Kamis, Juli 10MAU INSTITUTE
Shadow

PERKEMBANGAN RISALAH ‘AQIDAH DALAM BERAGAM PERSPEKTIF

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Sesuai makna asalnya, ‘aqiidah berasal dari kata ‘aqdun yang mengandung makna ribthun [artinya: ikatan kokoh]. Mayoritas ulama menarasikannya dengan kalimat terminologi “al-iimaanul jaazimu billaahi ‘azza wa jalla wa maa yajibu lahu fii uluuhiyyatihi wa rubuubiyyatihi wa asmaaihi wa shifaatihi”, yakni kepercayaan atau keimanan yang pasti terhadap Allah ‘azza wa jalla dan apa-apa yang wajib bagi-Nya dari perkara uluuhiyyah, rubuubiyyah, asmaa dan semua sifat-Nya. Bahkan para ulama menambahkannya dengan keimanan terhadap rukun iman yang enam, mengimani perkara pokok-pokok agama yang datang dari ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang shahih, mengimani perkara ghaib dengan segala kabarnya, serta mengimani apa yang telah menjadi kesepakatan [ijmaa’] generasi umat terdahulu yang shalih.

Harus diakui, memahami ajaran agama dari satu zaman ke zaman lainnya mengalami perkembangan. Dengan guru, materi, metode dan lingkungan yang berbeda, maka berbeda pula cara pandang seseorang terhadap ajaran agamanya. Tiga zaman utama yang sering disebut al-quruunus tsalaatsah al-mufadhdhalah, disebut-sebut sebagai cerminan cara pandang beragama yang paling baik dan selamat [ahsan, aslam]. Selain mereka lebih dekat kekerabatannya dengan “Guru terbaik” yakni Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diikuti dua generasi berikutnya, mereka pun memiliki dukungan dalil naqli dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Mayoritas ulama sepakat, bahwa kesepakatan salaful ummah menjadi hujjah agama dalam menafsirkan Kitabullah dan Sunnah nabi-Nya. Namun demikian, apakah kesimpulan ini menjadi penghalang bagi tumbuh kembangnya akal pikiran manusia? Sama sekali tidak, karena Allah ‘azza wa jalla telah menganugerahkan akal pikiran untuk menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla dan Sunnah nabi-Nya itu. Persoalannya adalah, tidak semua akal pikiran diberikan kebebasan untuk menafsirkan agama, melainkan mereka yang memiliki kriteria yang telah disepakati ahli ilmu.

Pada prinsipnya, tidak ada alasan bagi kita untuk memisahkan antara ‘aqiidah dan syarii’ah; Keduanya merupakan syai’aani laa yanfashilaani, yaitu dua hal yang tidak dapat terpisahkan atau amraani mutalaazimaani, yaitu dua perkara yang saling menguatkan. Sekalipun masing-masingnya memiliki titik tolak [nuqthatul inthilaaq] yang berbeda, namun keduanya saling beririsan dan sinergis dalam memahami kemudahan pemahaman beragama. Karenanya, sangatlah wajar apabila Imam Abu Hanifah rahimahullaah [w. 150 H.] menamai ilmu ‘aqidah dengan fiqih pula, yaitu Al-fiqhul Akbar yang mengandung arti “fiqih besar”.

Adanya beragam pandangan dalam memaknai teori dan praktik beribadah misalnya, telah mengilhami lahirnya madzhab-madzhab fiqih yang menghiasi “jagat silang pendapat” para ulamanya; Baik madzhab mu’tamad seperti empat imam madzhab ahlus sunnah wal jamaa’ah atau ghair mu’tamad yang di luar empat madzhab imam terkemuka, bahkan yang madzhab bilaa madzhab alias tidak menyandarkan pada madzhab tertentu sekalipun. Lalu bagaimana dengan masalah-masalah ‘aqidah [masaailul i’tiqaad], apakah sama ada “madzhab-madzhabnya” juga?

Perbedaan dalam hal masalah fiqih, nampaknya sudah sangat umum diketahui banyak kalangan. Sedangkan perbedaan dalam hal penafsiran terhadap masalah ‘aqidah, masih belum banyak diketahui. Klaim ahlus sunnah wal jamaa’ah yang masih ditafsirkan secara sepihak, masih menyelimuti tabir “perbincangan manhaj” umat Islam; Siapakah yang lebih layak untuk disematkan? Apakah kaum yang selama ini menyandarkan kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullaah [w. 324 H.] yang membangun teologi Asy’ariyyah di Baghdad dan Imam Abu Manshur al-Maturidi rahimahullaah [w. 333 H.] yang membangun teologi Maaturidiyyah di Samarkand, atau kaum yang selama ini berkomitmen untuk berpegang teguh pada ahlul atsar yang kini dikenal dengan sebutan Atsariyyah.

