BELAJAR CEMBURU PADA SANG NENEK
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Masjid Al-Aqsha di Baitul Maqdis Palestina, selalu menyimpan arsip yang unik. Wilayah yang ada di jantung negeri “akhir zaman” ini, selalu menghadirkan pesona cerita. Kali ini, kita akan haturkan sekelumit kisah seorang nenek Al-Aqsha yang memiliki cemburu yang teramat dahsyat pada agamanya. Itulah yang disebut dengan “ghirah”.
Postingan hidup yang sahabat kirimkan ke layar handphone ini, membuat ketagihan untuk memutar berulang-ulang saat seorang nenek renta bertongkat menghalau “barisan kunyuk” zionist yang merangsek masuk ke dalam kawasan masjid qiblat kaum Muslimin pertama itu.
Sungguh menarik perhatian, dengan tergopoh-gopoh sang nenek “menggebah” dengan tongkatnya. Kuunuu qiradatan khaasi-iin; “Jadilah kalian kera-kera yang hina” sebagaimana dituliskan QS. Al-Baqarah/ 2: 65 dan QS. Al-A’raaf/ 7: 166 benar-benar pantas disematkan pada bangsa terkutuk itu. Terlepas dari masih ada sedikit rasa kasihan, mereka pun mundur teratur menghindari pentungan tongkat si nenek yang mulai murka.
Dari tayangan singkat ini, mengingatkan kita semua pada sebuah buku spektakuler karya ulama negeri Buya Hamka, yang berhasil menyingkap misteri ghirah apabila tertanam pada jiwa seorang beriman, siapa pun ia. Itulah buku “Ghirah dan Tantangan Terhadap Umat Islam” (Panjimas: 1982).
Menurut Buya Hamka, ghirah adalah kecemburuan dalam beragama. Cemburu di sini maknanya bukan sekadar marah, kesal, atau mangkel, melainkan perasaan tidak rela yang muncul dari dalam diri karena haknya direnggut. Dan dengan ghirah itu pula kemudian punya hasrat besar untuk merebut haknya kembali. Kalau tak ingin merebut kembali, bukan cemburu namanya.
Perasaan itu pula yang dirasakan sang nenek Aqsha, dirinya sangat tidak sudi apabila para durjana itu ingin mengambil alih haknya walau secuil, terlebih kewibawaan dan kesucian Masjid al-Aqsha yang penuh berkah ini.
Benar apa tutur kata Buya, bahwasanya ghirah itu adalah perasaan cemburunya orang beriman. Juga bisa diartikan sebagai sebuah semangat. Bahkan, beliau menggambarkan ghirah Islam sebagai nyawanya umat Muslim. Sampai-sampai beliau menganggap umat Islam yang kehilangan ghirah Islam itu serupa mayat.
Lebih dari itu, Buya mewanti-wantikan: “Apabila ghirah telah mulai hilang, jiwa akan menjadi gelisah. Kulit menghendaki Barat, padahal badan masih berada di Timur. Dan apabila ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan”.
Takbirkan empat kali, artinya shalatkan jenazahnya. Kocongkan kain kafannya, berarti disuruh mengikat ujung kain putih yang membalutnya, layaknya jenazah yang terbujur kaku dan siap dimasukkan ke liang lahad.
Kembali ke si nenek Aqsha, betapa di balik tubuhnya yang telah mulai renta, namun dirinya tak ingin kehilangan kecemburuannya ketika agama yang dianutnya, dan rumah Allah yang dibanggakannya direndahkan dan dinista manusia hina la’natullaah ‘alaihim. Allaahu Akbar … Wahai nenek! cucu-cucumu di seluruh belahan bumi ini, cemburu akan keberanianmu!!!
Duhai petala hati munculkanlah ghirah itu. Wahai jasad yang tidak abadi ingatlah mati. Sepucuk do’a untuk kita semua. semoga Allah menumbuhkan ghirah dalam hati setiap orang-orang yang beriman.