Sabtu, Desember 7MAU INSTITUTE
Shadow

PRAKTEK JAMÂ’AH DAN IMÂMAH DALAM TIMBANGAN ‘AQÎDAH (Sebuah Pendekatan Literasi)

PRAKTEK JAMÂ’AH DAN IMÂMAH DALAM TIMBANGAN ‘AQÎDAH (Sebuah Pendekatan Literasi)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

Jatuh bangunnya penegakkan agama (iqâmatud dîn) dari masa ke masa senantiasa berjalan terus, seiring dengan lajunya semangat kaum Muslimin untuk tetap menjaga dan memelihara nilai agung ini; kerinduannya untuk dapat melaksanakan hukum syari’at merupakan dambaannya, hidup damai di bawah payung satu imâmah merupakan sesuatu yang diimpi-impikan.

Mutiara indah yang pernah menghiasi ratusan tahun ke belakang, kini tinggal kenangan jatuh di atas tumpukan peradaban zaman yang semakin banyak mengalami perubahan. Akankah kaum Muslimin menemukan kembali jejak sejarah yang hilang itu? Bukankah Rasûlullâh shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan isyaratnya, bahwasanya kaum Muslimin akan mengalami berbagai macam kekuasaan dan akan berakhir dengan Khilâfah ‘alâ minhâjin nubuwwah, yaitu kekuasaan di bawah sistem kenabian atau kekhilafahan seperti di zaman Nabi.

Dalam hal ini, shahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallâhu ‘anhu meriwayatkan hadits berikut:

تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة , فتكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها , ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها , ثم تكون ملكا جبريا فتكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها , ثم تكون خلافة على منهاج النبوة . ثم سكت

“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat/ menghilangkannya kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj Nubuwwah selama yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat (ada kezhaliman) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya apabila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya apabila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj Nubuwwah. Kemudian (setelah itu) beliau diam.” (HR. Ahmad 4/ 273 dan Ath-Thayalisi no. 439, dishahihkan oleh Al-Albâniy dalam Silsilah as-Shahîhah-nya).

Isyarat yang terakhir inilah yang banyak mengundang perhatian dan sekaligus harapan kaum Muslimin dalam menunggu kemunculannya. Salah satu sikap yang nampak dalam merespon isyarat ini, di antaranya munculnya kembali semangat pembentukan Khilâfah Islâmiyyah (pasca runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani tahun 1924) di berbagai belahan bumi Islam.

Namun di sisi lain, ada pula respon yang berlebih-lebihan, di mana sebahagian kaum Muslimin terjebak dalam kekeliruan ketika memahami pentingnya mewujudkan jamâ’ah dan imâmah, tergesa-gesa (isti’jâl, pragmatis) dalam menyatakan diri bahwa hanya kelompoknyalah jamâ’ah kaum Muslimîn yang sebenarnya, di mana menurut mereka lembaga keamiran yang shah sudah ditegakkan bersama pembai’atan imam-nya dan siapa saja mati belum berbai’at kepada imamnya, maka matinya mati dalam keadaan kufur, mati jahiliyyah.

Fenomena ini dalam sosiologi agama, merupakan satu kewajaran, di mana kevakuman sebuah kondisi akan memberikan peluang kepada kemunculan sebuah aksi protes yang terkadang aksi tersebut berubah menjadi satu gerakan yang menyimpang dan menjauh, bahkan menentang terhadap pemahaman Islam yang benar. Kemunculannya, justru merontokkan nilai-nilai suci yang dapat menghalangi lajunya penegakkan dînullâh yang kâffah. Maka dengan sendirinya cita-cita luhur membangun peradaban khilâfah ‘alâ minhâjin nubuwwah bisa menjadi gugur sebelum berkembang.

Semua itu dikarenakan keterlibatan hawa nafsu (ittibâ’ul hawâ), sehingga praktek kehidupan berjamâ’ah menjadi keluar dari teori yang seharusnya, di mana segala sesuatu sudah diselaraskan dengan kepentingan pribadi dan kelompok secara berlebihan (ghuluw, tafrîth).