Yang disebut terakhir, sebahagian kalangan menyebutnya dengan “penghidup ajaran kaum salaf” atau muhyi’ al-atsar as-salaf dengan tokohnya Imam Ibnu Taimiyyah al-Harrani rahimahullaah [w. 728 H.] yang banyak menjadikan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah [w. 241 H.] sebagai “soko gurunya”, bahkan memberikan penghargaan dengan sebutan Imaamus Sunnah. Babak berikutnya, setelah lima abad berlalu muncul di tengah Jazirah Arabia [pada abad ke-12 H.] gerakan yang menghidupkan kembali madrasah Ibnu Taimiyyah yang diprakarsai oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullaah[w. 1206 H.] yang mendapatkan dukungan Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman as-Saud [w. 1179 H.].

Semuanya itu, memiliki akar sejarah sendiri-sendiri yang tidak saling menafikan. Mereka memang berbeda dalam pendekatan, namun mereka memiliki kesamaan dalam tujuan menjunjung tinggi Tauhiidullaah dan menjaganya dari berbagai penyimpangan pengikut hawa nafsu yang mereka sebut sebagai ahlul ahwaa wadh dhalaal atau ahlul bida’ was syubuhaat. Hal ini bisa dicermati dalam sejarah, bagaimana mereka melindungi ajaran agama dari berbagai pemikiran kaum mu’tazilah yang mendapatkan dukungan penguasa ‘Abbasiyyah atau Ibnu Taimiyyah yang harus mendekam dalam terali besi karena hasutan Ibnu Makhluf [seorang Hakim kesultanan Nashir Qalawun].

Perkembangan penting yang tidak dapat dilewatkan dalam percaturan pemikiran teologi abad ke-15 H. ini, terlepas pro kontra yang sangat tajam di kalangan para pengkaji dan peneliti pemikiran; Kehadiran Imam Muhammad Abduh rahimahullaah [w. 1324 H.] dan muridnya Imam Muhammad Rasyid Ridha rahimahullaah [w. 1353 H.] dengan Al-Urwatul Wutsqaa dan Al-Manaar-nya di Mesir, serta dengan segala kaitannya bersama tokoh Pan Islamisme Sayyid Jamaluddin al-Afghani sangat mempengaruhi sosio religius perjalanan risalah ‘aqidah dan pergerakan di dunia Islam, apakah keduanya termasuk gerakan Salafiyyah atau ‘Aqliyyah Khalafiyyah sebagaimana penilaian Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan Muhammad Hamid Nashir yang lebih menilainya sebagai modernisme Islam.

Untuk lebih komprehensifnya pengkajian terhadap “Risalah ‘Aqidah” ini, maka menjadi sangat penting memahaminya dengan menggunakan berbagai pendekatan; Mulai dari memahami ‘Aqidah Tauhid sebagai doktrin teologis yang lebih mengedepankan dalil-dalil syar’i, memahami Ilmu Kalam sebagai fiqih ushuuluddin atau furuu’ul ‘aqiidah yang membuka ranah akal untuk turut terlibat dalam merumuskan masalah i’tiqadiyyah hingga melahirkan beragamnya pandangan kalam, juga ‘Aqidah Akhlaq sebagai ikhtiar perbaikan moral [ishlaahul ‘amal] yang lebih mengkaitkan hubungan ‘aqidah dengan perilaku sosial manusia bertauhid. Bahkan termasuk hubungan ‘aqidah dengan jihaad fii sabiilillaah yang lebih menggerakkan.

Terlepas dari perdebatan dalam menafsirkan dan memetakannya, dalam konteks akademik semua pendekatan tersebut bisa berjalin berkelindan dipelajari secara sinergis agar bisa melahirkan rumusan atau kuda-kuda ilmu [dhawaabith ‘ilmiyyah] bagi siapa pun yang akan menegakkan ‘aqidah Islamiyah secara paripurna tanpa harus saling menegasikan; Terlebih lagi berupaya mengkerdilkan dan saling menjatuhkan, sementara mereka masih dalam bingkai ahlus sunnah wal jamaa’ah.

Sungguh benar apa yang dinasihatkan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullaah [w. 751 H.] kepada para penuntut ilmu khususnya, bahwa keluasan ilmu seseorang sangat mempengaruhi kelapangan jiwanya:

كلما اتتسع علم العبد، إنشرح صدره واتسع. وليس هذا لكل علم، بل علم الموروث عن الرسول صلى الله عليه وسلم وهو العلم النافع … فأهله أشرح الناس صدرا، واوسعهم قلوبا، وأحسنهم أخلاقا، وأطيبهم عيشا

“Ketika ilmu seorang hamba itu luas, maka sangat lapang dadanya dan luas wawasannya. Namun hal itu, tidaklah terjadi bagi seluruh ilmu. Melainkan ilmu yang terwariskan dari Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ilmu yang bermanfaat … Pemilik al-‘ilmun naafi’ adalah manusia paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling baik akhlaq-nya dan paling terjamin kebersihan hidupnya.” (Lihat: Zaadul Ma’aad, 2/ 23)

Semoga di tengah-tengah pencarian kebenaran dan semakin terbukanya jurang perbedaan, kita tidak lupa selalu memohon lindungan dari Dzat yang “fauwqa dzii ‘ilmin ‘Aliimun”, yakni Rabbul ‘Aalamiin agar ilmu kita bermanfaat dan selalu diberikan kelapangan dalam menerima bimbingan hidayah-Nya. Faman yuridillaahu an yahdiyahu yasyrah shadrahu lil Islaam

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!