Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Sekalipun kegembiraan ‘Iedul Fithri selepas Ramadhan 1446 H. belum usai, namun Allah ‘azza wa jalla telah memberikan anugerah lainnya berupa safar mubarakah di bulan Syawwal. Dengan memuji kebesaran-Nya, tidak henti-hentinya rasa syukur dan pujian pun disanjungkan. Sebagaimana Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ajarkan, penyambutan akan panggilan-Nya tidak henti-hentinya teralunkan dalam bentuk rentetan do’a yang terucap dari lisan jutaan para peziarah Baitullaah episode Umrah jelang pelaksanaan haji tahun 2025 ini.
Labbaika ‘umratan atau Labbaikallaahumma ‘umratan, demikian ihlal ihram pun dilirihkan. Dilanjutkan dengan untaian talbiyah: Labbaikallaahumma labbaika … Labbaika laa syariika laka labbaika … Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka … Laa syariika laka. “Hamba datang memenuhi panggilan-Mu yaa Allah, hamba datang memenuhi panggilan-Mu, Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala pujian dan semua nikmat, serta kekuasaan adalah milik-Mu, Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Mu”.
Setiap berada pada titik Hajar Aswad dialunkan pula pengagungan dengan membaca Bismillaahi Allaahu Akbar. Langkah demi langkah terucap permohonan keselamatan yang dibacakan antara Rukun Yamani dengan Rukun Aswadi seraya membaca Rabbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa adzaaban naar. Setelah selesai thawaf, setibanya di maqam Ibrahim teriring pula untaian kalimat Wattakhidzuu min maqaami Ibraahiima mushallaa yang berlanjut dengan shalat dua rakaat dengan dua surat tauhid [Qs. Al-Kaafiruun dan Qs. Al-Ikhlash]. Berikutnya menunaikan sa’i hingga tahallul yang tidak lupa mengawalinya dengan butiran ayat-Nya Innas shafaa wal marwata min sya’aairillaah dan diiringi berikutnya dengan alunan takbir, tahlil, tahmid, ta’zhim, serta disusul dengan taburan do’a terbaik seiring permohonannya masing-masing.
Setidaknya Itulah suasana batin yang dirasakan oleh lautan manusia dengan penuh khusyu’ dan khudhu’ yang senantiasa menghiasi kawasan bumi qiblat kedua kaum Muslimin, yakni Ka’bah Musyarrafah Masjidil Haram di tengah-tengah kota Makkah yang diberkahi. Kondisi seperti ini tentu sangat berbeda dengan apa yang dialami saudara-saudara Muslimin yang sedang berjuang mempertahankan negerinya, serta kehormatan qiblat pertama di Masjidil Aqsha Baitul Maqdis Palestina.

Sejarah panjang untuk mempertahankan bumi agung yang mendapatkan gelar Alladzii baaraknaa haulahu, yakni “negeri yang sekelilingnya Allah berkahi” ini, kini menjadi ajang jihad dan ribaath “manusia-manusia hebat nan istimewa” abad ini dalam mempertahankan marwah kaum Muslimin di mata dunia. Mereka pun sama melantunkan pekikan takbir, tahlil, tahmid dan ta’zhim. Namun bedanya, mereka mengalunkannya di tengah dentuman mesin-mesin perang yang membinasakan dan mengancam jiwanya. Karenanya alangkah naif, apabila kini perjuangan dan pengorbanan mereka ada yang menilai “sebuah perjuangan yang sia-sia”, Na’uudzu billaahi min dzaalik.
Kembali pada kegembiraan Syawwal dan tadabbur ‘Umrah, hendaknya dua kondisi yang beriringan tersebut, dapat dijadikan sebagai media untuk sama-sama memantik iman dan emosi jiwa [‘athiifah] dalam meyakinkankan seseorang menjadi hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla yang rijaalun shadaquu, yakni “kelompok manusia unggul” yang telah menunaikan janjinya di hadapan Dzat yang Maha gagah dan perkasa. Sekalipun sama-sama menuju titik pencapaian ridha-Nya, namun tetap tidaklah bisa dibandingkan di antara keduanya.
Perkara niat taqarrub kepada Allah ‘azza wa jalla hanyalah Allah sendiri yang Maha mengetahui terhadap nawaitu seseorang dalam menjalankan segala sesuatu, sedangkan perkara sesuatu yang nampak jelas di hadapan mata tidaklah dapat dipungkiri adanya. Dalam konteks ibadah dan berziarah ke dua kota suci [haramain] dengan suasana jihad di bumi Palestina bukanlah dua perkara yang harus dibenturkan, melainkan dicari benang hijaunya. Antara mereka yang duduk tidak berjihad di medan laga [al-qaaiduun] dengan mereka yang gigih penuh kesungguhan mengusir musuh di medan tempur [al-mujaahiduun], jelas berbeda. Antara orang yang sekadar munajat menghadap Rabb-Nya dengan tetesan dan linangan air mata semata, dengan mereka yang mengerahkan segala ikhtiar pengorbanan dengan berkuah darah, tentu sangat tidak sebanding.
