Selasa, Juli 15MAU INSTITUTE
Shadow

MELESTARIKAN TRADISI ILMIAH DAN AMAL DAKWAH PARA GURU DI TAMAN DAKWAH KRAMAT RAYA 45

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Sebutan “taman dakwah” tercetus dalam diskusi buku yang digelar internal Dewan Pembina Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Mendiskusikan pemikiran tokoh dakwah merupakan bagian dari “pewarisan nilai” yang perlu dirutinkan, agar generasi berikutnya bisa mengambil pelajaran berharga sebagai keteladanan. Di antaranya buku dengan judul “Selamatkan Indonesia Dengan Dakwah” [Kumpulan materi ceramah yang biasa disampaikan dalam khutbah, kuliah zhuhur, halaqah dan daurah Allaahu yarhamh Ustadz H. Syuhada Bahri yang diedit oleh Adinda fillaah Dwi Budiman]. Menarasikan rekaman berbagai taujihaat para tokoh dakwah semisal Ustadz Syuhada dan kader ideologis lainnya sangatlah penting, agar para kader berikutnya tidak terlampau keliru dalam menafsirkan fiqhud da’wah di lapangan.

Atas idzin Allah ‘azza wa jalla, al-faqir sebagai Ketua Bidang Kajian dan Ghazwul Fikri Dewan Dakwah mendapatkan amanah untuk membedahnya. Selain tulisan tersebut [selagi masih lembaran makalah] sempat disodorkan kepada al-faqir saat masa perintisan awal berdirinya Pusdiklat Dewan Dakwah Bekasi Jawa Barat [tahun 1998], juga merupakan panggilan jiwa untuk turut terlibat “nimbrung ilmiah” dalam kesempatan diskusi tersebut atas undangan Dewan Pembina melalui Ayahanda fillaah Prof. Dr. Didin Hafidhuddin dan H.M. Nasir Zubaidi. Beberapa catatan penting yang dapat diambil faidah dari perhelatan ini, antara lain sebagai berikut:

Pertama; Mengenal wajah dan wijhah tokoh dakwah

Ada banyak keragaman sikap [mawaaqif] dan cara berpikir [fikrah] dari para tokoh dakwah yang layak menafsirkan pandangan-pandangan yang pernah digagas oleh para ideolog Dewan Dakwah periode awal. Dengan gaya dan model yang tidak sama dari setiap pribadi mereka, melahirkan kader-kader yang memiliki corak berbeda dengan kekhasan-nya masing-masing [khushuushiyyah]. Karena itulah, mengetahui wajah dan wijhah mereka merupakan sesuatu yang tidak boleh terlewatkan. Mengenal wajah berarti mengenal lahir/ zhahir mereka secara langsung, sementara mengenal wijhah berarti mengenal lebih jauh lagi tentang sosok kehidupannya [dalam hal ini terutama pemikiran dakwahnya].

Kedua; Dari hadhaaratul kalaam menuju hadhaaratul kitaabah

Untuk mengetahui setiap tokoh dakwah, akan sangat mudah diketahui dari karya tulisnya langsung atau pandangan tokoh tersebut yang dituliskan oleh pihak lain. Bergerak dari sekadar peradaban “berkata-kata” [hadhaaratul kalaam] menuju peradaban “tulisan” [hadhaaratul kitaabah], menjadi kebutuhan strategis dan sekaligus lebih akademis dalam transformasi pemikiran kader yang terus berubah. Tentu saja tidak bisa dinafikan, bahwa perkataan langsung seorang tokoh akan lebih utama apabila ditangkap secara audio-visual. Namun demikian, tangkapan audio-visual akan lebih abadi dan tidak mudah ditelan bumi, menguap ke awan lepas apabila dituliskan. Dalam bahasa Allaahu yarhamh M. Natsir: “Tulis apa yang anda lakukan dan lakukan apa yang anda tulis”, sebagaimana ditirukan Buya H. Mas’oed Abidin [da’i senior dan ulama Sumatera Barat] di sela-sela Rakornas Dewan Dakwah di Kota Padang Sumatera Barat [tahun 2022].

