ISLÂMIYYATUL MA’RIFAH; IKHTIAR MENUJU ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Sejak pertama kali wahyu diturunkan di gua Hira Makkah, Al-Qur’ânul Karîm mengawali ayatnya dengan perintah membaca dan membaca secara berulang. Ini menunjukkan betapa kitab suci sangat perhatian terhadap kunci ilmu pengetahuan tersebut. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)5
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq/ 96:1-5)
Di samping berbicara tentang kaitan Allah sebagai Dzat yang menciptakan manusia dan proses menciptakannya, juga berbicara pentingnya keterlibatan alat sebagai media belajar. Berikutnya diikuti dengan penjelasan bahwa sebenarnya manusia tidak mengetahui sesuatu yang akan diajarkan oleh Yang maha kuasa.
Apa-apa yang mesti diketahui manusia, sangatlah banyaknya; Terbentang luas dari ujung ke ujung, yang manusia sendiri sangat terbatas untuk mengetahuinya. Hal ini Allah ‘azza wa jalla tegaskan dalam ayatNya:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidakkah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat/ 41: 53)
Semua itu menunjukkan, bahwa konsep ilmu dalam Islam, memiliki perbedaan dengan konsep ilmu lainnya. Membicarakan Islamisasi pengetahuan tidak akan lepas membicarakan konsep ilmu dalam Islam. Rusaknya kehidupan dunia, diakibatkan karena rusaknya ilmu. Dalam Islam, ilmu tidak netral dan tidak bebas nilai (value free). Ilmu terikat dengan nilai-nilai tertentu (value laden) yang berupa paradigma, ideologi atau pemahaman seseorang.
Dr. Ir. Budi Handrianto dalam bukunya Islamisasi Sains menyebutkan: “Suatu kenyataan yang janggal, seseorang membahas Islamisasi pengetahuan namun ia berpendapat bahwa ilmu itu bebas nilai. Pada kenyataannya mengingat sifat ilmu dapat dinaturalisasi, ilmu pengetahuan kontemporer -termasuk di dalamnya sains- telah terbaratkan (westernized) atau telah disekularisasi.” (Lihat: Budi Handrianto, 2010: hlm. 41)
Mengembalikan konsep ilmu yang telah ter-Baratkan atau telah menjadi sekuler, merupakan sebuah keniscayaan. Dalam pandangan para ilmuwan Muslim, westernisasi berimplikasi pada marjinalisasi peradaban Islam. Upaya mengembalikannya adalah tidak lain dengan melakukan dewesternisasi, yakni melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Mengapa demikian? Jawabannya adalah, karena ilmu-ilmu ke-Islaman (turâts Islâmi) sudah terikat dengan Tuhan dengan sendirinya.
Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya Islamisasi Ilmu-ilmu Kontemporer dan Peran Universitas Islam dalam Konteks Dewesternisasi dan Dekolonisasi menuturkan, bahwa konsepsi intelektual tentang Islamisasi pengetahuan masa kini, memang merupakan salah satu kontribusi paling revolusioner dan orisinal dalam pemikiran Muslim modern. Menurutnya, Sains Barat modern secara alami telah atheis, karena itu perlu di-Islamkan. (Lihat: Wan Mohd Nor, 2013: hlm. 31-32)
Dalam perjalanannya, misi Islamisasi Ilmu pengetahuan mengalami pembabakan berikut; tahun 1930 sudah mulai diperdengarkan oleh Dr. Sir Muhammad Iqbal, tahun 1960 Seyyed Hossein Nasr mulai membincangkan terkait “konsepsi Islam tentang kosmos”, berikutnya tahun 1981 Prof. Dr. Ismail Râji al-Faruqi mendirikan The International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Pennsylvania Herndon Virginia Washington DC. dan mempopulerkannya ke banyak bagian negara Muslim. Selanjutnya, disempurnakan secara definitif oleh Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai berikut: “Membebaskan manusia pertama-tamanya dari tradisi magis, mitos, animistik, kultur nasional, lalu membebaskan dari jeratan sekular yang membelenggu akal dan bahasanya … Inilah perbedaan antara Islam dan sekularisme.” (Wan Mohd Nor, 2013: hlm. 33)
Adapun pendekatan Islamisasi sains modern, apabila dipetakan menjadi beberapa kategori, yaitu:
1. Instrumentalistik
Pendekatan ini lebih mengedepankan pandangan bahwa ilmu atau sains, hanyalah sebagai alat semata. Menurut Sayyid Jamaluddin al-Afghani, harus dibedakan antara teknologi Barat dengan ideologi Barat.
2. Justifikasi
Pendekatan ini lebih mengedepankan pada pentingnya “membubuhkan ayat suci” pada sains atau “ayatisasi sains” seperti halnya dilakukan Maurice Bucaille.
3. Sakralisasi
Pendekatan ini lebih mengedepankan pandangan bahwa iman tidak dapat terpisah dari ilmu, dan intelektual itu tidak terpisah dari iman. Seyyed Hossein Nasr termasuk dalam barisan ini.
