KEMBALI KE FITHRI BUKAN KE LAIN HATI (Kiat Menjaga Jiwa di Hari Bahagia)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Di antara sekian nikmat yang dianugerahkan kepada manusia adalah nikmat diberikannya harapan fithrah untuk kembali pada diri. Walau selain manusia pun mendapatkannya, namun yang diterima manusia jauh lebih besar dan lebih berarti dibanding yang diberikan kepada makhluk lainnya. Terlebih dalam suasana fithri seperti ini, sekalipun perayaannya tidak semeriah hari raya biasanya.
Memang benar, kaum Muslimin kalau menyebut hari lebaran setelah shaum ramadhan, dengan sebutan ‘iedul fithri. Tapi kalau ditanya, perasaan apa yang dirasa jiwa di hari tersebut? Maka jawabannya adalah “serasa kembali lagi ke fithrah”. Dengan demikian terjawab sudah, bahwa antara fithri dengan fithrah itu serupa tapi tidak sama. Fithri lebih bermakna pada fungsi, sedangkan fithrah lebih pada makna harapan. Dikatakan ‘iedul fithri, dikarenakan hari itu, semua orang yang sudah menunaikan shaum merayakannya dengan berbuka. Adapun fithrah, adalah makna yang terkandung dalam pesan harapnya. Untaian kalimat “Semoga diri ini kembali suci”, merupakan kalimat yang sering kali tertuturkan dalam uraian kata-kata lisan orang yang tengah berlebaran.
Fithrah menurut kitab-kitab kamus beragam maknanya; bersih, suci, asal kejadian, awal penciptaan, tabiat asli dan lain-lain. Semua itu benar, mengingat kata “fithrah” di dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 20 kata dengan segala varian yang beragam maknanya.
Dari sekian makna fithrah, di antaranya terkait dengan keyakinan manusia yang wajib dipelihara, yakni fithrah beragama atau yang sering disebut para ulama “fithrah bertauhid”. Allah ‘azza wa jalla ungkapkan dalam firmanNya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama [Allah]; Tetaplah atas fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah, itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rûm/ 30: 30).
Para mufassir dalam memberikan paparannya sering membawakan hadits Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam berikut ini: “Setiap yang dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka tergantung siapa yang membawanya [abawâhu]; apakah jadi Yahudi, Nashrani atau Majusi” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Syaikh ‘Abdullah bin Jârullâh al-Jârullâh ketika mengantarkan ayat ini, beliau mengatakan: “Allah Ta’âla memerintahkan untuk istiqamah, senantiasa fokus menuju agama yang kokoh dan berpaling dari selainnya. Fithrah Allah ini yang menyebabkan manusia harus demikian, dikarenakan agama inilah yang mengajarkan kecintaan sesungguhnya kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Lihat: Ad-Durah Fî Sunanil Fithrah, 1412: hlm. 3)
Dalam memaknai kata “fithrah”, memiliki beberapa pendekatan yang satu sama lain berkaitan:
1) Pendekatan ‘aqiedah; fithrah berarti al-Islâm atau at-tauhîd. Dikatakan juga dengan ad-dînul qayyim atau ad-dînul khâlish yang bermakna agama yang kokoh dan murni sebagaimana pandangan Imam Al-Bukhari dan para ulama umumnya. Bahkan Syaikh Utsman ‘Ali Hassan memaparkan, bahwa “fithrah” merupakan sumber kebenaran di samping “wahyu” dan akal yang selamat (al-‘aqlus salîm). Demikian dituturkan dalam kitabnya Mashâdirul Istidlâl ‘alal Masâilil I’tiqâd.
