KHILÂFAH; ANTARA FITHRAH, IRÂDAH DAN IKHTIYÂR
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Di antara kewajiban pokok Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, di samping mewujudkan peradaban manusia dengan keluhuran moral (mashâlihul akhlâq), juga melanjutkan penyampaian wahyu (tablîgh), penerapan ajaran (tanfîzh), pembentukkan manusia seutuhnya (takwîn) dan penegakkan, serta pengawalan agama (iqâmah).
Semua itu, tentu sangat membutuhkan bingkai yang memayunginya di mana langkah-langkah strategis (al-khuthuwât al-istirâtijiyyât) perlu dijalankan. Itulah kekuatan al-jamâ’ah (jamâ’atul muslimîn), yang Imam As-Syâthibi dalam Al-I’tishâm dan Al-Muwâfaqât menyebutnya sebagai “idzâ ijta’amatil ummah ‘alâ amîrin wâhid”, yaitu apabila ummat sepakat atas satu kepemimpinan. Ketika pemimpin itu kosong, maka wajib ada pemimpin pengganti (khalîfah) sebagaimana diisyaratkan Imam Muslim dalam Jâmi’ Shahih-nya, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وستكون خلفاء فتكثر
“Dahulu Bani Israil diatur hidupnya oleh para Nabi, setiap seorang Nabi meninggal, dia digantikan oleh Nabi lainnya, dan sesungguhnya tidak ada Nabi setelahku. Dan akan ada para khalifah dan jumlah mereka akan banyak.” (HR Muslim, no. 1842 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anh).
Maka wajarlah apabila Imam Al-Ashbahâni memaknai Al-Khilâfah dengan “an-niyâbatu ‘anil ghairi immâ lighaibatil manûbi ‘anhu auw limautihi auw li-‘ajzihi auw litasyrîfil mustakhlaf”, yaitu menggantikan kedudukkan yang lain dikarenakan absen, meninggal, lemah atau pun karena memuliakan orang yang diganti.
Namun demikian, riwayat lain menyebutkan bahwa kekhilafahan itu hanyalah 30 tahun, adapun berikutnya adalah raja-raja (al-muluk), sekalipun aroma kekhilafahan tetap melekat ada walaupun karakteristiknya sudah tidak seperti 30 tahun yang disebutkan. Hal ini sebagaimana diinformasikan oleh Imam As-Suyûthi dalam Târikhul Khulafâ berikut ini:
الخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم تكون ملكا
“Masa kekhilafahan (yang ada pada umat) sepeninggalku adalah 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Bazzâr, At-Thabarâni dan Abû Dâwud)
Dengan demikian, khilâfah bukanlah barang baru, melainkan istilah agama (musthalahat syar’iyyah) yang sudah ada sejak Nabiyullâh Adam ‘alahis salâm sampai Nabi akhir zaman, para salafus shâlih, hingga zaman sekarang ini, bahkan sampai hari akhir.
Masalahnya, apakah khilâfah itu merupakan tujuan (ghâyah) atau metode dan media untuk meraih tujuan (tharîqah, wasîlah). Bagi yang memahami bahwa khilafah itu tujuan, maka khilafah itu merupakan “harga mati” yang wajib didirikan.
Adapun yang memahami khilâfah itu sebagai metode, kewajiban menegakkan khilâfah ini dimaknai dengan “at-takyîfu bi-iqâmatis syarî’ah”, yaitu usaha bagaimana syari’ah itu bisa ditegakkan, sekalipun bentuknya tidak mesti kekhilafahan (dalam kata lain menegakkan khilafah itu bersifat ijtihâdiyah).
