Oleh: Teten Romly Qomaruddien

A. Muqaddimah
Sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin, Islam memiliki panduan hidup yang menyeluruh dan sinergis/ terpadu satu sama lain [syumuliyah, mutakaamilah]; Bukan sekadar menuntun manusia dengan perkara-perkara yang bersifat ibadah ritual semata [mahdhah], melainkan perkara-perkara yang berhubungan dengan kemanusiaan dan kehidupan sosial [insaaniyyah, ijtimaa’iyyah]. Yang terakhir ini, termasuk Islam memberikan aturan dan panduan terkait hubungan antar sesama Muslim, hubungan antar sesama manusia, hubungan antar sesama umat beragama, bahkan hubungan antar negara sebagai perwujudan globalisasi Islam [‘auwlamatul Islaam]. Karena itulah, persoalan saling menghormati dan toleran [tasaamuh] dalam masalah kehidupan berbangsa dan bernegara bukanlah perkara tabu untuk dibicarakan dalam lembaran-lembaran Fiqih Sosial dan Fiqih Bernegara.
Namun demikian, prinsip-prinsip sosial kemasyarakatan yang dimaksud tentu saja dalam batas rambu-rambu [ma’aalim] yang ditentukan dalam ajaran agama. Hak dan kewajiban apa saja yang mesti ditunaikan; Baik sesama masyarakat Muslim, masyarakat Muslim dengan masyarakat di luar Islam, masyarakat dengan penguasanya, penguasa terhadap masyarakatnya, dan semua ruang lingkup kehidupan yang dialaminya. Tidak terkecuali kehidupan keberagamaan [tadayyun] yang telah dijalankan oleh masing-masing penganutnya sesuai dengan aturan yang diajarkannya.
Selain sebagai makhluk sosial, manusia dengan kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari keimanan yang wajib diyakininya sebagai landasan ajaran ke-Tuhanan [‘aqiidah, credo]; Minimalnya menjalankan dan memelihara rukun Iman dan rukun Islam sebagai asas agamanya [ashlud diin], juga ajaran-ajaran lainnya yang diyakini mendatangkan pahala [ajrun] dari Allah ‘azza wa jalla dan mana-mana perbuatan yang diyakini akan mendatangkan laknat, serta mendapatkan balasan adzab-Nya [‘iqaab]. Di antaranya berhubungan dengan jalan kehidupan [thariiqatul hayaat, the way of life] dan jalan kematian [thariiqatul mamaat, the way of death] seseorang; Mana yang harus ditunaikan, mana yang harus dijauhi, mana yang boleh ditolerir dan mana yang tidak bisa, bahkan wajib ditinggalkan.
Contoh paling mutakhir, adalah menganggap biasa dan tidak merasa berdosa ketika seorang Muslim mendo’akan jenazah penganut agama tertentu karena alasan menghormati dan menghargai, terlebih atas nama kekuasaan. Inilah fenomena bias tafsir dan efek dari euforia moderasi beragama dalam memaknai toleransi yang berlebihan.