Seperti yang kita saksikan selama ini, keciutan dan kendurnya semangat berjuang tidaklah nampak pada sikap dan bahasa tubuh para pejuang itu. Saat Ramadhan dan ‘Iedul Fithri tiba, mereka tetap menunjukkan semangat, ketegaran dan penuhnya kegembiraan. Sekalipun kita tidak pernah mengetahui, kedalaman hati mereka, setidaknya kita bisa merasakan bahwa kehilangan orang-orang tersayang, harta yang dimiliki, kebebasan hidup layaknya manusia, dan hancur leburnya kampung halaman bukanlah perkara kejiwaan yang mudah untuk diterima begitu saja. Kalaulah bukan manusia-manusia kuat bermental baja, mustahil rasanya keadaan seperti ini bisa dilakukan manusia pada umumnya.

Kami bangga dan sekaligus malu pada kalian wahai penduduk Syam, kami sangat yakin bahwa Abnaau Ghazata, yakni pemuda-pemuda Ghaza adalah manusia-manusia tangguh yang sangat ditakuti musuh. Apa yang disampaikan para pemimpin perjuangan kalian, merupakan suatu kebenaran yang sulit dibantah; “Dunia menyangka bahwa yang sedang dijajah itu adalah kami bangsa Palestina, khususnya Ghaza. Sama sekali tidak demikian, justru yang sedang dijajah Yahudi Israel itu adalah negeri-negeri Muslimin, khususnya negeri Arab kecuali Ghaza”.
Sungguh benar apa yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla tentang hakikat kemenangan. Bagi mereka, melakukan perlawanan adalah pilihan; Kemenangan hanyalah Allah Maha Perkasa yang menentukan taqdir-Nya, adapun ikhtiar perjuangan manusia yang menentukan pilihannya:
وَمَا جَعَلَهُ ٱللَّهُ إِلَّا بُشْرَىٰ لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُم بِهِۦ ۗ وَمَا ٱلنَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ٱلْعَزِيزِ ٱلْحَكِيمِ
“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi [kemenangan] kalian, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Alu ‘Imraan/ 3: 126)
Suasana ini mengingatkan pada surat jihad seorang ahli hadits yang mujahid ‘Abdullah bin Mubarak [w. 181 H.] kepada seorang hamba ahli ibadah Fudhail bin ‘Iyadh [w. 189 H.] dalam pertemanannya sebagai sesama orang yang sama-sama menunjukkan mujaahadah-nya kepada Allah ‘azza wa jalla, sekalipun jalan yang ditempuhnya berbeda. Dalam surat itu disebutkan:
يا عابد الحرمين لو أبصرتنا، لعلمت أنك في العبادة تلعب … من كان يخضب خده بدموعه، فنحورنا بدمائنا تتخضب … أو كان يتعب خيله في باطل، فيخولنا يوم الصبيحة تتعب … ريح العبير لكم ونحن عبيرنا، وهج السنابك والغبار الأطيب … ولقد أتانا من مقال نبينا، قول صحيح صادق لا يكذب … لا يستوي وغبار خيل الله في أنف امرئ ودخان نار تلهب … هذا كتاب الله ينطق بيننا، ليس الشهيد بميت لا يكذب
“Wahai ahli ibadah di dua tanah Haram, seandainya engkau melihat kami niscaya engkau akan tahu bahwa engkau dan ibadahmu itu hanyalah main-main belaka … Orang yang membasahi pipinya dengan linangan air matanya, sementara kami membasahi leher kami dengan darah-darah kami … Atau orang yang membuat lelah kuda perangnya dalam kesia-siaan, sementara kuda-kuda kami lelah payah di medan pertempuran … Aroma bagimu adalah wewangian yang semerbak, sementara wewangian kami adalah pasir dan debu-debu yang mengepul … Telah datang kepada kita sabda sang Nabi, perkataan yang jujur lagi benar dan tidak dusta … Bahwa tidaklah sama debu-debu kuda di jalan Allah yang menempel di hidung seseorang dan kobaran asap dan api yang menyala-nyala … Inilah Kitabullah yang berbicara di antara kita, orang mati syahid itu tidaklah mati, dan ini bukanlah kedustaan.”
*) Tulisan ini digoreskan bertepatan dengan “Tadarrus dan Tilaawah” Surat Ali ‘Imraan (seiring QS. 3: 126) saat menunggu shalat Jum’at, 12 Syawwal 1446 H. di Masjidil Haram Makkah al-Mukarramah sebelum kepulangan besoknya ke tanah air.