Di antara sikap berlebihan (ghuluw) yang paling menonjol dalam masalah ini adalah sebagai berikut:

Pertama; Mengobral teks-teks ayat dan hadits Nabi terkait jamâ’ah dengan penafsiran yang diselaraskan dengan kepentingan kelompoknya secara serampangan. Dalam konteks Indonesia, terbitnya buku “Menunda Bai’at Merugikan Diri Sendiri dan Keluarga” (Buku ini memuat ayat-ayat dan hadits Nabi yang cukup banyak untuk mengokohkan keamiran Imam H. Nurhasan Ubaidah Lubis sebagai Imam Jamâ’ah yang shah, di mana kaum Muslimin wajib berbai’at kepadanya. Siapa saja yang menunda-nunda bai’at, berarti merugikan diri sendiri dan keluarga. Apabila seseorang mati belum berbai’at kepadanya, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyyah. (Lihat: Drs. Nurhasyim dalam keseluruhan isi buku tersebut yang diterbitkan oleh Pondok Burengan Banjaran Kediri Jawa Timur). Perhatikan pula kumpulan pidato dan rekaman Wali Al-Fattah yang disusun menjadi sebuah buku dengan judul “Khilâfah ‘Alâ Minhâjin Nubuwwah; Khilafah yang Mengikuti Jejak Kenabian Jalan Keluar Penyatuan Kaum Muslimin” (sebuah buku yang menggiring pada pengokohan Wali Al-Fattah sebagai imam kaum Muslimin), terbitan Al-Jama’ah tahun 1990. Atau bandingkan pula dengan pandangan Al-Ustadz Abdul Qadir Baraja’ dalam bukunya “Gambaran Global Pemerintahan Islam Khilafatul Muslimin (Khilâfah ‘Alâ Minhâjin Nubuwwah)”, terbitan RAP Surabaya, tahun 2001 dan pandangan Ibnu Sulaiman dalam bukunya “Mampukah Khilafat Mempersatukan Ummat?” (sebuah buku yang menggiring pada kekhilafahan Ahmadiyah), terbitan Jakarta: PT. Arista Brahmatyasa, tahun 1993.

Kedua; Merajalelanya pembai’atan yang sulit dipertanggungjawabkan, di mana seseorang atau pun kelompok yang menyatakan diri telah memiliki imam yang memenuhi persyaratan, di mana seluruh kaum Muslimin wajib berbai’at kepadanya, sekalipun imamnya masih misterius (majhûl). Untuk mengetahui imam yang sebenarnya, maka kaum Muslimin wajib masuk terlebih dahulu ke dalam kelompok tersebut. (Lihat: Majalah Risalah, Bandung no.1 tahun XXXI Dzulqa’dah 1413 H/ Mei 1993, hlm. 12 – 15 tentang “Salah Faham Bai’at dan Jama’ah” yang merupakan dialog dengan seseorang yang mengaku sebagai Imam dari Jama’ah Lembaga Kerasulan).