Ketiga; Mengenal para tokoh As-saabiquunal awwaluun itu sangat penting

Sebagai perkenalan awal al-faqir dengan kawasan Kramat Raya 45 [tahun1991-an] melalui tokoh-tokoh dakwah yang kerapkali muncul dalam acara-acara besar keumatan; Seperti kuliah zhuhur, sambutan tamu kehormatan [dalam dan luar negeri], halaqah asatidz, tabligh akbar, pelatihan dan bimbingan muballigh, hingga keikut sertaan pada Ad-dauwrah al-mukatstsafah fil ‘uluumis syar’iyyah wad da’wah dengan menghadirkan ulama-ulama dunia [baik bersama Atase Agama Kedubes KSA, Raabithah al-‘Aalam al-Islaami atau Jabhah al-‘Ulamaa al-Mishriyyah, Mu’assasah As-Shafwah, Du’at Asia Tenggara [negeri serumpun], dan masih banyak yang lainnya.

Sekedar contoh mengingatkan pada para tokoh yang dimaksud; Mulai dari pimpinan ormas Islam semisal Al-Ustadz Abdul Lathif Muchtar, Kyai Abdul Wahid Sahari, Pak Geys Ammar, Pak Bustaman, Pak Ohan Sudjana, Kyai Yusuf Hasyim, Gus Shalahuddin Wahid, Kyai Hasyim Muzadi, Kyai Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, dan lain-lain. Hilir mudiknya para tokoh nasional ke komplek Kramat yang sederhana [waktu itu], menunjukkan betapa Dewan Dakwah benar-benar “rumah besar” tempat berhimpunnya para aktivis dan pejuang.

Saat itu bisa dibilang markaz dakwah lebih banyak dipenuhi penerus dan pelanjut dari generasi “Paman” yang sangat kental kedekatannya dengan Allaahu yarhamh M. Natsir [seperti halnya Pak Mohammad Rasjidi, Pak Anwar Haryono, Pak Buchori Tamam, Pak Mohammad Rusyad Nurdin, Pak Yunan Nasution, Pak Mohammad Cholil Badawi, Pak Afandi Ridhwan, Kyai Najih Ahjad, Pak Mohammad Soleiman, Buya Hasanuddin Rajo Angek, Buya Amlika Datuk Marajo dan lain-lainnya]. Lalu berlanjut ke generasi “Abang”, melalui generasi inilah sedikit banyaknya bisa lebih memahami apa yang diperjuangkan rumah dakwah ini melalui paparan mereka; Sosok Pak Amin Rais, Bang Husein Umar, Bang Yusril Ihza, Bang Imaduddin Abdurrahim, Bang Jimly Shiddiqi, Pak Kyai Didin Hafidhuddin, Pak Fu’ad Amsyari, Pak Yahya Muhaimin, Pak AM. Luthfi, Pak AM. Saefuddin, Pak Taufiq Ismail, Kyai Ahmad Cholil Ridhwan, Kyai At-Thailah Hamidi, Pak Ramlan Mardjoned, Bang Ahmad Soemargono, Pak Natsir Zubaidi, Pak Fadhol Aravah, Bang Mohammad Siddik, Bang Tamsil Linrung, Bang Abdullah Hehamahua, Bang Sohirin Mohammad Sholihin, Kyai Maman Abdurrahman, Pak Yunahar Ilyas, Kyai Ali Musthafa Ya’qub, Kyai Abbas Aula, dan generasi sezaman lainnya merupakan wajah-wajah yang sering muncul di hadapan mata.

