MENJADI MANUSIA; DARI SEBANGSA TANAH HINGGA SEBANGSA AIR
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
“Saudara-saudaraku sebangsa tanah dan sebangsa air …”
Demikian bunyi ungkapan pembuka teralunkan (sembari guyon), di mana ungkapan tersebut terasa ganjil di telinga namun apabila dipikir ada benarnya. Memang manusia dicipta oleh Dzat yang Kuasa dari tanah dan air.
Informasi qur’ani pun begitu jelas dalam bentangan ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla. Inilah gugusan firman mulia yang termaktub dalam kitabNya:
1. Sebelum menciptakan nabiyullah Adam ‘alaihis salam, Allah ‘azza wa jalla memberitakan terlebih dahulu kepada malaikatNya:
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” (QS. Shad/ 38: 71)
2. Ketika orang-orang musyrik menunjukkan keingkaran dan kesombongannya tentang dari apa mereka diciptakan, Allah pun menegaskannya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” (QS. Ash Shaffat/ 37: 11)
3. Bagaimana Allah jelaskan, hubungan diciptakannya manusia dari saripati tanah yang menjadi air mani, serta proses lainnya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mukminun/ 23: 12-14).
4. Digambarkan pula bagaimana penciptaan Adam ‘alaihis salaam yang Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang berbau busuk dan diberi bentuk. Allah menegaskannya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (QS. Al-Hijr/ 15: 26).
5. Berikutnya, Allah ‘azza wa jalla menjadikan manusia dengan semua perbedaan warna kulit dan karakternya sebagaimana dirincikan Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam tanah (sepenuh telapak tangan) yang diambil dari seluruh bagiannya. Maka datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna kulit dan tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan lain sebagainya. Di antara mereka ada yang bertabiat lembut dan ada pula yang keras, ada yang berperangai buruk dan ada yang baik.” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, menurut Tirmidzi: Hadits ini Hasan shahih. Syaikh Nashiruddin al-Albani menshahihkannya dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi, juz 3 hadits 2355 dan Shahih Sunan Abu Dawud, juz 3 hadits 3925).
6. Berikutnya, proses penciptaan manusia pun beralih pada air. Dari Adam dan Hawa (yang tercipta dari shulbi/ rusuk Adam) ‘alaihimas salaam inilah terlahir anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani yang keluar dari tulang shulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari kiamat kelak. (Lihat: Tafsir Al-Qur’aanil ‘Azhiem, Ibnu Katsir/ 3, hlm. 457. Dijelaskan pula sebelumnya dalam Tafsir At-Thabary/ 9, hlm. 202).
Proses tersebut senada dengan firman Allah ‘azza wa jalla yang menuturkan: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (mani).” (QS. As-Sajdah/ 32: 7-8).
7. Proses lainnya adalah, penitipan di alam rahim, atau yang disebut alam kegelapan. Allah jelaskan hal ini dalam firmanNya: “Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al-Mursalat/ 77: 20-22).
Allah ‘azza wa jalla memindahkan calon manusia dari nuthfah menjadi ‘alaqah, dari ‘alaqah menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa membelah perut sang ibu dan menyembunyikannya dalam tiga kegelapan, sebagaimana firmanNya: ” … Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … ” (QS. Az-Zumar/ 39: 6)
Yang dimaksud “tiga kegelapan” dalam ayat ini adalah kegelapan dalam selaput yang menutup bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim dan kegelapan dalam perut. Demikian yang dikatakan Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anh, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Malik, Adh-Dhahhak, Qatadah, As-Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat: Tafsirul Qur’anil ‘Azhiem, Ibnu Katsir/ 4, hlm. 46).
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang menuturkan: “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa air mani (nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah) selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat daging (mudhghah) selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat, maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli surga sehingga tidak ada di antara dia dan surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli surga sehingga ia memasukinya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu ‘Abdirrahman bin ‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anh).
Petikan demi petikan ayat dan gugusan hadits tersebut cukup meyakinkan, betapa “hina dan tidak berarti apa-apa” kita di hadapan Allah ‘azza wa jalla. Adakah yang patut kita sombongkan, adakah alasan untuk menolak bahwa suatu saat kelak kita akan kembali ke tanah dan menjadi penghuni qubur, lalu Allah ‘azza wa jalla membangkitkannya di hari kebangkitan (ba’ats).
Sungguh indah pesona manusia yang mematuhi dan tunduk pada Penciptanya, dan alangkah hinanya bagi mereka yang menyombongkan dirinya.
Karena itulah, Allah serukan “ayat renungan” betapa proses kejadian manusia dengan segala tahapannya; janin, bayi, anak kecil, remaja, pemuda, dewasa dan tua, bahkan pikun menjadi peringatan keras bahwa kita benar-benar akan “kembali pulang”. Berbahagialah mereka yang telah memenuhi hidupnya dengan “segala kebaikan”, hidupnya akan terasa tampak lebih indah seperti indahnya tanaman di atas tanah kering yang disirami air hujan akan berubah menjadi “taman indah mempesona” yang membuat takjub setiap orang yang melihatnya.
Allah ‘azza wa jalla mengingatkan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ۖ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّىٰ وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَىٰ أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا ۚ وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari qubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al-Hajj/ 22: 5).
Dengan demikian, wahai diri … wahai saudara-saudariku “sebangsa tanah” dan “sebangsa air”, hanya kepada Allah jualah kita berharap dan mohon perlindungan. Aamiin yaa Mujiebas saailiin …
____________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.