MAN ANAA LAULAAKUM; “SIAPAKAH DIRIKU, TANPAMU AKU BUKAN SIAPA-SIAPA”
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Terlepas dari perbincangan yang selalu hangat di kalangan para penuntut ilmu, apakah hukum memperingati dan mengucapkan selamat atas sesuatu momentum atau peristiwa yang dianggap sakral (selain yang dinyatakan keharamannya oleh sebagian ulama). Namun, mengambil faidah (istifaadah) terhadap segala yang terjadi, itulah yang harus lebih diutamakan ketimbang sibuk memperingatinya.
Hari Guru Nasional telah lewat beberapa hari yang lalu di bulan ini, demikian pula Hari Ayah, Hari Santri dan hari-hari lainnya. Termasuk hari-hari yang akan datang kemudian, telah menyusul momentum lain.
Ada yang menarik perhatian di antara tulisan berupa meme dan tayangan youtobe yang beredar terkait hari Guru; Ada teman ikhwan di WA Group mengirim pesan menawan dengan kalimat: Laulal murabbi maa ‘araftu Rabbi, “Kalaulah bukan karena sang Guru, maka aku tidak mengenal Tuhanku”. Lalu, tak lama kemudian temen akhwat satu angkatan mengirimkan nasihat menggugah berupa kalimat: Man ana laulaakum, “Siapakah aku tanpa engkau (para Guruku)”. Bahkan ada murid istimewa yang menyampaikan pesan khususnya: “Teruntuk Guru yang selalu ada di hatiku”. Dikatakan istimewa, karena cukup unik pesannya. Tanpa merubah maknanya, ditemukanlah makna yang lebih menyentuh qalbu yang teramat dalam. “Tanpamu, aku bukan siapa-siapa”.
Selain itu, ada pula jamaah taklim mengirim unggahan youtobe komedi berupa wayang golek Sunda, di mana si Cepot dengan suara kocaknya memberi nasihat: “Moal aya nu jadi presiden, mentri, gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, RW nepi ka RT iwal diajar maca, nulis jeung ngitungna ku Guru. Ku sabab kitu hargaan Guru jeung sajahterakeun ku urang sararea”. Papar Ki Dalang penuh guyon.
Itulah ungkapan ekspresif yang menunjukkan betapa “seorang Guru” benar-benar telah mampu melabuhkan dirinya di hati ummat hingga didefinisikan oleh khalayak sebagai pelita yang menerangi, ilham yang mencerahkan, bahkan dijadikan sebagai simbol mercusuar peradaban. Semua itu tidaklah berlebihan, karena memang guru sejati adalah guru yang “digugu dan ditiru” sebagai cerminan ketauladanan sesungguhnya.
Kalau membicarakan “Guru”, sudah.pasti teringat para Tuan guru yang telah mencurahkan pengetahuan sepenuh keikhlasan, nasihat mulia, bimbingan akhlaq luhur, kepemimpinan dan ketauladanan. Sekedar contoh, ungkapan “Silahkan anda ke pasar, kami mengajar”, “Didikan itu bukan dadakan”, “Tidak ada ulama di bangku pesantren, ulama itu kalau telah teruji di lapangan”. Ujar Ustadzah Hj. Aminah Dahlan (istri KH. Sjihabuddin Tarogong) menirukan Gurunya KH. E. Abdurrahman Bandung. Atau kalimat “Moal jadi jalma pinter mun ngedul maca” (nasihat KH. Usman Sholehuddin Gumuruh) dan lain-lain. Semua itu laksana mutiara indah yang selalu menyinarkan cahaya menembus gelapnya gulita.
Betapa mulia dan terhormatnya seorang Guru, mengingatkan pada wejangan seseorang yang pernah mengajariku sewaktu di kelas doctoral UIKA Bogor (belum selesai) dengan mendiskusikan buku yang ditulisnya. Beliau ini Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam, tulisannya sangat populer, judulnya: Filsafat Pendidikan Islami. Menurutnya, “Guru itu laksana Tuhan”, sekalipun kata-kata ini diralatnya dengan tafsiran: “Maksudnya sifat-sifat baik yang ada pada Tuhan, itulah sifat dan karakteristik yang wajib dimiliki seorang Guru” di mana seorang Guru diharapkan wajib memiliki ketauladanan sempurna tanpa cacat.
Itulah Prof. Dr. Ahmad Tafsir yang sering memaknai Guru dengan melakukan pendekatan sufistik. Sekalipun pandangan ini sempat mengundang tanya dan kekhawatiran karena aromanya terasa berlebihan, namun akhirnya bisa dipahami setelah terlibat perdebatan kecil dengan beliau, di mana maksudnya saking ingin menempatkan “sang Guru” pada posisi yang mulia dan utama. Lalu, beliau pun bertanya: “Mengapa masyarakat Jepang tertradisikan, setiap bapak atau ibu Guru lewat di depan mereka, pasti membungkukkan badannya dengan membuka penutup kepala yang dipakainya?” Beliau pun menjawabnya sendiri: “Bagi masyarakat Jepang, Guru adalah titisan para dewa”. Imbuhnya dengan penuh wibawa sambil sedikit tersenyum.
Sudah tentu, dalam Islam seorang Guru sejati adalah seseorang yang benar-benar mendedikasikan hidupnya berkhidmat untuk meraih ridha Tuhannya. Membimbing manusia dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari sedikit tahu menjadi “tahu banyak” sebagaimana diisyaratkan shahabat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhumaa dan para tabi’in yang mengikutinya. Karena itu, Ibnu Taimiyyah rahimahullaah menyebutnya dengan istilah ‘Aalimun Rabbaaniyyun, yakni seorang pemberi ilmu yang senantiasa menjadikan Rabb di atas segalanya.
Benar apa yang dituturkan seorang ulama pendidik Al-Haafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullaah berikut ini: “Kalaulah ada jihad yang lebih dahsyat setelah memanggul senjata di medan laga, mengusir musuh di medan tempur. Itulah menuntut ilmu dan mengajarkannya”. Wallaahu a’lam bis shawwaab … Allaahumma faqqihnaa fid diin
____
Penulis adalah: Pegiat pendidikan dan menyenangi dunia mengajar sejak menjadi santri Madrasah Tsanawiyyah Pesantren Persatuan Islam 81 di kampung halaman Cibatu Garut Jawa Barat