Nûr. Masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan siapa Tuhan itu, demikian pula Nabi shalallâhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan di banyak haditsnya.
Berbeda dengan pandangan yang lain yang masih memperdebatkan siapa Tuhan itu? Ketika mereka belum atau tidak bisa menemukan jawabnya, mereka pun menuduhnya dengan kata-kata “Tuhan mulai lelah”, “Tuhan mulai bosan”, “Tuhan mulai sakit”, bahkan sebagian mereka menyebutkan “Tuhan sudah mati” (god is dead).
2) Mengetahui siapa Manusia (Ma’rifatul Insân)
Dalam Islam, perkara ini pun sudah final. Manusia itu adalah makhluq turunan ayahanda Adam ‘alaihis salâm dan bunda Hawa, Adam dicipta dari saripati tanah (sulâlatin min thîn). Beranak pinak melalui percampuran air mani yang memancar (nuthfah), lalu menjadi segumpal darah (‘alaqah), kemudian menjadi seketul daging (mudhghah) yang membungkus tulang. Berikutnya, diciptakanlah pendengaran, penglihatan, hati dan ditiupkannya ruh. Semua itu dijelaskan Al-Qur’an (QS. Al-Hijr/ 15: 26, 28, 29, QS. Al-Mu’minûn/ 23: 12-14, QS. An-Nahl/ 16: 78, dll.). Demikian pula Nabi shalallâhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan di banyak haditsnya.
Berbeda dengan pandangan yang masih menduga-duga dengan berbagai teorinya, di antaranya teori evolusi Charles Darwin yang meyakini manusia itu berasal dari turunan kera. Namun kenyataannya, di satu sisi mereka unggulkan ras tertentu dengan species istimewanya, namun di sisi lain, mereka remehkan manusia lainnya. Jangankan uji teologis, secara ilmiah ilmu manusia pun masih dalam perdebatan panjang.
3) Mengetahui apa itu Alam (Ma’rifatul ‘âlam)
Dalam Islam, hal ini pun sudah final. Ada alam yang tak nampak (ghaib), ada pula alam yang nampak (syahâdah) sebagaimana QS. Al-Jumu’ah/ 62: 8, atau alam dunia yang fana dan terbatas (dunyâ) dengan alam akhir yang kekal abadi (akhirat). Karenanya doa yang dipanjatkan pun do’a keselamatan di dua alam “Rabbanâ âtinâ fied dunyâ hasanah wa fiel âkhirati hasanah wa qinâ adzâban nâr.” (QS. Al-Baqarah/2: 201). Semua ini menunjukkan bahwa Allah jalla jalâluh menjadikan dunia sebagai tempat sementara, dan akhirat merupakan negeri ujung pengharapan. Pantas, kalaulah Allah menyebutnya dengan “wal âkhiratu khairun laka minal ûlâ.” Yakni bahwa negeri akhirat itu lebih baik dari negeri yang pertama (yaitu dunia). Demikian pula Nabi shalallâhu ‘alaihi wa sallam menerangkan di banyak haditsnya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengistilahkannya dengan “dârul hijratain wa bâbus sa’âdatain; dua negeri tempat berhijrah dan dua pintu kebahagiaan.”
Berbeda dengan mereka, yang memahami alam ini perlu perlakuan khusus dengan ritus-ritus tertentu yang melahirkan pandangan alam yang penuh sinkretik atas nama tali karuhun atau tradisi para leluhur.
Dengan pemahaman yang benar terhadap konsep ke-Tuhanan, maka bisa selamat pula dari pandangan materialisme-atheisme yang menganggap Allah itu benda atau tidak ada sama sekali. Dengan pemahaman yang benar terhadap konsep manusia sebagai makhluq yang wajib patuh pada Penciptanya, maka selamat pula dari keyakinan humanisme yang keliru di mana hak asasi manusia bisa mengalahkan hak-hak Tuhan. Dengan pemahaman terhadap konsep alam yang benar, di mana manusia harus merawatnya, maka selamat pula dari keyakinan nativisme yang menggiring manusia pada ajaran mistik penuh klenik dan kejumudan alam perasaan.
Dengan tiga pokok pengetahuan itulah, minimalnya diharapkan mampu menutup celah-celah pintu kesesatan yang menyebabkan pelakunya membelot dari jalan Tuhan, bahkan bisa menjadi anti Tuhan. Sebagai gambaran, para pengingkar Tuhan zaman dahulu, meyakini bahwa makhluq-makhluq itu (baik makhluq hidup atau benda) yang dipuja dan disembah tidaklah mendatangkan kemanfaatan dan kemadharatan. Mereka melakukannya bukan karena meyakini makhluq-makhluq itu bisa memberi rezki atau mengatur alam semesta, melainkan sebagai “perantara” dalam mendekatkan kepada hakikat Pencipta.
Demikian pula dengan pengingkaran zaman ini, mereka menjadikan sosok yang dikagumi, benda yang dikeramatkan, sistem hidup yang diagungkan pun sebagai perantara dalam menggapai tujuan yang diinginkan.
