Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Suasana lebaran, seperti halnya ‘Iedul Fithri 1446 H tahun ini. Bagi “insan pesantren”, merupakan kesempatan dan memiliki makna tersendiri. Bukan persoalan modern atau tradisional, juga bukan masalah perkotaan atau pedesaannya. Yang jelas pesantren, yakni tempat para santri menimba ilmu dan menempa pengalaman hidup. Bahkan bukan sekadar aktivitas apektif, kognetif dan psikomotorik terbatas dalam ruang lingkup kawasan pesantren semata, melainkan kawasan yang melibatkan masyarakat luas. Sebagai lumbung kader, tempat persemaian dan pembibitan calon pemimpin umat, maka tempat ini layak apabila dimasukkan sebagai “pilar kekuatan umat” di antara dua pilar lainnya [yaitu masjid dan kampus]. Allaahu yarhamh Dr. Mohammad Natsir [sang maestro dakwah tanah air], menyebutnya dengan “benteng umat”.
Budaya pesantren yang dikenal dengan kekeluargaannya, membuat jalinan persaudaraan [ukhuwwah] lebih terasa dan lebih tahan lama hingga telah menjadi alumni sekalipun. Kekerabatan yang dijalin sedemikian eratnya, itulah modal besar bagi pengembangan pesantren. Semakin alumninya aktif turut serta mengembangkan almamaternya, semakin berkembang pula pesantrennya. Harumnya alumni di masyarakat, sangat berpengaruh bagi eksistensi pesantren itu sendiri. Terlebih pesantren tersebut memiliki kekhasan [khushuushiyyaat] dan keunggulan tersendiri [mutamayyizaat] dengan berbagai variasi keunikannya. Sekalipun besar dan kecilnya relatif berbeda, tidak mengurangi semangat “perhimpunan” yang menjadi baranya kekeluargaan dan persaudaraan tetap menyala.
Agar kekeluargaan dan persaudaraan tidak keluar dari makna hakikatnya, maka menjadi sangat penting bagi para alumni untuk benar-benar memahami rukun-rukun persaudaraan [arkaanul ukhuwwah]; Mulai dari saling mengenal [ta’aaruf], saling memahami [tafaahum], saling menolong [ta’aawun], saling menanggung [takaaful], dan saling menjamin perlindungan [tadhaamun]. Jadi, selain jalinan persaudaraan seiman dan se-Islam [ukhuwwah imaaniyyah, ukhuwwah Islaamiyyah], juga jalinan kemanusiaan [ukhuwwah basyariyyah, ukhuwwah insaaniyyah] dengan berbagai ragamnya; ikatan kebangsaan [syu’biyyah, wathaniyyah], ikatan kesukuan dan keturunan [jinsiyyah, nasabiyyah]. Bahkan ikatan kampung halaman [qaryatiyyah]. Terkait suasana lebaran yang tengah kita bincangkan, nampaknya sangat bertalian erat apabila semangat merawat cinta kampung halaman dan semangat merawat pembinaan pesantren yang kita cintai bisa dihidupkan.

Siapa pun kita tanpa terkecuali, kalau bertekad kuat ingin terlibat tidak ada yang mubadzir dalam perjuangan. Saling menguatkan dan berbagi peran satu sama lain merupakan sesuatu yang niscaya; Siapa dan harus berperan apa, bisa mengambil posisi yang sesuai dengan kemampuan yang terukur dan sepadan [kafaa’ah istithaa’ah] dengan bidangnya masing-masing. Semakin banyak yang terlibat untuk saling menguatkan, maka semakin kokoh pula bangunan perjuangan. Sebaliknya semakin banyak orang terlibat dalam kerusakan dan kebinasaan [fasaad, muhlikah], semakin cepat pula kehancurannya. Allaahu yarhamh K.H. Aceng Zakaria al-Kurkhi [ulama Persatuan Islam dan tokoh pesantren] pernah berseloroh dalam guyonannya: “Nu teu ngadenge aya jasana dina jihad mah, sodorkeun tugas keur maledogkeun dinamit moal katorekan. Nu teu bisa nyarita bere tugas keur nyumputkeun rusiah, najan dipaksa ku musuh kudu ngabongkar rusiahna dijamin moal kabongkar”; Artinya: “Orang yang tidak bisa mendengar [tuli] sekalipun dalam jihad masih ada jasanya, berikan tugas melempar dinamit dijamin tidak terganggu telinganya. Orang yang tidak bisa bicara [gagu] suruh menjaga rahasia, dijamin musuh tidak akan bisa membongkarnya”.
Semua itu berpulang pada kita, apakah termasuk barisan yang mengokohkan atau merobohkan? Hal ini sesuai dengan firman Allah ‘azza wa jalla yang menegaskan kepada Nabi-Nya:
قُلْ يَٰقَوْمِ ٱعْمَلُوا۟ عَلَىٰ مَكَانَتِكُمْ إِنِّى عَامِلٌ ۖ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَن تَكُونُ لَهُۥ عَٰقِبَةُ ٱلدَّارِ ۗ إِنَّهُۥ لَا يُفْلِحُ ٱلظَّٰلِمُونَ
“Katakanlah Muhammad: Wahai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat [pula]. Kelak kamu akan mengetahui, siapakah [di antara kita] yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan.” (QS. Al-An’am/ 6: 135)