B. Dalil Al-Qur’anul Karim Tentang Larangan Mendo’akan Orang Kafir dan Masalah Hidayah Allah
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِۦٓ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَمَاتُوا۟ وَهُمْ فَٰسِقُونَ
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan [jenazah] seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri [mendoakan] di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. At-Tauwbah/ 09: 84)
مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسْتَغْفِرُوا۟ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرْبَىٰ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَٰبُ ٱلْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun [kepada Allah] bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat[nya], sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Tauwbah/ 09: 113)
إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash/ 28: 56)
C. Sabab Nuzul Ayat dan Dalil Sunnah Nabawiyyah Tentang Mendo’akan dan Memohonkan Ampunan Untuk Orang Kafir
لَمَّا حَضَرَتْ أبَا طَالِبٍ الوَفَاةُ، جَاءَهُ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أبَا جَهْلٍ، وعَبْدَ اللَّهِ بنَ أبِي أُمَيَّةَ بنِ المُغِيرَةِ، فَقالَ: أيْ عَمِّ قُلْ: لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لكَ بهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقالَ أبو جَهْلٍ، وعَبْدُ اللَّهِ بنُ أبِي أُمَيَّةَ: أتَرْغَبُ عن مِلَّةِ عبدِ المُطَّلِبِ؟ فَلَمْ يَزَلْ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَعْرِضُهَا عليه، ويُعِيدَانِهِ بتِلْكَ المَقالَةِ، حتَّى قالَ أبو طَالِبٍ آخِرَ ما كَلَّمَهُمْ: علَى مِلَّةِ عبدِ المُطَّلِبِ، وأَبَى أنْ يَقُولَ: لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، قالَ: قالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: واللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لكَ ما لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فأنْزَلَ اللَّهُ: {ما كانَ للنبيِّ والذينَ آمَنُوا أنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ} وأَنْزَلَ اللَّهُ في أبِي طَالِبٍ، فَقالَ لِرَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: {إنَّكَ لا تَهْدِي مَن أحْبَبْتَ ولَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ}
“Ketika kematian telah menghampiri Abu Thalib, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menemuinya dan di sisinya sudah ada Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah, lalu Rasulullaah bertutur: Wahai pamanku ucapkan laa ilaaha illallaah, yakni kalimat yang aku bisa membelamu di sisi Allah. Maka berkata Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah: Apakah engkau akan meninggalkan ajaran ‘Abdul Muthalib? Maka Rasulullaah tidak henti-hentinya menyodorkan ucapan tersebut, dan dua orang tersebut pun terus mengulangi pertanyaannya sehingga Abu Thalib mengucapkan apa yang mereka ucapkan dan menolak apa yang Rasulullaah sodorkan. Rawi berkata, bahwa Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Demi Allah, sungguh aku akan mohonkan ampunan untukmu selama tidak dilarang. Maka turunlah ayat QS. At-Tauwbah/ 09: 113 dan QS. Al-Qashash/ 28: 56.” (HR. Al-Bukhari, no. 4772 dari shahabat Musayyab bin Hazn radhiyallaahu ‘anh)
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أنْ أسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، واسْتَأْذَنْتُهُ أنْ أزُورَ قَبْرَها فأذِنَ لِي.
“Aku memohon idzin kepada Rabb-ku agar mengampuni ibuku, namun Dia tidak mengidzinkanku. Lalu aku memohon idzin agar Dia mengidzinkanku bisa berziarah ke kuburnya, Dia pun mengidzinkanku.” (HR. Muslim, no. 976 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh)
زار النبي صلى الله عليه وسلم قبر أمه فبكى وأبكى من حوله، فقال استأذنت ربي في أن أستغفر لها فلم يؤذن لي واستأذنته في أن أزور قبرها فأذن لي فزوروا القبور فإنها تذكر الموت
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menziarahi kuburan ibundanya lalu menangis, maka menangislah semua shahabat yang ada di sekelilingnya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menuturkan sabdanya: Aku telah memohon idzin kepada Rabb-ku agar mengampuni ibuku, namun tidak mengidzinkanku. Aku memohon idzin agar aku bisa menziarahi kuburnya, Dia pun mengidzinkanku. Maka berziarahlah kalian ke kubur-kubur [yang ada di hadapan kalian], karena hal itu akan mengingatkan kematian.” (HR. Ibnu Majah, no. 1572 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh)
قدم الطُّفيلُ بنُ عَمرو الدَّوسيُّ و أصحابُه فقالوا يا رسولَ اللهِ إنَّ دَوسًا قد عصَتْ وأبَتْ فادعُ اللهَ عليهم قال أبو هريرةَ فرفع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يدَيه فقلتُ هلكَتْ دَوسٌ فقال اللهمَّ اهدِ دَوْسًا و ائْتِ بهم
“Thufail bin ‘Amr ad-Dausiy dan kawan-kawannya datang menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Wahai Rasulallaah sesungguhnya suku Daus telah durhaka dan menolak dakwah Islam, do’akanlah mereka kepada Allah kebinasaan. Orang-orang berkata: Suku Daus pasti binasa. Ternyata Rasulullaah berdo’a: Ya Allah berikanlah petunjuk Islam Suku Daus dan datangkanlah mereka kepada kami dalam keadaan Muslim.” (HR. Al-Bukhari, no. 2937 dan Muslim, no. 2524 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh)

D. Pandangan Ahli Ilmu
- Imam An-Nawawi [w. 676 H.] mengatakan:
الصلاة على الكافر والدعاء له بالمغفرة: حرام بنص القرآن والإجماع
“Menshalatkan dan mendo’akan ampunan bagi non-Muslim haram berdasarkan nash al-Qur’an dan ijmaa.” (Lihat: Al-Majmuu’ 5/ 199).