Berawal dari memuliakan tokoh, berakhir dengan pengkultusan. Berawal dari melestarikan budhaya, berakhir dengan pengkeramatan atas nama agama. Berawal dari penyanjungan sistem ideologi yang dianut, berakhir dengan sakralitas sistem yang membabi buta. Semua berjalan dan mengalir tanpa sadar menerjang dinding-dinding ketauhidan.
Di antara fenomena yang telah menggurita adalah arus sekularisme (yaitu upaya memisahkan akhirat dengan dunia; memisahkan agama dengan ilmu, memisahkan agama dengan negara, memisahkan ulama dengan kekuasaan dan lain-lain), juga arus liberalisme (yaitu seruan kebebasan dalam menafsir agama). Keduanya berhasil menelikung alam fikir dan merobohkan benteng-benteng keimanan sebagai azas agama. Seiring dengan seruan pengingkaran “wujud Allah”, pemandulan atas keyakinan bahwa Allah itu Pencipta dan Pengatur alam, pernyataan perang terhadap semua yang menyerukan keimanan terhadap Allah dan rasulNya serta menolak apabila urusan-urusan agama masuk ke dalam urusan-urusan dunia. Menurut mereka, agama itu ranah private, sementara dunia itu ranah public. Karenanya, mereka sangat bersemangat untuk “menceraikan” keduanya.
Pengingkaran mereka sangat nyata, baik bersifat total (mulhidah) atau pun tidak total (ghair mulhidah, agnostik) . Namun keduanya, sama-sama menggiring penganutnya untuk menjadi “sosok manusia” yang anti agama dan anti Tuhan (al-lâdiniyyah, atheisme) sebagaimana dijelaskan Muhammad Syakir Syarief dalam bukunya Al-‘Ilmâniyyât wa Tsamaruhal Khabîsat, Muhammad ‘Abdul Hadi al-Mishri mengurainya dalam Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah Minal ‘Ilmâniyyât, Prof. Safar al-Hawâli membentangkan dalam karyanya Al-‘Ilmâniyyât dan Mohammad Natsir dalam risalahnya Ikhtârû Ihdas Sabîlain; ad-Dînu auw al-Lâdîniyyah.
Dalam bahasa para ulama lain, mereka itu disebut pula dengan istilah kaum dahriyyûn, yaitu orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya, tidak mempercayai alam akhir dan beranggapan bahwa waktu (ad-dahr) itulah yang dapat menentukan segalanya dalam kehidupan. (Lihat: QS. Al-Jâtsiyah/ 45: 23-26).
Adapun prinsip dan gagasan yang ingin dibangun oleh gerakan liberalisme itu adalah: pentingnya menilai ulang dan merombak kembali ijtihad, berkomitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, menerima pluralisme sosial dan pluralisme agama, serta pemisahan agama dari partai politik. sebagaimana penelitian Greg Barton (Monash University Australia) dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran Neomodernisme Nurcholis Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid.
Dengan demikian, gagasan-gagasan tersebut melahirkan berbagai kerusakan terstruktur; hancurnya aqiedah Islam, runtuhnya bangunan syari’at, porak porandanya konsep al-Qur’an sebagai wahyu, hancurnya konsep dasar Islam, runtuhnya otoritas ulama dan membanjirnya dukungan terhadap kerusakan akhlaq akibat faham liberalisme dan relativisme moral (maraknya perilaku LGBT dan kawin sesama jenis di antaranya).
Dengan terbukanya kran kesesatan, menyebabkan munculnya tuduhan, bahwa “syari’ah Islam menjadi penyebab mundurnya kaum muslimin dikarenakan membatasi kehidupan dan tidak cocok bila diterapkan di abad ini.” Bukankah kalimat ini lebih mendekati kepada pemaknaan “agama adalah candu” sebagaimana pandangan para pengikut Karl Marx, Lenin, Stalin dan lainnya dari tokoh-tokoh Komunisme. Sikap semacam ini, menurut Syaikh Ibnu Baz dalam kitabnya Al-‘Aqîdatus Shahîhah wa Nawâqidhul Islâm bukan sekedar telah melakukan penistaan terhadap agama, melainkan dapat membatalkan ke-Islaman pelakunya.
Dalam konteks tanah air, kecaman serupa pernah dikeluarkan dalam Resolusi Muktamar ‘Alim Ulama se-Indonesia tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang yang memutuskan tentang ajaran komunisme, di antaranya bahwa “ideologi ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya.” Bahkan, seorang Kristen Syria yang sangat menaruh perhatian terhadap tanah air (waktu itu), Faris Al-Khaury (Mantan Ketua Dewan Keamanan PBB) pernah menuturkan dengan jujur: “Hanya Islamlah yang mampu membendung komunisme.” Demikianlah Prof. Dr. H.M. Rasjidi menukilkan dalam bukunya Islam Menentang Komunisme (1966).
Semua ini menunjukkan, betapa Islam adalah agama yang benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Tuhanan dan sekaligus mencegah manusia dari berbagai pandangan yang menggiring pada ajaran anti Tuhan. Karena itu, Islam menolak terhadap komunisme dengan segala bentuk ajarannya. Rabbanâ tsabbit qulûbanâ ‘alâ dînik …
_____
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta