BAHAYANYA CORONA DAHSYATNYA DO’A
Ketika masih remaja kecil, sehabis ngaji bakda shubuh di Masjid Pesantren; teman-temanpun berhamburan berkejaran menuju kebun, tak terkecuali diriku. Buah mangga yang setiap pagi berjatuhan sudah menunggu untuk diburu dan dipungut, biasanya sudah “dihalalkan” sama yang empunya, terlebih sisa kelelawar atau “codot”.
Biasanya tak pikir panjang, jangankan ingat virus seksi bernama “corona” atau covid-19 (yang disebutkan oleh sebagian para ahli bahwa penyebarannya bisa melalui kelelawar), mencuci terlebih dahulu pun tak sempat melakukannya. Biasanya, langsung “dipotek” dan dibuang sisa gigitan codotnya, lalu dikupas mangganya … “Wadduuhhh uenak dan manis banget rasanya”. Apakah jatuh sakit siangnya atau sorenya?? Tidak sama sekali. Itu tempo doeloe, ntahlah sekarang … Tentu mengikuti saran para ahli virus lebih baik, di mana mulai saat ini untuk tidak mengkonsumsinya.
Dulu, orang tua kita sering mengingatkan: “Nu penting mah barudak, maraneh tong poho ngado’a ka Gusti Alloh, dijamin salamet”. Itulah cuplikan masa lalu yang hampir semua kita (sebelum saba kota) mengalaminya.
Terkait wabah yang semakin menjalar (para ulama menyebutnya: wabâ’, thâun) tidaklah cukup dengan ikhtiar medis belaka, melainkan harus selalu melibatkan kekuatan yang tidak bisa diindera dan terkadang tidak dapat ditembus dengan logika. Itulah yang kata orang sonoh menyebutnya dengan kekuatan transenden. Kekuatan itu, tidak lain adalah do’a dan kepatuhan lainnya.
Benar, ungkapan Imam Syafi’i rahimahullâh berikut ini:
ما رايت شيئا انفع للوباء من التسبيح
“Aku tidak melihat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk menghadapi peristiwa menjalarnya suatu wabah selain dari memahasucikan Allah ‘azza wa jalla [bertasbih, berdo’a].” (Riwayat Abu Nu’aim, Hilyatul Auliyâ 7/ 275)
Oleh karenanya, di samping kita terus berupaya menjaga kesehatan, mengatur pola makan-minum, mengikuti saran dokter dan hidup sehat dengan berolah raga, jangan lupa untuk senantiasa berdo’a. (TenRomlyQ., Perjalanan sore hari Jakarta-Bekasi: Rabu, 4/ 03/ 2020)
Baarokallohu fiik