2) Pendekatan syari’ah (fiqih); fithrah berarti bersih (thahârah), yang menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Tuhfatul Wadûd bi Ahkâmil Maulûd, memiliki dua pengertian; fithrah yang terkait kebeningan hati dan kesucian jiwa, juga fithrah yang terkait dengan amalan yang mengharuskan bersihnya badan dari kotoran dan najis. Karenanya ada hadits yang menyebutkan “10 kebersihan dalam Islam (‘asyaratun minal fithrah)” dan “Lima kebersihan dalam Islam; khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, membersihkan bulu ketiak dan merapihkan kumis.”
3) Pendekatan thâqah insâniyah; yakni fithrah yang berarti potensi manusiawi yang dimiliki makhluk yang punya nafsu dan syahwat (homo animale), memiliki akal pikiran (homo rationale) dan memiliki hati untuk merasa (homo somatica).
Dengan potensi jiwa manusiawi ini, sebagian para ulama menyebutnya dengan al-fithrah al-insâniyyah yang memiliki kecenderungan untuk mencintai hidup, menghambakan diri pada sesuatu, mencintai tanah kelahiran, mencintai lawan jenisnya, mencintai sesuatu yang dibanggakan dan disukai (anak dan harta misalnya), senang berkumpul dan lain-lainnya. (Al-Jârullâh, hlm. 9 – 12)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebut fithrah yang terkait dengan ketentuan yang Allah turunkan dalam hal ‘aqidah dan syari’ah dengan sebutan “fithrah munazzalah”. Adapun yang terkait dengan potensi yang dimiliki manusia sejak lahir, disebut “fithrah gharîzah”, di mana sebagian ulama menyebutnya dengan “fithrah mukhallaqah”.
Dalam Islam, hubungan keduanya (munazzalah dan mukhallaqah/ gharîzah) sama-sama memiliki kedudukan penting; yang pertama sudah menjadi ketentuan Allah bahwa hakikat manusia ada dalam agamaNya yang fithrah, yang kedua sudah menjadi kewajiban manusia mengerahkan segala potensinya untuk menjaga dan mengawal agar tidak keluar dari fithrah yang diajarkan agamaNya.
Hubungan fithrah dengan fithri, keduanya terasa begitu sangat sinergi dalam suasana hari raya yang kita rasakan; mulai dari adanya kewajiban seorang Muslim membayar zakat fithrah, yang para ulama fiqih lebih cenderung menyebutnya zakat fithri. Semua itu, semata-mata karena ada hubungan erat yang terkandung dalam keduanya. Zakat tersebut dikeluarkan dan dibagikan bakda shubuh di hari raya (menurut waktu yang afzhal), dengan tujuan bisa berbagi bersama menyambut hari bahagia. Istilahnya adalah, jangan sampai dalam suasana hari raya masih ada “dapur yang tidak ngebul” atau masyarakat yang bermuram durja karena kesusahan dan kelaparan.
Benar, apa yang disampaikan Dr. Abdurrahman Al-Jîran dalam artikel yang ditulisnya di harian Al-Anbiyâ Kuwait, bahwa luapan kegembiraan di saat hari raya itu merupakan cara Allah ‘azza wa jalla untuk memberikan hidup seimbang dalam kehidupan Muslimin (al-muwâzanah fil hayâtil muslim) yang setiap tahunnya pasti berulang.
Dengan demikian, di tengah-tengah hari bahagia ini, semoga kita tidak termasuk orang-orang yang mudah pindah ke lain hati. Tetap bersama fithri untuk meraih berkahnya fithrah yang sangat berharga nilainya. Menjaga fithrahNya, berarti telah menyelamatkan dan mengawal diri ini menuju kebahagian yang hakiki. Wallâhu a’lam bis shawwâb
____
*) Naskah ini ditulis oleh Alfaqîr fillâh bakda zhuhur, hari Ahad, 01 Syawwal 1441 H. bertepatan dengan tanggal 24 Mei 2020 M di kediaman Komplek Pusdiklat Dewan Da’wah Bekasi 17510 Jawa Bara
[…] Sumber : MADRASAHABI-UMI.COM […]