Para ulama memberikan komentar, di antaranya Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili [ulama kontemporer Syria]. Menurutnya, ayat ini mengandung pengertian, “Katakanlah wahai Nabi: Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu dalam jalan yang telah kalian pilih [baik dalam jalan kebenaran atau kekafiran], juga dalam segala yang mungkin dapat kalian lakukan. Karena sesungguhnya aku tidak ada urusan dengan kalian, dan akupun juga berbuat sesuai jalan dakwah dan agama Islamku. Kelak kalian akan mengetahui, siapakah di antara kita yang akan memperoleh hasil yang baik kelak di akhirat, dan hasil yang baik di dunia berupa pertolongan dan hasil bumi beserta segala yang baik dari alam. Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan sebab ingkar mereka kepada Allah dan anugerah nikmat-Nya, dan mereka telah mempersekutukan Allah”. (Lihat: At-Tafsiirul Wajiiz ‘alaa Haamisy al-Qur’aanil ‘Azhiim: 2018)
Kembali pada bahasan pesantren sebagai benteng umat, kini mulai muncul berbagai tawaran; Mulai dari menebarnya narasi yang meragukan [tasykiik] hingga istilah yang mengkhawatirkan [musthalahaatul khathiirah] seperti halnya istilah “pesantren ramah lingkungan” atau “pesantren pluralisme” yang menamakan diri sebagai “pesantren jati diri bangsa”, pesantren berbasis toleransi atas nama “kurikulum cinta” dan lain-lain. Istilah-istilah ini begitu sangat masif dibumikan dengan sasaran yang sangat jelas dan terukur, juga secara tidak langsung menuduh bahwa pendidikan pesantren selama ini kurang toleran dan tidak ramah terhadap lingkungan. Pemaknaan yang memukul rata atas berbagai sikap beragama dijadikan bahan dasar untuk menjadikan lembaga pesantren sebagai “pihak terdakwa” yang seolah-olah tidak memerlukan pembelaan. Problematika [musykilaat] dan tantangan [tahadiyyaat] semacam ini sudah masuk dalam ranjau-ranjau pemikiran [tayyaarul ghazwil fikri], yang dalam bahasa Dr. Muhammad ‘Imarah [ahli pikir Mesir] sebagai peperangan istilah [ma’rakah musthalahaat].
Agar dakwah bisa berkelanjutan dan pesantren berjalan abadi sebagai tempat persemaian kader, maka dibutuhkan dukungan berbagai pihak. Apa yang bisa kita berikan, dapat disesuaikan dengan potensi yang kita miliki. “Jadilah seorang yang memiliki ilmu [‘aaliman] atau yang menuntut ilmu [muta’alliman]. Kalau tidak mampu, jadilah pendengar yang baik [mustami’an] atau menjadi orang yang simpatik terhadap dunia ilmu [muhibban]. Dan janganlah menjadi orang yang kelimanya, maka engkau akan binasa”. Demikian nasihat populer para penuntut ilmu mengajarkan sebagaimana dinukilkan para ahli riwayat [Imam Ad-Daylami, Ad-Daruquthni dan Al-Bazzar menyebutkan pembawa riwayatnya tsiqah, namun Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad mendhaifkan]. Karena itulah, ungkapan berharga ini lebih tepat dikatakan sebagai “untaian hikmah”. (Lihat berikutnya: multaqa ahlil hadiits, al-maktaba.org).

Untuk lebih menjalin ukhuwwah dan menguatkan peran, hendaknya “kembali ke pesantren” dimaknai oleh para penentu kebijakan dan para alumni bahwa pesantren merupakan “ladang amal bersama” dalam mewujudkan benteng masyarakat yang mengakar; Sebagai lembaga pemelihara intelektual agama, pembaja mental, penjaga moral, pembangun kemandirian dan penyeimbang sosial. Semua ini tidak akan terwujud, apabila gerak lajunya tidak beriringan antara yang menguatkan dan yang melemahkan. Meminjam ungkapan Basyar bin Burd al-Muraa’ats [seorang penyair Bashrah kelahiran 96 H., masyhur pada masa peralihan Bani Umayyah ke Bani ‘Abbasiyyah], yang menuturkan:
متى يبلغ البنيان يوما تمامه … إذا كنت تبنيه وغيرك يهدم
“Kapan sebuah bangunan bisa selesai menuju kesempurnaan? … Apabila [di satu segi] anda membangun, sementara [di segi yang lain] pihak lainnya merobohkan.”
*) Naskah ini disampaikan pada acara Reuni Akbar dan Shilaturrahim ‘Iedul Fithri 1446 H. di halaman Pesantren Persatuan Islam 81 Cibatu Garut Jawa Barat dan digoreskan kembali di masjid Nabawi Madinah al-Munawwarah tepat pada tanggal 08 Syawwal 1446 H.
Alhamdulillah