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al-Harrani [w. 728 H.] menuturkan:
فإن الاستغفار للكفار لا يجوز بالكتاب والسنَّة والإجماع
“Memohonkan ampunan bagi non-Muslim tidak diperbolehkan berdasarkan al-Quran, al-Hadits, dan ijmaa.” (Lihat: Majmuu’ al-Fataawaa 12/ 489).
- Al-Hafizh Ibnu al-Qayyim al-Jauwziyyah [w. 751 H.] memberikan penjelasan:
أي: إن تغفر لهم وترحمهم بأن توفقهم للرجوع من الشرك إلى التوحيد ومن المعصية إلى الطاعة كما في الحديث (اللهُمَّ اِغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ)
“Artinya, jika Engkau mengampuni dan menyayangi mereka, itu karena Engkau memberikan taufiq kepada mereka untuk kembali menuju Tauhid dari syirik, kembali menuju ketaatan dari kemaksiatan. Hal ini seperti ucapan Nabi yang terdapat dalam hadits, Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sungguh mereka tidak tahu.” (Lihat: Madaarijus Saalikin 1/ 36).
- Al-Hafizh Ibnu Katsir [w. 774 H.] ketika menjelaskan Firman Allah ‘azza wa jalla berikut:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ
“Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari [kekafiran]mu dan telah nyata antara kami dan kamu ada permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ Kecuali perkataan Ibrahim kepada ayahnya, ‘Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu, namun aku sama sekali tidak dapat menolak [siksaan] Allah terhadapmu.’ [Ibrahim berkata], Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkau kami bertawakal dan hanya kepada Engkau kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah/ 60: 4).
Menurut Ibnu Katsir, ayat tersebut menjelaskan: “Dan dahulu sebagian kaum Muslimin masih mendo’akan dan memohon ampunan bagi orang tua mereka yang wafat di atas kekufuran. Mereka beralasan dengan perbuatan Ibrahim tersebut, namun Allah pun menurunkan ayat di atas sebagai penjelasan kepada mereka.” (Lihat: Tafsir al-Qur’aanil ‘Azhiim dalam Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taiysiirul ‘Aliyyil Qadiir Li ikhtishaari Tafsiiri Ibni Katsiir 4/ 346).
- Imam Al-Qurthubi [w. 671 H.] menegaskan:
وقد قال كثير من العلماء: لا بأس أن يدعوَ الرجل لأبويه الكافرين ويستغفر لهما ما داما حيَّيْن ، فأما من مات : فقد انقطع عنه الرجاء فلا يُدعى له
“Banyak ulama yang menyatakan bahwa tidak apa-apa seorang mendo’akan kebaikan dan memintakan ampunan bagi kedua orang tua non-Muslim selama mereka masih hidup.” (Lihat: Al-Jaami’ Li Ahkaamil Qur’aan 8/ 274)

- Syaikh ‘Abdurrahman Nashir as-Sa’di [w. 1376 H.], dengan tegas memberikan tafsiran QS. At-Tauwbah/ 09: 113 sebagai berikut: “Memohonkan ampunan bagi non-Muslim ketika mereka meninggal di atas kekufuran adalah perbuatan yang keliru dan tak bermanfaat. Ketika seorang meninggal di atas kesyirikan dan kekufuran, atau diketahui ia wafat dalam kondisi tidak beragama Islam, maka sungguh adzab telah dipastikan atas dirinya dan ia kekal di dalam neraka, sehingga setiap syafaat yang dipanjatkan tak akan bermanfaat, begitu pula permohonan ampun.” (Lihat: Taiysiirul Kariimir Rahmaan Min Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hlm. 353).
