Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Sebagai agama petunjuk [diinul hidaayah] yang memiliki fungsi universal, maka dalam pengkajiannya membutuhkan banyak ragam pendekatan. Hal ini dilakukan, tidak lain agar pemahaman ke-Islaman [mafaahimul Islaamiyyah] yang dimaksud dapat diambil intisarinya secara komprehensif. Misi ini sejalan dengan alasan mengapa Ayah Adam dan Bunda Hawa’ [sebagai cikal bakal manusia] yang diturunkan ke muka bumi dengan dilengkapi bekal petunjuk [hudan] berupa “jalan kehidupan” dan “jalan kematian” sekaligus sebagaimana diisyaratkan QS. Al-Baqarah/ 2: 38.
Untuk sampai pada tingkat pengetahuan, maka dibutuhkan “pemahaman” [al-fahm] yang mampu mengantarkan kepada sesuatu yang ditemukannya itu. Di antara pendekatan yang seharusnya ditempuh, minimalnya adalah sebagai berikut:
A. Al-Mabaadi’ al-Islaamiyyah
Merupakan perkara yang sangat penting dan prioritas bagi setiap umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, untuk mengetahui pokok-pokok dasar pendahuluan dalam memahami ajaran agama ini; baik yang bersifat keyakinan dan keimanan [‘aqiidah] yang terkandung di dalamnya rukun iman yang enam, tata cara pengabdian seorang hamba terhadap Rabb-nya [syarii’ah] yang terkandung di dalamnya rukun Islam yang lima, dan beragam amalan keseharian [mu’aamalah] yang terkandung di dalamnya adab dan ahklak mulia. Dari ketiganya itulah, produk ilmu pengetahuan dalam Islam lahir; ilmu Tauhid atau pokok-pokok agama [ushuuluddiin], ilmu fiqih dengan segala variannya [fiqih ‘ibadah, fiqih mu’amalah, fiqih munaakahah, fiqih jinaayah, fiqih jihaad, dan lain-lain], serta ilmu kebeningan jiwa [tazkiyatun nafs].
Semua ini dapat dikaji dalam kitab-kitab para ulama yang tidak diragukan lagi keilmuan mereka; Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Minhaajul ‘Aabidiin ilaa Jannati Rabbil ‘Aalamiin, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-‘Ubuudiyyah dengan berbagai syarahnya, dan Syaikh Wahid bin ‘Abdis Salam bin Bali dalam Shahiih al-Adab al-Islaamiyyah [adab Islami berdasarkan riwayat-riwayat shahih].
Lebih ringkas dan padat makna, para ulama menyebutnya dengan: ilmu bagaimana seseorang mengenal Allah ‘azza wa jalla [ma’rifatullaah], ilmu bagaimana seseorang mengenal Muhammad Rasul Allah [ma’rifatu Muhammadin shallallaahu ‘alaihi wa sallam], dan ilmu bagaimana seseorang mengenal Islam berdasarkan dalil-dalil agama [ma’rifatul Islaam bil adillah]. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menyebutnya dengan al-ushuul ats-tsalaatsah, yaitu “tiga pokok ajaran Islam”.
Selain itu, terlepas dari perdebatan para ulama ada pula yang memasukkan Ilmu Kalam dan Tashawwuf sebagai disiplin ilmu dengan pendekatan yang berbeda dalam mengantarkan masalah- masalah keimanan dan sikap hidup manusia. Hal ini bisa dibaca dalam “Kritik Ilmu Kalam, Fiqih, dan Tashawwuf” oleh Wahiduddin Khan.
B. Mashdarul Hudaa dan Mashaadirul Istinbaath
Karena umat sering dihadapkan dengan berbagai pemahaman keagamaan, sudah dipastikan memahami sumber petunjuk [mashdarul hudaa]; yakni al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan prioritas yang wajib diutamakan. Sebagaimana QS. Al-Maaidah/ 5: 48 menyebutnya dengan “syir’ah” dan “minhaaj”. Menurut shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anh: Syir’ah adalah sumber yang datang dari Kitabullaah, sedangkan minhaaj adalah jalan yang datang dari Nabi dan Rasul-Nya.
Setelah itu, pengkajian bisa lebih dikembangkan dengan pentingnya mengetahui bagaimana para ulama ahlul ijtihaad menyimpulkan suatu putusan dengan sumber-sumber atau rumusan dan cara menyimpulkannya. Itulah yang disebut mashaadirul istinbaath.
Selain memahami al-Qur’an dan as-Sunnah, dituntut pula memahami masalah kesepakatan ulama [ijmaa’], analogi hukum [qiyaas], adat kebiasaan [‘urfi], ucapan shahabat Nabi [qaul shahaabi], kemaslahatan umum [mashlahah mursalah], menetapkan putusan terbaik [istihsaan], mencegah kemadharatan [sadd ad-dzarii’ah], syari’at zaman terdahulu [syar’u man qablanaa], dan lain-lainnya. Bahasan ini bisa ditelusuri dalam kitab-kitab ushuulul fiqh seperti halnya Al-Asybaah wan Nazhaair Imam As-Syuyuthi dan Al-Muwaafaqaat Imam As-Syathibi.