Keempat; Melibatkan diri di Sekolah Kaderisasi Dakwah

Lebih akrab dengan aktivitas dakwah dan semakin menikmati kelezatan ilmu [ladzatul ‘ilmi] dan pengalaman, ketika bisa dibimbing langsung oleh para Guru yang menyenangkan [juga bisa belajar dan beraktivitas bersama rekan-rekan yang telah meramaikan suka-duka dakwah kampus] di Lembaga Pendidikan Dakwah Islam [disingkat LPDI] Jakarta [tahun 1992-1994]. Semua Guru memiliki keistimewaan disiplin ilmu dan pengalaman yang berbeda, namun memiliki kesamaan pedoman dan rujukan; Sekalipun latar belakang mereka beragam, ketika narasi-narasi dakwah dimunculkan muaranya sama, yakni “khittah dakwah” yang di dalamnya mengandung rumusan dakwah binaa’an dan difaa’an dengan semangat ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.

Sekadar mengingat apa yang pernah diterima murid dari gurunya; Kalau ingin mendalami Masaailul ‘Aqiidah belajar kepada Ustadz Dahlan Bashri Thahiry, bagaimana mengajarkan Fiqhus Siirah yang tepat belajar kepada Ustadz Muzayyin Abdul Wahhab, seperti apa “Peta Dakwah” di lapangan harus digarap belajar kepada Ustadz Syuhada Bahri, bagaimana menghidupkan lembaga dakwah kampus [LDK] bertanya kepada Ustadz Mohammad Hafizh, bagaimana cara memilih buku yang baik dan selamat bertanya kepada Ustadz Kamaluddin Iskandar Ishaq, seperti apa ilmu logika [Imu Manthiq] dapat dijadikan pisau analisa belajar kepada Ustadz Mohammad Nabhan Hussein, bagaimana menyampaikan sejarah nasional yang runut belajar kepada Ustadz Badruzzaman Busyairi, bagaimana cara praktis mengajarkan Fiqih Muqaaran tirulah Ustadz Syariful Alamsyah, untuk lebih piawainya mendalami ilmu Musthalahul Hadiits belajar kepada Ustadz Yazied Abdul Qadir Jawaz, bagaimana wawasan dunia Islam bisa diketahui bertanyalah kepada Ustadz Mazni Yunus, bagaimana sebuah ghazwul fikri bisa dibongkar belajarlah kepada Ustadz Abu Ridho.

Berikutnya, bagaimana melakukan pengkajian aliran-aliran sesat dan menyimpang belajarlah kepada Ustadz H.M. Amin Djamaluddin dan Ustadz Fauwzi Agustjik, bagaimana mengetahui gerakan kristenisasi dan ilmu kristologi bisa belajar kepada Ustadz Ramly Nawai dan Ustadz Zhahir Khan, seperti apa memahami ilmu Taarikh Tasyri’ dan Maqaashidus Syarii’ah belajarlah kepada Ustadz Mas’adi Sulthani dan Ustadz Afzhil Salim, bagaimana memahami korelasi Hukum Islam dengan Hukum Positif belajarlah kepada Bang Rifyal Ka’bah, bagaimana menjawab tuduhan orientalisme bisa belajar kepada Bang Daud Rasyid, bagaimana mengajarkan Ilmu Tafsir yang rileks bisa belajar kepada Ustadz Ali Fahmi Arsyad dan Ustadz Mohammad Tsauri Halimi, dan bagaimana mengajarkan Ilmu Dakwah dan Manajemen Dakwah yang efektif belajarlah kepada Ustadz Misbach Maalim dan Ustadz Suwito Suprayogi, bagaimana belajar Bahasa Arab yang praktis belajarlah kepada Ustadz Bachtiar Bakar dan Ustadz Mohammad Zubaidi, bagaimana agar cakap berbahasa Inggris yang baik bisa belajar kepada Ustadz Mohammad Noer, bagaimana menata perpustakaan dan dokumen belajarlah kepada Ustadz Amlir Syaifa Yasin dan Ustadz Heman Khalilurrahman, seperti apa menyiapkan training yang efektif bisa belajar kepada Ustadz Mohammad Noer Caniago, seperti apa riset yang baik belajarlah kepada Bang Ramly Hutabarat dan Bang Muksin MK, bagaimana menjadi jurnalis yang bertanggung jawab bisa belajar kepada Bang Lukman Hakim, Bang Aru Syeif Asad, Bang Agusdin dan Bang Oma Rasyid.