- Pandangan para ulama terkait As-Siyaasah as-Syar’iyyah; Yakni dalam konteks bahasan ini, adanya kewajiban mematuhi penguasa [minimalnya mentolerir apa yang dilakukan dari kebijakannya]. Itu pun sungguh sangat jelas dhawaabith dan manhaj-nya, bahwa kaidah “Innamaa at-thaa’atu fil ma’ruuf” atau “Dhaabithu thaa’ati wulaatil umuuril masyruu’ah; an takuuna bil ma’ruufi, aiy bighairi munkarin”. Maksudnya, kepatuhan itu hanyalah dalam perkara yang makruf semata, tidak berlaku bagi perkara munkar. Hal ini dikuatkan oleh Imam An-Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Hafizh Ibnu Qayyim, Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab at-Tamimi, dan banyak ulama lainnya. (Lihat: Sa’ad bin Syaayim al-Hudhairi al-‘Anbari, Huquuq Wulaatil Umuuri, 1434 H./ 2013 M. dan ‘Abdullah bin Muhammad al-Mazru’, Ilzaamu Waliyyil Amri wa Atsaruhu Fil Masaailil Khilaafiyyah, 1434 H./ 2013 M.)
Demikian pula dijelaskan Syaikh Dr. Shalih bin Fauwzan al-Fauwzan ketika menutup risalahnya Ahkaamut Ta’aamul Ma’a Ghaiyril Muslimiin berikut ini: “Sebagai kesimpulan, sesungguhnya berinteraksi bersama orang kafir dalam ajaran Islam banyak variannya; di dalamnya mengandung hukum-hukum, di dalamnya pula ada rumusan-rumusan yang didapatkan dari Kitabullaah, Sunnah dan Sirah rasul-Nya, serta beragam kitab ahli ilmu [seperti halnya Ahkaamu Ahlid Dzimmah Ibnu Qayyim]. Karenanya, seorang Muslim wajib mengetahuinya karena hal ini merupakan “pakaian untuk manusia” dalam bergaul bersama mereka dengan ajaran Islam yang menghargai jaminan keamanan diri [mu’taman] dan perjanjian perlindungan [mu’ahadah], bukan agama yang menyodorkan kekerasan dan permusuhan sebagaimana prasangka sebagian manusia.” (Lihat: Fahad bin Ibrahim al-Fa’im, Ahkaamut Ta’aamul, 1430 H./ 2009 M., hlm. 25)
E. Penutup dan Istinbaath
Sebagaimana telah dipaparkan, maka sebagai bahasan penutup ada beberapa kesimpulan yang dapat dijadikan istinbath:
- Hukum ashal berinteraksi dalam urusan duniawi bersama non Muslim hukumnya mubah, selama tidak ada perkara yang menggiring pada keharaman.
- Berinteraksi dan mendo’akan non Muslim yang masih hidup [dengan mengharapkan hidayah Allah ‘azza wa jalla] hukumnya mubah sebagai bagian dari dakwah.
- Mendo’akan jenazah non Muslim dan memohonkan ampunan Allah ‘azza wa jalla hukumnya haram, sekalipun dengan alasan menghormati dan menghargai.
- Sebagai agama yang menghargai kebinekaan; Islam telah mengatur adab berinteraksi dengan non Muslim, termasuk hubungannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
*) Goresan ini ditulis oleh Ketua Komisi ‘Aqidah Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam, yang disajikan sebagai bahan diskusi dalam Mubaahatsah Bidang Kajian dan Fatwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di Aula Gedung Menara Dakwah Kramat Raya 45 Jakarta Pusat.