C. Marhalah Zamaaniyyah
Para Nabi dan Rasul adalah salaf-nya Nabi akhir zaman, shahabat Nabi akhir zaman merupakan salaf-nya para taabi’in, dan para taabi’in menjadi salaf-nya para taabi’ut taabi’in. Demikian seterusnya, “tiga zaman terdahulu yang utama” [as-salafus shaalih] ini menjadi salaf bagi generasi zaman berikutnya. Seiring isyarat Nabi panutan, maka “generasi belakangan yang adil” [khalafun ‘uduulun] akan muncul di tengah-tengah umat, mereka akan meluruskan ajaran agama dari para perusak. Dari sisi ini, terminologi salaf-khalaf berarti bukanlah suatu perkara yang saling berbenturan, melainkan dua rumpun zaman [marhalah zamaniyyah] yang saling mewariskan.
Selain salaf-khalaf, istilah untuk menyebut pembabakan atau periodesasi banyak pula yang menggunakan dengan sebutan fase seperti halnya fase pertama [mutaqaddimiin], fase pertengahan [mutawassithiin], fase akhir [muta’akhkhiriin], dan fase kontemporer [mu’aashiriin]. Karenanya, dalam pandangan Syaikh Dr. Muhammad Ramadhan al-Buthi [ulama negeri Syam] menempatkan permasalahan salaf-khalaf sebagai periode masa penuh berkah [marhalah zamaaniyyah mubaarakah], bukan nama kelompok agama [madzhabun diiniyyun, madzhabun Islaamiyyun].
D. Thariiqah ‘Ilmiyyah
Banyak ragam pendekatan dalam menafsirkan ajaran agama; Sebahagian melakukannya dengan mengedepankan dalil-dalil teks atau nash [bayaani], sebahagian lain menempuhnya dengan penalaran akal [burhaani], bahkan ada pula yang menelusurinya melalui isyarat-isyarat baathini, sebahagian kalangan menyebutnya dengan interpretasi alam rasa [‘irfaani]. Sekalipun Islam bisa dipahami dengan berbagai perspektif, tidak berarti semua orang bebas menafsirkannya dengan sekehendak hati tanpa piranti ilmu yang selamat.
Dalam hal ini, Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menuturkan: “Kebenaran dan kekeliruan bermula dari cara berpikir; berpikir yang benar terlahir dari akal yang selamat, dan ciri akal yang selamat adalah tunduknya akal terhadap wahyu. Sebaliknya, berpikir yang keliru terlahir dari akal yang tidak selamat, dan ciri akal yang tidak selamat adalah tidak tunduknya akal terhadap wahyu”. Demikian pandangannya sebagaimana dijelaskan dalam I’laamul Muwaqqi’iin dan Ighaatsatul lahfaan.
Oleh karenanya, untuk menemukan sumber kebenaran, mayoritas ulama ahlul atsar menyimpulkan menjadi tiga; menetapkan kebenaran berdasarkan al-wahyu [yakni al-Qur’an dan as-Sunnah], menetapkan kebenaran berdasarkan akal yang selamat [al-‘aqlus saliim], dan menetapkan kebenaran berdasarkan keselarasan dengan ketetapan fithrah Allah ‘azza wa jalla [al-fithrah] sebagaimana dijelaskan Syaikh Utsman bin ‘Ali Hasan dalam Manhajul Istidlaal ‘alaa Masaailil I’tiqaad ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah.
Dalam perkembangan berikutnya, tentu tidak membatasi dengan tiga kesimpulan tersebut. Seiring dengan melajunya zaman dan pengkajian yang lebih mengakar, pendekatan pendalaman kebahasaan [daqaaiqul lughah] serta perkembangan sains dan teknologi bisa menjadi perspektif baru yang lebih membumi. Persoalan “membumi” menjadi sangat penting untuk disinggung, karena Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin ini tidak sekadar membincang ranah “ritualistik” [mahdhah], melainkan Islam yang dirasakan secara “fungsionalistik” [ghair mahdhah]. Yang terakhir ini, sebahagian kalangan menyebutnya dengan “tauhid sosial”.
E. Ushuulul Ma’rifah
Apabila ditelusuri secara keseluruhan, untuk mencapai pengetahuan yang sebenar-benarnya pengetahuan [ma’rifah] manusia tidak dapat dilepaskan dari “tiga pokok pengetahuan” [ushuulul ma’rifah] yang harus benar. Benar dalam memahami ketiganya berarti akan benar pula memahami ajaran agamanya. Ketika salah memahami ketiganya, berarti akan salah pula memahami ajaran agamanya. Itulah memahami siapa Penciptanya [ma’rifatur Rabb], memahami untuk apa manusia dicipta [ma’rifatul Insaan], dan mengapa Allah ‘azza wa jalla menciptakan alam semesta [ma’rifatul ‘aalam].
Allaahumma faqqihnaa fid diin.