4. Integrasi
Pendekatan ini lebih mengedepankan pandangan bahwa konsep Tauhid, penciptaan, kebenaran, ilmu pengetauan kehidupan dan kemanusiaan, merupakan sesuatu yang terintegrasi. Ismail Râji al-Faruqi merupakan tokoh pada kelompok ini.
5. Paradigma
Pendekatan ini lebih mengedepankan pandangan bahwa konsep Islamisasi sains yang paling mendasar dan menyeluruh adalah pendekatan berdasarkan paradigma dan bersifat epistemologis, di mana kerusakan ilmu yang diakibatkan dari refleksi kesadaran pengalaman manusia Barat. Jadi, sains modern harus di-Islamkan. Tokoh peletak dasar barisan ini adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas. (Lihat: Budi Hardianto, 2010: hlm. 160-177)
Untuk lebih optimalnya misi Islamisasi Ilmu pengetahuan ini, Prof. Dr. Ir. AM. Saefuddin (Guru Besar IPB dan Tokoh Islamisasi Kampus di Indonesia) memaparkan pandangannya, bahwa konsep sains yang utuh, harus memenuhi tiga karakteristik berikut:
Pertama; Sains harus berorientasi pada dasar nilai-nilai yang mencakup di dalamnya fakultas fikir dan fakultas dzikir. Fakultas yang pertama menggunakan metode ilmiah, sedangkan fakultas yang kedua menggunakan metode propetik.
Kedua; Sains harus memiliki tujuan penemuan dan pengukuhan paradigma, serta premis intelektual yang berorientasi kepada nilai dan mampu membuktikan dirinya kepada pembaharuan dan pembangunan masyarakat.
Ketiga; Sains harus berguna bagi tujuan-tujuan tertentu yang sesuai dengan kebenaran dan berada dalam posisi fungsi terdepan untuk menunjang perubahan dan pembangunan, serta membantu memperbaiki dunia. (Lihat: AM. Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus, 2010: hlm. 320-321)
Maka sangatlah wajar, bangsa yang berjaya, berdigdaya dan berwibawa hanya akan muncul apabila di dalamnya dipenuhi cerdik pandai yang beradab; Bukan hanya ia bertanggung jawab terhadap ilmunya, melainkan lebih bertanggung jawab lagi pada Tuhannya (Rabbul ‘âlamîn). Bukan sekedar menghidupkan ilmu-ilmu dunia yang bersifat perantara sebagai media di bumi (wasâil), melainkan terintegralkan dengan ilmu-ilmu syar’i yang bersifat memiliki tujuan langsung kepada Tuhannya (maqâshid).
Dua pintu ilmu yang Allah ‘azza wa jalla anugerahkan kepada manusia itu; baik melalui pintu wahyu sebagai cahaya langit atau pun melalui pintu akal sebagai cahaya bumi, keduanya merupakan cahaya Allah yang mampu menerangi (Allâhu nûrus samâwâti wal ardh). Karenanya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menguraikan QS. An-Nûr/ 24: 35 ini melahirkan definisi yang menarik dan mencakup keduanya terkait ilmu. Menurutnya:
ان العلم ما قام عليه الدليل، والنافع منه ما جاء به الرسول. فالشأن في ان نقول علما وهو النقل المصدق والبحث المحقق
“Sesungguhnya ilmu itu adalah apa yang bersandar pada dalil, dan yang bermanfaat darinya adalah apa yang datang dari Rasûlullâh. Maka sesuatu yang bisa kita katakan ilmu adalah penukilan yang benar dan penelitian yang akurat …” (Lihat: Ibnu Taimiyyah, Majmû Fatâwâ, 1997: Jilid 6, hlm. 388)
Untuk mewujudkan dan menentukan eksistensi dan superiotas suatu bangsa dimaksud, Prof. John Louis Esposito (Guru Besar Hubungan Internasional dan Studi Islam di Georgetown Washington DC.) mengakui bahwa ada tiga pilar utama yang mampu mendorong lahirnya kejayaan suatu bangsa:
Pertama; Keyakinan atau pandangan bangsa itu terhadap hal-hal yang bersifat unggul (supreme), keberadaan manusia dan realitas alam semesta.
Kedua; Kemampuan bangsa tersebut dalam meng-interpretasikan secara intelektual dan saintifik atas keyakinan tersebut dalam realitas kehidupan.
Ketiga; Adanya manusia-manusia par exellence yang berani dan cerdas untuk mendasarkan hidupnya atas keyakinan agama yang diyakininya secara penuh komprehensif. (Lihat: John L. Esposito [ed.], Sains-sains Islam: 2004)
Sebenarnya, apabila bertolak pada term yang digunakan wahyu, generasi harapan yang the best itu adalah sejatinya insan ûlul albâb dengan segala kriterianya. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal [ûlul albâb].” (QS. Âlu ‘Imrân/ 3: 190)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah [dzikr] sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan [tafakkur] tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Âlu ‘Imrân/ 3: 191)
____________
*) Materi disampaikan sebagai pendamping Muhâdharah pada Kuliah Filsafat Pendidikan Islam Prodi PAI di STAI Persatuan Islam Jakarta