Demikian juga bagaimana bisa menimba wawasan pengalaman belajar, baik mulaazamah dengan masyaikh Timur Tengah ataupun mu’aamalah dengan tokoh-tokoh Muhsinin dakwah negara-negara Arab bisa belajar kepada Ustadz Abdul Wahid Alwi. Selain itu, ihtimaam Ustadz Wahid yang begitu tulus dan simpatik kepada kaum muda dalam pengembangan literasi [turaats] dan al-fikr al-Islaami sangat patut dijadikan teladan. Setiap Ustadz Wahid memiliki kitab yang menurutnya penting untuk dikaji, Ustadz pun tidak segan menggandakan dan menghibahkannya. Dan masih banyak asaatidz lainnya yang belum bisa disebutkan pada ruang terbatas ini. Mereka ini lebih popular disebut generasi “Adik”.

Tidak terkecuali, para mu’ayyidaat, yakni para penyangga aktivitas dakwah di “dapur dakwah” Kramat 45 yang telah al-faqir kenal sejak zaman kuliah kader; Nama-nama seperti Bang Zulfi Syukur, Pak Wardi Kamili, Pak Asep Jayanegara, Bang Adam Nyak, Bang Sumardi, Bang Hari Domingos, Bang Hari Mulyadi, Habib Manshur, Bang Fadhli, Bang Edi, Kang Rahmat Sapta, Pak Nanang, Bang Dasril, Kak Hasbullah, Kak Ahmad, Bang Kasri, Mang Asri, Kang Wasta, dan rekan-rekan sedulur lainnya [termasuk wajah-wajah baru yang tentu saja sangat dihargai pengabdiannya]. Dari merekalah al-faqir banyak belajar tentang makna “komitmen khidmat” di jalan dakwah.

Kelima; Nostalgia yang baik dan pentingnya memelihara taman bunga dakwah

Dengan gambaran singkat ini, tidak ada ungkapan permisalan [tamtsiil] untuk memotret hakikat perjuangan dalam sebuah kawasan dakwah, melainkan sebuah “taman bunga yang indah”. Di dalamnya berupa-rupa jenis bunga tumbuh dengan suburnya; Mulai dari mawar, melati, anggrek, tulip, matahari, dahlia, dan lainnya. Kondisi ini menyebabkan kawasan tersebut menjadi semerbak nan mewangi, serta indah dipandang mata. Agar bunga-bunga itu tumbuh berseri, berkembang menuju cita harapan. Maka tidak ada alasan untuk tidak merawatnya dan tidak membiarkan rumput liar mengganggunya. Jangan biarkan satu bunga pun boleh layu atau terbuang; Menanam, menyiram dan merawatnya adalah sebuah kewajiban.

Ini bukanlah sebuah episode nostalgia tanpa makna, melainkan sebuah tafsiran dalam “proyek raksasa” dakwah kita. Masih ingatkah kita, sebuah nasihat emas dari Syaikh Musthafa as-Siba’i [seorang pemikir Syria, penulis Min Rawaa’i Hadhaaratinaa] yang menuturkan: “Bernostalgia dengan masa lalu yang berlebihan tandanya orang pemalas, sedangkan meremehkan masa lalu dengan segala kebaikan dan keburukan yang pernah terjadi tandanya orang bodoh”. Dengan demikian, sikap yang adil adalah bagaimana bisa berdamai dengan masa lalu; Membuang berbagai keburukan dan mengambil pelajaran berharga untuk kehidupan masa depan yang lebih gemilang. Semoga Allah ‘azza wa jalla senantiasa memberikan kemampuan dalam membangkitkan “batang terandam” dari semua amal dakwah kita. Walladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa


*) Penulis adalah Ketua Bidang Ilmiah Keluarga Mahasiswa Diploma 2 Ushuluddin Lembaga Pendidikan Dakwah Islam (KM-LPDI) Jakarta Tahun 1992-1994

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!