MERAWAT FITHRAH MENGAWAL PERADABAN
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Di antara sekian nikmat yang dianugerahkan kepada manusia adalah nikmat diberikannya fithrah dan kemajuan peradaban. Fithrah bersifat tetap, sedangkan peradaban terus berubah. Islam sebagai agama fithrah, sangat menekankan untuk memelihara dan merawatnya. Demikian pula dengan peradaban, Islam pun sangat mewantikan agar perkembangan peradaban senantiasa mendapatkan pengawalan.
Fithrah menurut kitab-kitab kamus beragam maknanya; bersih, suci, asal kejadian, awal penciptaan, tabiat asli dan lain-lain. Semua itu benar, mengingat kata “fithrah” di dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 20 kata dengan segala varian yang beragam maknanya.
Dari sekian makna fithrah, di antaranya terkait dengan keyakinan manusia yang wajib dipelihara, yakni fithrah beragama atau yang sering disebut para ulama “fithrah bertauhid”. Allah ‘azza wa jalla mengungkapkan dalam firmanNya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama [Allah]; Tetaplah atas fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah, itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum/ 30: 30).
Para ahli Tafsir dalam memberikan paparannya sering membawakan hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut ini: “Setiap manusia yang dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka tergantung siapa yang membawanya [abawaahu]; apakah jadi Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Syaikh ‘Abdullah bin Jaarullah al-Jaarullah ketika mengantarkan ayat ini, menuturkan: “Allah Ta’aala memerintahkan untuk istiqamah, senantiasa fokus menuju agama yang kokoh dan berpaling dari selainnya. Fithrah Allah ini yang menyebabkan manusia harus demikian, dikarenakan agama inilah yang mengajarkan kecintaan sesungguhnya kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Lihat: Ad-Durah Fîe Sunanil Fithrah, 1412: hlm. 03)
Pandangan lainnya, para ahli ilmu memaknai kata “fithrah”, dengan beberapa pendekatan yang satu sama lain saling berkaitan:
Pertama, pendekatan ‘aqiedah; fithrah berarti al-Islaam atau at-tauhied. Dikatakan juga dengan ad-diinul qayyim atau ad-diinul khaalish yang bermakna agama yang kokoh dan murni sebagaimana pandangan Imam Al-Bukhari rahimahullaah dan para ulama lainnya. Bahkan Syaikh Utsman ‘Ali Hassan memaparkan, bahwa “fithrah” merupakan sumber kebenaran di samping “wahyu” dan akal yang selamat [al-‘aqlus saliim]. Demikian dituturkan dalam kitabnya Mashaadirul Istidlaal ‘alal Masaailil I’tiqaad.
Kedua, pendekatan syari’ah [fiqih]; fithrah berarti bersih [thahaarah], yang menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Tuhfatul Waduud bi Ahkaamil Mauluud, memiliki dua pengertian; fithrah yang terkait kebeningan hati dan kesucian jiwa, juga fithrah yang terkait dengan amalan yang mengharuskan bersihnya badan dari kotoran dan najis. Karenanya ada hadits yang menyebutkan “10 kebersihan dalam Islam [‘asyaratun minal fithrah]” dan “Lima kebersihan dalam Islam [khamsatun minal Fithrah]; khitan, mencukur rambut privasi, memotong kuku, membersihkan bulu ketiak dan merapihkan kumis.”
Ketiga, pendekatan Ilmu Jiwa; yakni potensi manusiawi yang ada pada diri seseorang [at-thaaqah al- insaaniyyah] berupa kepemilikan nafsu syahwat seperti halnya hewan [homo animale], kepemilikan akal pikiran [homo rationale], dan kepemilikan hati untuk merasa [homo somatica].
Potensi jiwa manusiawi ini, ditandai dengan adanya kecondongan mencintai hidup, menghambakan diri pada sesuatu, mencintai tanah kelahiran, mencintai lawan jenisnya, mencintai sesuatu yang dibanggakan dan disukai [anak dan harta misalnya], senang berkumpul dan lain-lainnya. (Al-Jaarullah, hlm. 09 – 12)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebut fithrah yang terkait dengan ketentuan yang Allah turunkan dalam hal ‘aqiedah dan syari’ah dengan sebutan “fithrah munazzalah”. Adapun yang terkait dengan potensi yang dimiliki manusia sejak lahir, disebut “fithrah ghariizah”, di mana sebagian ulama menyebutnya dengan “fithrah mukhallaqah”.
Dalam Islam, hubungan keduanya [munazzalah dan mukhallaqah/ ghariizah] sama-sama memiliki kedudukan penting; yang pertama sudah menjadi ketentuan Allah bahwa hakikat manusia ada dalam agamaNya yang fithrah, dan yang kedua sudah menjadi kewajiban manusia mengerahkan segala potensinya untuk menjaga dan mengawal peradaban ummat manusia agar tidak keluar dari fithrah yang diajarkan agamaNya.
Itulah substansi ajaran agama yang sangat menjunjung tinggi peradaban, di mana al-imaan dan al-‘ilmu menjadi tiang pancangnya. Dengan ilmu melahirkan keshalihan teologis, dan dengan ilmu pengetahuan melahirkan keshalihan teknologi. Lahirnya masyarakat berkemajuan yang hakiki, maksudnya adalah masyarakat peradaban yang senantiasa mendapatkan pengawalan wahyu. Jadi, peradaban yang sesungguhnya adalah peradaban di mana wahyu memandu ilmu.
Zaman boleh berubah, iklim boleh berganti. Namun fithrah ilahi wajib tetap mengiringi. Likulli zamaanin hadhaaratun, wa likulli hadhaaratin thariiqatun wa manhajun; “Setiap zaman ada peradabannya, dan setiap peradaban ada metode dan pedoman bagaimana menaklukkan peradaban tersebut. Wallaahu yahdiinaa ilaa sabiilir rasyaad
✍️ Goresan ini ditulis dan dihaturkan sebagai kajian pembuka dalam “Shilaturrahim Syawwal 1443 H.” di Masjid Besar Kecamatan Cibatu Garut Jawa Barat