Ketiga; Menjamurnya budaya mudah mengkafirkan sesama Muslim (takfîrul muslimîn) dan yang semisal dengannya. Sekadar contoh; dalam tataran yang lebih global, terjadi di Mesir dengan nama Jamâ’atut Takfîr wal Hijrah dengan tokohnya Syaikh ‘Ali Ismail, Syukri Ahmad Musthafa (Abu Sa’ad) dan Mahir ‘Abdul ‘Aziz Zanati (Abu ‘Abdillah). Mereka memiliki faham yang sangat ekstrim; mengkafirkan para hakim, menganggap murtad orang yang keluar dari kelompoknya dan menghalalkan darahnya. Mereka menyebut masyarakat hari ini adalah masyarakat jâhiliyyah. Kaum Muslimin setelah abad IV H., adalah zaman kekufuran dan kejahiliyyahan, mereka pun menganggap seluruh masjid adalah “dhirâr” (dibangun atas dasar kemunafikan) dan semua imamnya kufur, sehingga mesjid tersebut tidak dapat dilaksanakan shalat jum’at. Masjid yang boleh digunakan jum’at hanya empat masjid saja yaitu: masjid Haram di Mekkah, masjid Nabawy di Madinah, masjid Quba’ di lembah Quba dan masjid Aqsha di Baitul Maqdis Palestina. Di sisi lain, mereka pun meyakini bahwa Syukri Musthafa merupakan Imam Mahdi ummat ini yang ditunggu-tunggu. Dari semua itu, yang paling menonjol adalah konsep pengkafiran (takfîr) dan hijrahnya, sehingga membuat mereka lebih dikenal dengan sebutan Jamâ’atul Muslimîn (At-Takfîr wal Hijrah). Kelompok ini menyebar di Mesir dan sebahagian negara-negara Arab seperti Yaman, Yordania dan al-Jazair. (Lihat: Mani’ Ibnu Hammad al Johany et.al. dalam Al-Mausû’at al-Muyassarah fil Adyân wal Madzâhib wal Ahzâbil Mu’âshirah, hlm. 336 – 340, Lihat pula: Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawy dalam Zhâhiratul Ghuluw fit Takfîr).

Masih banyak kasus-kasus dan pemikiran rancu (tahâfut) lainnya yang serupa (baik tataran lokal atau pun lebih mendunia), yang jelas semua itu dikarenakan keterlibatan hawa nafsu yang melahirkan fanatik buta, baik fanatik kelompok atau pun fanatik tokoh tertentu (ta’asshub hizby dan ta’asshub syakhsi). Tidak diragukan lagi, (dalam pandangan para ulama) sikap seperti ini merupakan sikap asli yang biasa dianut pengikut hawa nafsu (ahlul ahwâ), pemecah belah ummat (ahlul firqah), pembuat bid’ah (ahlul bida’) dan pembuat kerusakan dan kesesatan (ahlud dhalâl), di mana mereka semakin bangga dengan kesesatan yang dibuatnya, padahal hakikatnya merekalah orang-orang yang dimaksud oleh Allah ‘azza wa Jalla dalam ayat-Nya: “Wa kânû syiya’an kullu hizbin bimâ ladaihim fârihûna” yang diwanti-wantikan untuk dijauhi. (Lihat: Ibnu Katsîr 2/ 230, Al-Manâr 8/ 214 – 215, Al-Marâghi 8/ 83 – 84, Shafwatut Tafâsîr 2/ 478 dan Al-Himshi, hlm. 150).

Allah ‘azza wa jalla mengingatkan dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْادِيْنَهُمْ وَ كَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِى شَيْئٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberi tahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”. (QS. Al-An’âm/ 6: 159).

Dalam ayat lain, Allah ‘azza wa jalla menegaskan:

وَلاَ تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَ كَانُوْا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah; yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan mereka bangga dengan apa yang ada pada golongannya (mereka) itu.” (QS. Ar-Rûm/ 30: 31 – 32).

Sungguh benar apa yang disabdakan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan tidaklah sikap berlebihan seperti itu dimunculkan, melainkan akan terjadi kebinasaan seperti binasanya ummat masa lalu.

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ

“Jauhilah olehmu sikap berlebih-lebihan (ghuluw, ekstrim) dalam memahami agama, sesungguhnya kebinasaan ummat sebelum kamu karena perbuatan berlebih-berlebihan seperti itu.” (HR. Muslim).
________________

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqîdah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

  • Memang melihat fenomena ummat yang begitu terpecah belah saat ini, tak ada jalan lain selain kembali pada Qur’an dan Sunnah Shahihah dengan hikmah wal mauizhatil hasanah..cukuplah Allah yang jadi penolong

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!