Dalam konteks modern, kelompok pertama dianut di antaranya oleh Jamâ’atul Muslimîn (At-Takfîr wal Hijrah) di Mesir dengan tokohnya Syaikh Syukri Ahmad Musthafa, Syaikh Ali Ismail dan Mahir Abdul Aziz Zanati dkk. Hizbut Tahrîr di Yordania dengan tokohnya Syaikh Taqiyuddîn Nabhani, Syaikh ‘Abdul Qadir Zallum dkk. Adapun dalam skala lokal/ nasional, dulu dianut oleh SM. Kartosuwiryo dengan Dârul Islâm-nya, Nurhasan Ubaidah Madigol Lubis dengan Islam Jamâ’ah-nya, Wali Al-Fattah dengan Jamâah Muslimîn-nya dan ‘Abdul Qadir Baradja dengan Khilâfatul Muslimîn-nya. Kesamaan di dalamnya bukanlah bersifat muthlaq adanya, melainkan kesamaan yang bersifat irisan di mana kemunculannya pun berbeda latar belakangnya.
Kelompok kedua, dianut oleh Ikhwânul Muslimîn di Mesir dengan tokohnya Syaikh Imam Hassan al-Banna dkk., Jamâ’at Islâmi di Pakistan dengan tokohnya Sayyid Abul A’la al-Maududi. Adapun dalam konteks sejarah nasional, berdirinya Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan tokohnya Dr. Mohammad Natsir dkk., yang berhasil menunjukkan kepada dunia akan kepiawaian dalam memberikan wawasan Islam integral tanpa meninggalkan spirit kebangsaan (ke-Indonesiaan), dan seluruh dunia Islam mengakuinya.
Babak berikutnya baru disusul oleh gerakan-gerakan tarbiyah, yang dalam dinamikanya kini berubah menjadi partai-partai dakwah yang tidak dapat dipisahkan dari gerakan induknya. Adapun ormas-ormas Islam (berhaluan Masyumi), secara umum berada di dalam kategori yang kedua ini pula.
Tanpa menegasikan pandangan satu sama lain, apabila ditelisik dari kedudukkannya, maka istilah (musthalahat, term) khilâfah ini dapat dipetakan menjadi:
1. Khilâfah itu merupakan fithrah dari Allah ‘azza wa jalla (fithratan minallâh); Hal ini dibuktikan dengan dipercayanya Nabiyullah Adam ‘alaihis salâm dan keturunannya sebagai pemimpin, pelaksana ajaran dan pemakmur bumi seiring dengan ilmu yang dianugerahkan sebagaimana dalam firmanNya:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 30).
Imam At-Thabari berkomentar; “Manusia yang menumpahkan darah, berbuat kerusakan dan tidak memahasucikanNya, mereka adalah manusia yang gagal untuk menjadi khalifatullâh fil ardh.”
2. Khilâfah itu merupakan kehendak dan janji Allah ‘azza wa jalla (irâdatan wa wa’dan minallâh); Hal ini ditujukan pada mereka yang telah berusaha menjadi orang-orang beriman dan beramal shalih, menegakkan tauhîd dan menjalankan syari’ahNya. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS. An-Nûr/ 24: 55).
3. Khilâfah itu merupakan upaya yang sungguh-sunguh dari orang-orang yang berjuang di jalan Allah (ikhtiyâran wa juhûdan fî sabîlillâh); Hal ini diwujudkan dengan berbagai usaha yang didorong atas dasar wajibnya menjalankan kesempurnaan agama. Dengan merujuk firmanNya:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabût/ 29: 69).
Dalam hal ini, para ahli Ushul Fiqih membawakan qaidah yang masyhur sebagai berikut: “Mâ lâ yatimmul wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun”, artinya tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan yang lain, maka mengupayakan yang lainnya itu menjadi wajib. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan perkara ini dalam kitabnya As-Siyâsah as-Syar’iyyah sebagai “Min a’zhami wâjibâtid dîn”; yakni kewajiban agama yang paling agung.
Dengan demikian, khilâfah itu adalah berbagai upaya yang sungguh-sungguh dari orang-orang beriman dalam menegakkan agama atas landasan ilmu, amal dan semangat Tauhîd sehingga aturan dunia dapat tertata dengan baik (khilâfah kauniyyah) dan penghuninya mampu menjalankan ajaran-ajaran agama (khilâfah syar’iyyah).
Wallâhu a’lamu bis shawwâb
_____________
*) Makalah ini ditulis sebagai materi “Seminar Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan” di Pesantren Persatuan Islam Cibatu Garut Jawa Barat